Sabtu, 03 November 2012

STUDI TERHADAP SEKATEN; pendekatan sosiologis

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada konteks kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama. Sesuatu yang murni agama, berarti berasal dari Tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas. Hasil pemikiran agama, berarti berasal dari selain Tuhan [manusia], bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Pada aspek realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi tumpang-tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan pemikiran agama, baik sengaja atau tidak. Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap berdosa bagi yang berusaha merubahnya.Apakah agama adalah kebudayaan atau agama adalah bagian dari kebudayaan, ataukah dalam setiap kebudayaan,agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial.

B.  RUMUSAN MASALAH
1)                  Apa yang di maksud pendekatan sosiologis studi islam?
2)                  Bagaimana asal-usul sekaten dan pelaksanaannya?
3)                  Bagaimana studi terhadap kasus sekaten?

C.  TUJUAN
1)                  Untuk mengetahui maksud dari pendekatan sosiologis studi islam.
2)                  Mengetahui asal-usul sekaten dan pelaksanaannya.
3)                  Memahami studi terhadap kasus sekaten.




PEMBAHASAN

A.  Pendekatan Sosiologis Studi Islam
Kehidupan umat manusia di dunia ini, pasti selalu ditemukan adanya pluralitas atau keanekaragaman, kemajemukan. Pluralitas itu menyangkut berbagai kehidupan manusia, baik dalam warna kulit, bahasa dan adat-istiadat maupun dalam keyakinan agama. Pluralitas juga terdapat dalam realitas kehidupan alam, baik benda mati seperti bebatuan maupun benda hidup seperti tumbuhan dan binatang. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan dan membuat antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakikatnya menolak esensi kehidupan.
Adapun upaya untuk memahami kemajemukan tadi dapat dikaji melalui pendekatan sosiologi atau mencoba mengkaji keunikan karakter manusia diberbagai tempat dan belahan bumi dimana mereka menjalani hidupnya. Melalui cara pemahaman seperti itulah diharapkan muncul satu kesadaran bahwa ternyata tiap-tiap individu memiliki sudut pandang masing-masing didalam memahami ajaran agamanya.Perlu dimengerti pula bahwa dalam setiap realitas yang plural itu,tidak ada yang persis sama, baik ukuran warna,rupa maupun dimensinya.
Pendekatan mempunyai beberapa istilah atau arti yang hampir sama dan menunjukan tujuan yang sama yaitu theoritical framework, conceptual framework, approach prespective, point of view (sudut pandang) dan paradigm (paradigma). Semua istilah ini bisa diartikan ssebagai cara memandang dan cara menjelaskan suatu gejala atau istilah.
Tentang apa yang dimaksud pendekatan masih diperdebatkan dan melahirkan dua kelompok besar:
1.      Kelompok pertama mempunyai dua pemaknaan:
a.       Pendekatan berarti “dipandang atau dihampiri dengan” maksudnya pendekatan tersebut menjadi paradigma
b.      Pendekatan berarti “menghampiri atau memandang fenomena (budaya dan sosial)” maksudnya pendekatan tersebut menjadi perspektif atau sudut pandang.
2.      Kelompok kedua, pendekatan berarti disiplin ilmu. Maka ketika disebut studi islam dengan pendekatan sosiologis sama artinya dengan mengkaji islam dengan menggunakan disiplin ilmu sosiologi. Konsekuensinya, pendekatan disini menggunakan teori atau teori-teori disiplin ilmu yang dijadikan sebagai pendekatan. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi tersebut berarti fenomena studi islam didekati dengan teori atau teori-teori sosiologi.
Ada dua istilah lain yang juga dekat dengan pendekatan, yaitu episteme dan wacana. Episteme adalah cara manusia menangkap yaitu cara manusia memandang dan memahami suatu fenomena. Wacana adalah cara manusia membicarakan kenyataan.
Menurut Michel Foucault (1926-1984) episteme dan wacana juga tunduk pada berbagai aturan yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari kenyataan, apa yang dianggap penting dan tidak penting, hubungan apa yang dilakukan antara berbagai unsur kanyataan dalam penggolongan dan analisis, dsb. Dengan kata lain, setiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara yang berbeda-beda (dengan cara sendiri-sendiri).
Karena itu pendekatan sangat erat hubungannya dengan kerangka teori. Dalam arti bahwa teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena yang diteliti adalah teori atau teori-teori yang dimiliki ilmu pendekatan yang digunakan.
Teori adalah prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk rumusan atau aturan yang berlaku umum. Kaitannya dengan pendekatan sosiologi minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam penelitian, yaitu:
1.      Teori fungsional, adalah teori yang mengasumsikan masysarakat sebagai organisme ekologi mengalami pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang akan dihadapi. Pada gilirannya akan terbentuk kelompok-kelompok tertentu yang masing-masing bagian mempunyai fungsi sendiri, yang boleh jadi → satu bagian mempunyai fungsi yang berbeda dengan yang lain.
2.      Teori interaksionisme mengasumsikan, dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat denga individu, antara individu dengan individu lain. Teori ini, sering diindentifikasikan sebagai deskripsi yang interpretatif, yaitu suatu pendekatan yang menawarkan analisis yang menarik perhatian besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada.
3.      Teori konflik, adalah teori yang kepercayaan bahwa setiap masyarakat mempunyai kepentingan (interest) dan kekuasaan (power), yang merupakan pusat dari segala hubungan sosial.
Fokus pendekatan sosiologi dalam studi Islam adalah memahami Islam sebagai fenomena yang menyejarah dalam sosial dan budaya. Perlu dipahami disini, bahwa ragam dan corak keislaman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam yang berbeda-beda tentang ajaran Islam berdasarkan setting sosial dan budaya yang melatarbelakangi sekaligus yang dihadapi oleh umat Islam itu sendiri. Dari sinilah kemudian muncul berbagai sudut pandang yang melahirkan berbagai model pemahaman terhadap ajaran Islam.
Sebagai tambahan, dalam kaitannya dengan agama islam sebagai gejala sosial pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Awalnya sosiolgi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Belakangan, sosiologi agama mempelajari bagaimana agama mempengaruhi masyarakat, dan boleh jadi sebaliknya, bagaimana masyarakat mempengaruhi agama.
Di dalam menelaah studi Islam di Indonesia,satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah sejarah studi Islam di Indonesia. Penelusuran atas sejarah bagaimana Islam dikaji,tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia.Lepas dari perdebatan kapan waktu dan apa motivasi dan tujuan masuknya Islam di Indonesia,makna bahwa studi Islam bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia dapat dibaca bahwa Islam masuk di Indonesia tidak diposisikan sebagai ‘sampingan’ saja.Itu sebagaimana sering ditulis dalam buku-buku sejarah yang mengatakan bahwa masuknya Islam di Indonesia dilakukan oleh para pedagang dari Guzarat.Artinya ada kesan bahwa sambil berdagang mereka juga mendakwahkan ajaran keislaman.
Selama ini pemahaman atas penyebaran Islam di Indonesia hanya dimaknai dalam dua stigma. Stigma pertama penyebaran Islam berarti masuknya Islam ke Indonesia.Sedangkan stigma kedua adalah proses penyebaran Islam ke Indonesia,khusunya di Jawa,selalu diasosiasikan dengan proses interaksi budaya dengan kultur yang ada di Jawa.Kedua pola pemaknaan ini sangat mengaburkan dan bahkan merugikan kajian studi Islam.Stigma awal memberi kesan historis-kronologis yang menghasilkan imij ‘usia’ Islam di Indonesia.Sedangkan stigma yang kedua hanya menghasilkan kesan ketidakmurnian Islam yang ada di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman internal mereka tidak lepas dari mainstreem yang mereka bawa dari daerah asalnya atau mainstreem dimana mereka berdakwah.Namun justru yang lebih penting untuk dikaji adalah pola-pola yang mereka dinamisasikan dari mainstreem yang ada tersebut.Dinamisasi jelas ada dalam pengembangan Islam di Indonesia.Salah satu fakta tersebut adalah proses akulturasi dan inkulturasi Islam dengan budaya Jawa yang memiliki basis keyakinan animisme,budhisme,dan hinduisme yang justru menjadi mainstreem utama.
Kelonggaran yang yang ditujukan oleh para penyebar agama Islam memang tidak semuanya berhasil.Karakteristik Keislman di daerah pinggiran pantai ternyata terdapat perbedaan siginifikan dengan karakteristik keislaman didaerah pedalaman.Akan tetapi keberbedaan diatas hendaknya dimaknai sebagai strategi dan hasil dari sebuah pertimbangan yang diusahakan secara matang.
Pendek kata, sebagai fenomena sosial dan budaya,Islam mempunyai keterkaitan erat dengan masyarakat dimana ia diturunkan.Maka salah satu kebijakan seseorang memahami Islam adalah terletak pada kesediaan memahami realitas masyarakat dimana Islam diturunkan. Disinilah pentingnya mempunyai pemahaman pluralitas sebagai suatu pemahaman tentang keanekaragaman didalam memahami ajaran Islam.
Dalam kehidupan masyarakat yang plural, sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat. Sehingga perbedaan akan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap anggota masyarakat. Selanjutnya, masyarakat itu sendiri yang menuntut kepada anggotanya untuk menjaga, menghargai adanya perbedaan itu. Karena tanpa perbedaan masyarakat itu akan berhenti bergerak dan mati.Apalagi hal itu berkaitan dengan pemahaman ajaran agama oleh masing-masing individu.

B.  Asal-usul Sekaten dan Pelaksanaannya
Ada dimensi kesejarahan oleh masyarakat bahwa Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680 kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk pada kata dalam bahasa Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak zaman Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten–hal ini mengakibatkan perubahan bentuk substansial–pun juga menghasilkan perubahan signifikan seiring proses konversi (pemelukan) agama Islam–dari yang sebelumnya beragama (pemaknaan) Hindu menjadi beragama (pemaknaan) Islam.
Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad SAW. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta secara bersamaan). Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
           Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
            Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
            Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16:00 sore. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.
C.  Studi Terhadap Kasus Sekaten
Pengkajian Islam di Jawa memiliki karakteristik yang unik. Semenjak perkembangannya, di bawah arahan Walisongo, Islam selalu diliputi oleh mitologi Jawa. Oleh karena itu langkah awal yang dilakukan dalam kajian keislaman dalam lingkup ini harus hati-hati mana yang sesungguhnya ingin dikaji, Apakah kajian Islam dalam Jawa sebagai wadahnya atau Jawa dalam Islam sebagai wadahnya.
Untuk itu, memahami Islam jawa yang paling penting dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa Pra-Islam secara independen dan mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas budayanya tersendiri. Kajian keislaman dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan menghasilkan Studi Islam yang tercabut dari akarnya.
Sekaten, yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta  merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu – mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Memandang Sekaten, oleh karena itu, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama atau dalam kacamata budaya lokal dan budaya Jawa belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang tak kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama – dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen – serta berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah, Wathoniyah, dan Basyariah.
Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa – khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya – yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten.
Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan– Islam menundukkan (atau) ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya–walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal–tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun ia–budaya lokal–pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
PENUTUP 
A.  Kesimpulan

Pendekatan sosiologi dalam studi Islam adalah memahami Islam sebagai fenomena yang menyejarah dalam sosial dan budaya.Perlu dipahami disini,bahwa ragam dan corak keislaman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam yang berbeda-beda tentang ajaran Islam berdasarkan setting sosial dan budaya yang melatarbelakangi sekaligus yang dihadapi oleh umat Islam itu sendiri.Dari sinilah kemudian muncul berbagai model pemahaman terhadap ajaran Islam.
Selama ini pemahaman atas penyebaran Islam di Indonesia dimaknai dalam dua stigma. Stigma pertama penyebaran Islam berarti masuknya Islam ke Indonesia.Sedangkan stigma kedua adalah proses penyebaran Islam ke Indonesia,khusunya di Jawa,selalu diasosiasikan dengan proses interaksi budaya dengan kultur yang ada di Jawa.
Pengkajian Islam di Jawa memiliki karakteristik yang unik.Semenjak perkembangannya, di bawah arahan Walisongo, Islam selalu diliputi oleh mitologi Jawa.Oleh karena itu,Untuk memahami Islam jawa yang paling penting dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa Pra-Islam secara independen dan mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas budayanya tersendiri. Kajian keislaman dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan menghasilkan Studi Islam yang tercabut dari akarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1)                                            2005.Pengantar Studi Islam.Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
2)                                           .2006.Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin “Esensia” ISSN:1411-3775, Vol.7,No.1.Yogyakarta:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar