PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada konteks
kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu
yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama. Sesuatu yang
murni agama, berarti berasal dari Tuhan, absolut dan mengandung nilai
sakralitas. Hasil pemikiran agama, berarti berasal dari selain Tuhan [manusia],
bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Pada aspek realisasi, kadang
mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi tumpang-tindih dan
terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan pemikiran agama, baik sengaja
atau tidak. Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah
berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap berdosa
bagi yang berusaha merubahnya.Apakah agama adalah kebudayaan atau agama adalah bagian
dari kebudayaan, ataukah dalam setiap kebudayaan,agama adalah bagian yang
paling berharga dari seluruh kehidupan sosial.
B. RUMUSAN MASALAH
1)
Apa yang di maksud pendekatan sosiologis studi
islam?
2)
Bagaimana asal-usul sekaten dan pelaksanaannya?
3)
Bagaimana studi terhadap kasus sekaten?
C. TUJUAN
1)
Untuk mengetahui maksud dari pendekatan sosiologis
studi islam.
2)
Mengetahui asal-usul sekaten dan pelaksanaannya.
3)
Memahami studi terhadap kasus sekaten.
PEMBAHASAN
A. Pendekatan
Sosiologis Studi Islam
Kehidupan
umat manusia di dunia ini, pasti selalu ditemukan adanya pluralitas atau
keanekaragaman, kemajemukan. Pluralitas itu menyangkut berbagai kehidupan
manusia, baik dalam warna kulit, bahasa dan adat-istiadat maupun dalam
keyakinan agama. Pluralitas juga terdapat dalam realitas kehidupan alam, baik
benda mati seperti bebatuan maupun benda hidup seperti tumbuhan dan binatang. Adanya
pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat
itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan dan membuat antara yang satu dengan
yang lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas
memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan
untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakikatnya menolak
esensi kehidupan.
Adapun upaya
untuk memahami kemajemukan tadi dapat dikaji melalui pendekatan sosiologi atau
mencoba mengkaji keunikan karakter manusia diberbagai tempat dan belahan bumi
dimana mereka menjalani hidupnya. Melalui cara pemahaman seperti itulah diharapkan
muncul satu kesadaran bahwa ternyata tiap-tiap individu memiliki sudut pandang
masing-masing didalam memahami ajaran agamanya.Perlu dimengerti pula bahwa
dalam setiap realitas yang plural itu,tidak ada yang persis sama, baik ukuran
warna,rupa maupun dimensinya.
Pendekatan
mempunyai beberapa istilah atau arti yang hampir sama dan menunjukan tujuan
yang sama yaitu theoritical framework, conceptual framework, approach
prespective, point of view (sudut pandang) dan paradigm (paradigma).
Semua istilah ini bisa diartikan ssebagai cara memandang dan cara menjelaskan
suatu gejala atau istilah.
Tentang apa
yang dimaksud pendekatan masih diperdebatkan dan melahirkan dua kelompok besar:
1. Kelompok pertama
mempunyai dua pemaknaan:
a. Pendekatan berarti
“dipandang atau dihampiri dengan” maksudnya pendekatan tersebut menjadi
paradigma
b. Pendekatan berarti
“menghampiri atau memandang fenomena (budaya dan sosial)” maksudnya pendekatan
tersebut menjadi perspektif atau sudut pandang.
2. Kelompok kedua,
pendekatan berarti disiplin ilmu. Maka ketika disebut studi islam dengan
pendekatan sosiologis sama artinya dengan mengkaji islam dengan menggunakan
disiplin ilmu sosiologi. Konsekuensinya, pendekatan disini menggunakan teori
atau teori-teori disiplin ilmu yang dijadikan sebagai pendekatan. Dengan
menggunakan pendekatan sosiologi tersebut berarti fenomena studi islam didekati
dengan teori atau teori-teori sosiologi.
Ada dua
istilah lain yang juga dekat dengan pendekatan, yaitu episteme dan
wacana. Episteme adalah cara manusia menangkap yaitu cara manusia memandang dan
memahami suatu fenomena. Wacana adalah cara manusia membicarakan kenyataan.
Menurut
Michel Foucault (1926-1984) episteme dan wacana juga tunduk pada berbagai
aturan yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari kenyataan, apa
yang dianggap penting dan tidak penting, hubungan apa yang dilakukan antara
berbagai unsur kanyataan dalam penggolongan dan analisis, dsb. Dengan kata
lain, setiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara
yang berbeda-beda (dengan cara sendiri-sendiri).
Karena itu
pendekatan sangat erat hubungannya dengan kerangka teori. Dalam arti bahwa
teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena yang diteliti adalah teori
atau teori-teori yang dimiliki ilmu pendekatan yang digunakan.
Teori adalah
prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk rumusan atau aturan yang berlaku
umum. Kaitannya dengan pendekatan sosiologi minimal ada tiga teori yang bisa
digunakan dalam penelitian, yaitu:
1. Teori fungsional,
adalah teori yang mengasumsikan masysarakat sebagai organisme ekologi mengalami
pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula
masalah-masalah yang akan dihadapi. Pada gilirannya akan terbentuk kelompok-kelompok
tertentu yang masing-masing bagian mempunyai fungsi sendiri, yang boleh jadi →
satu bagian mempunyai fungsi yang berbeda dengan yang lain.
2. Teori interaksionisme
mengasumsikan, dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat denga
individu, antara individu dengan individu lain. Teori ini, sering diindentifikasikan
sebagai deskripsi yang interpretatif, yaitu suatu pendekatan yang menawarkan
analisis yang menarik perhatian besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada.
3. Teori konflik, adalah
teori yang kepercayaan bahwa setiap masyarakat mempunyai kepentingan (interest)
dan kekuasaan (power), yang merupakan pusat dari segala hubungan sosial.
Fokus
pendekatan sosiologi dalam studi Islam adalah memahami Islam sebagai fenomena
yang menyejarah dalam sosial dan budaya. Perlu dipahami disini, bahwa ragam dan
corak keislaman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam
yang berbeda-beda tentang ajaran Islam berdasarkan setting sosial dan budaya
yang melatarbelakangi sekaligus yang dihadapi oleh umat Islam itu sendiri. Dari
sinilah kemudian muncul berbagai sudut pandang yang melahirkan berbagai model
pemahaman terhadap ajaran Islam.
Sebagai
tambahan, dalam kaitannya dengan agama islam sebagai gejala sosial pada
dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Awalnya sosiolgi agama
mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Belakangan,
sosiologi agama mempelajari bagaimana agama mempengaruhi masyarakat, dan boleh
jadi sebaliknya, bagaimana masyarakat mempengaruhi agama.
Di dalam
menelaah studi Islam di Indonesia,satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah
sejarah studi Islam di Indonesia. Penelusuran atas sejarah bagaimana Islam
dikaji,tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia.Lepas
dari perdebatan kapan waktu dan apa motivasi dan tujuan masuknya Islam di
Indonesia,makna bahwa studi Islam bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia
dapat dibaca bahwa Islam masuk di Indonesia tidak diposisikan sebagai
‘sampingan’ saja.Itu sebagaimana sering ditulis dalam buku-buku sejarah yang
mengatakan bahwa masuknya Islam di Indonesia dilakukan oleh para pedagang dari
Guzarat.Artinya ada kesan bahwa sambil berdagang mereka juga mendakwahkan
ajaran keislaman.
Selama ini
pemahaman atas penyebaran Islam di Indonesia hanya dimaknai dalam dua stigma. Stigma
pertama penyebaran Islam berarti masuknya Islam ke Indonesia.Sedangkan stigma
kedua adalah proses penyebaran Islam ke Indonesia,khusunya di Jawa,selalu
diasosiasikan dengan proses interaksi budaya dengan kultur yang ada di
Jawa.Kedua pola pemaknaan ini sangat mengaburkan dan bahkan merugikan kajian
studi Islam.Stigma awal memberi kesan historis-kronologis yang menghasilkan
imij ‘usia’ Islam di Indonesia.Sedangkan stigma yang kedua hanya menghasilkan
kesan ketidakmurnian Islam yang ada di Indonesia.
Tidak bisa
dipungkiri bahwa pemahaman internal mereka tidak lepas dari mainstreem
yang mereka bawa dari daerah asalnya atau mainstreem dimana mereka
berdakwah.Namun justru yang lebih penting untuk dikaji adalah pola-pola yang
mereka dinamisasikan dari mainstreem yang ada tersebut.Dinamisasi jelas
ada dalam pengembangan Islam di Indonesia.Salah satu fakta tersebut adalah
proses akulturasi dan inkulturasi Islam dengan budaya Jawa yang memiliki basis
keyakinan animisme,budhisme,dan hinduisme yang justru menjadi mainstreem
utama.
Kelonggaran
yang yang ditujukan oleh para penyebar agama Islam memang tidak semuanya
berhasil.Karakteristik Keislman di daerah pinggiran pantai ternyata terdapat
perbedaan siginifikan dengan karakteristik keislaman didaerah pedalaman.Akan
tetapi keberbedaan diatas hendaknya dimaknai sebagai strategi dan hasil dari
sebuah pertimbangan yang diusahakan secara matang.
Pendek kata, sebagai
fenomena sosial dan budaya,Islam mempunyai keterkaitan erat dengan masyarakat
dimana ia diturunkan.Maka salah satu kebijakan seseorang memahami Islam adalah
terletak pada kesediaan memahami realitas masyarakat dimana Islam diturunkan. Disinilah
pentingnya mempunyai pemahaman pluralitas sebagai suatu pemahaman tentang
keanekaragaman didalam memahami ajaran Islam.
Dalam
kehidupan masyarakat yang plural, sikap dasar yang seharusnya dikembangkan
adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota
masyarakat. Sehingga perbedaan akan dipandang sebagai hak fundamental dari
setiap anggota masyarakat. Selanjutnya, masyarakat itu sendiri yang menuntut
kepada anggotanya untuk menjaga, menghargai adanya perbedaan itu. Karena tanpa
perbedaan masyarakat itu akan berhenti bergerak dan mati.Apalagi hal itu
berkaitan dengan pemahaman ajaran agama oleh masing-masing individu.
B. Asal-usul Sekaten
dan Pelaksanaannya
Ada dimensi kesejarahan
oleh masyarakat bahwa Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman
kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu
pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680
kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang
merujuk pada kata dalam bahasa Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan
pada zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan
makna dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak
zaman Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten–hal
ini mengakibatkan perubahan bentuk substansial–pun juga menghasilkan perubahan
signifikan seiring proses konversi (pemelukan) agama Islam–dari yang sebelumnya
beragama (pemaknaan) Hindu menjadi beragama (pemaknaan) Islam.
Sekaten atau upacara
Sekaten (berasal dari kata Syahadatain) adalah acara peringatan ulang tahun
nabi Muhammad SAW. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa mulud (Rabiul
awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta (dan juga di alun-alun
Surakarta secara bersamaan). Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan
Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat
mengikuti dan memeluk agama Islam.
Pada hari pertama, upacara diawali
saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama
dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan
ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara
dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara
dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah
selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai
dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari
terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
Acara
puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada
tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00
pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo,
Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero,
Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan
dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati
Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido'akan Gunungan yang
melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat
yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka.
Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di
sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam
bencana dan malapetaka.
Dua
hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan di
halaman istana Magangan pada jam 16:00 sore. Upacara ini berupa kotekan
atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang untuk menumbuk
padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan
diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam
acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli,
Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.
C. Studi Terhadap
Kasus Sekaten
Pengkajian Islam di Jawa
memiliki karakteristik yang unik. Semenjak perkembangannya, di bawah arahan Walisongo,
Islam selalu diliputi oleh mitologi Jawa. Oleh karena itu langkah awal yang
dilakukan dalam kajian keislaman dalam lingkup ini harus hati-hati mana yang
sesungguhnya ingin dikaji, Apakah kajian Islam dalam Jawa sebagai wadahnya atau
Jawa dalam Islam sebagai wadahnya.
Untuk itu, memahami Islam
jawa yang paling penting dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa
Pra-Islam secara independen dan mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas
budayanya tersendiri. Kajian keislaman dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan
menghasilkan Studi Islam yang tercabut dari akarnya.
Sekaten, yang saat ini
sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan
Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan
masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan
Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu –
mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal
sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur
dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Memandang Sekaten, oleh
karena itu, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama atau dalam kacamata
budaya lokal dan budaya Jawa belaka. Cara pandang yang demikian akan
mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang tak kunjung berhenti.
Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama – dimensi
normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen – serta
berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut
tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah”
Islamiyah, Wathoniyah, dan Basyariah.
Perayaan Sekaten dalam
masyarakat Jawa – khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya – yang
telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root
(akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat
dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan)
kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal
setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan
wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten.
Hubungan dan kolaborasi
antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal
tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan– Islam menundukkan (atau)
ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi
tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya
Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam
tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya–walaupun pada titik
ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam
adalah ajaran yang paripurna dan universal–tetapi juga bahasa dan sikap
akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain,
budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah
kepada Islam, namun ia–budaya lokal–pasti mempunyai kacamata sendiri dalam
membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini
akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan
dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda
sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang mengakar di masyarakat tanpa
menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan
sosiologi dalam studi Islam adalah memahami Islam sebagai fenomena yang
menyejarah dalam sosial dan budaya.Perlu dipahami disini,bahwa ragam dan corak
keislaman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam yang
berbeda-beda tentang ajaran Islam berdasarkan setting sosial dan budaya yang
melatarbelakangi sekaligus yang dihadapi oleh umat Islam itu sendiri.Dari
sinilah kemudian muncul berbagai model pemahaman terhadap ajaran Islam.
Selama ini
pemahaman atas penyebaran Islam di Indonesia dimaknai dalam dua stigma. Stigma
pertama penyebaran Islam berarti masuknya Islam ke Indonesia.Sedangkan stigma
kedua adalah proses penyebaran Islam ke Indonesia,khusunya di Jawa,selalu
diasosiasikan dengan proses interaksi budaya dengan kultur yang ada di Jawa.
Pengkajian Islam di Jawa memiliki karakteristik yang unik.Semenjak
perkembangannya, di bawah arahan Walisongo, Islam selalu diliputi oleh
mitologi Jawa.Oleh karena itu,Untuk memahami Islam jawa yang paling penting
dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa Pra-Islam secara independen dan
mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas budayanya tersendiri. Kajian keislaman
dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan menghasilkan Studi Islam yang tercabut
dari akarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1)
2005.Pengantar
Studi Islam.Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
2)
.2006.Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin “Esensia” ISSN:1411-3775, Vol.7,No.1.Yogyakarta:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar