Sejarah peradaban manusia yang terbentang panjang sejak
zaman klasik hingga zaman kontemporer yang begitu canggih dan serba digital
seperti sekarang ini tentu tidak dilahirkan secara kebetulan. Peradaban
tersebut dibangun dengan kompleksitas perkembangan ilmu pengetahuan—baik alam,
sosial, dan agama—yang dialektis dan konstruktif satu sama lain yang
berlangsung secara evolutif.
Ilmu merupakan salah satu hasil dari usaha manusia
memperadab dirinya. Perkembangan ilmu dari zaman klasik hingga zaman
kontemporer ini merupakan jawaban atas rasa keingintahuan manusia untuk
mengetahui suatu kebenaran. Jadi, dengan rasa keingintahuan tersebut manusia
akhirnya mampu menggunakan potensi intelektualnya untuk melakukan kreatifitas
yang menjadi kunci utama lahir dan berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai pintu
peradaban.
Secara historis, ilmu pengetahuan yang saat ini berkembang
begitu pesat, merupakan buah dari pohon filsafat karena pada awalnya
filsafatlah yang melakukan pembahasan tentang segala yang ada secara
sistematis, rasional dan intergratif.
Berdasarkan sejarah kelahirannya, filsafat mula-mula
berfungsi sebagai induk ilmu pengetahuan. Sebelum ilmu pengetahuan lain,
filsafat harus menjawab segala macam persoalan tentang manusia, masyarakat, sosial
ekonomi, Negara, kesehatan, dan lain sebagainya. Karena perkembangan keadaan
dan masyarakat, banyak problem yang kemudian tidak dapat dijawab oleh filsafat.
Lahirlah ilmu pengetahuan yang sanggup memberi jawaban terhadap problem-problem
tersebut, misalnya ilmu pengetahuan alam, ilmu kedokteran, ilmu kemasyarakatan,
ilmu keagamaan, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan tersebut lalu
terpecah-pecah lagi menjadi yang lebih khusus. Demikianlah kemudian lahir
berbagai disiplin ilmu yang sangat banyak dengan kekhususan masing-masing.
Dalam ini, sebelum saya menjelaskan bagaimana cara kerja ilmu ipa, soshum, dan agama, saya akan membahas terlebih dahulu :
1.
Apa yang
dimaksud Ilmu Pengetahuan ?
2.
Apa
obyek Ilmu Pengetahuan ?
3.
Bagaimana
cara kerja Ilmu Pengetahuan; Ipa, Soshum, Agama ?
A.
ILMU PENGETAHUAN
Ilmu adalah pengetahuan, tetapi
tidak semua pengetahuan adalah imu. Ilmu adalah akumulasi atau proses
pengumpulan pengetahuan yang menjelaskan kausalitas (hubungan sebab-akibat)
dari suatu obyek menurut metode-metode tertentu yang merupakan suatu kesatuan
sistematis.
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara
sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu.
Sedangkan pengetahuan adalah pembentukan pemikiran asosiatif
yang menghubungkan atau menjalin sebuah pikiran dengan kenyataan atau dengan
pikiran lain berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang tanpa pemahaman
mengenai kausalitas yang hakiki dan universal.[1]
Dari kedua pengertian tersebut jelas bahwa pengetahuan bukan hanya
ilmu. Pengetahuan merupakan bahan utama bagi suatu ilmu. Selain itu, pengetahuan
tidak menjawab pertanyaan dari adanya kenyataan itu, sebagaimana dapat dijawab
oleh ilmu. Dengan kata lain, pengetahuan baru dapat menjawab tentang apa,
sedangkan ilmu dapat menjawab pertanyaan tentang mengapa dari kenyataan atau
kejadian.
Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Manusia diciptakan oleh Yang Maha
Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran.
Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu. Akal dan pikiran
memproses setiap pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki
manusia. Segala yang ditangkap melalui indera dimasukkan kedalam pikiran dan
perasaan manusia. Dengan segala keyakinan atau kepercayaannya ditariklah
kesimpulan-kesimpulan yang benar. Kesimpulan yang benar ini akan merupakan
pengetahuan yang diuji secara sistematis dan metodis hingga menjadi ilmu.
B.
OBYEK ILMU PENGETAHUAN
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang bertujuan mencapai kebenaran ilmiah tentang obyek tertentu, yang diperoleh
melalui pendekatan atau cara pandang (approach), metode(method), dan sistem
tertentu. Jadi pengetahuan yang benar tentang obyek itu tidak bisa dicapai
secara langsung dan sifat daripadanya adalah khusus.[2]
Obyek ilmu pengetahuan itu ada yang berupa materi (obyek materi)
dan ada yang berupa bentuk (obyek forma). Obyek materi adalah sasaran material
suatu penyelidikan, pemikiran, atau penelitian keilmuan, bisa berupa
benda-benda material maupun non material, bisa pula berupa hal-hal,
masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep. Obyek materi tidak terbatas pada
apakah ada dalam relitas kongkrit atau dalam realitas abstrak. Obyek materi,
yang material maupun non-material, sebenarnya merupakan suatu subtansi yang
tidak begitu saja dengan mudah diketahui, lebih-lebih non-material, sedang yang
materialpun sebagai suatu subtansi mempunyai segi yang sulit dihitung dan
ditentukan jumlahnya.
Kenyataan ini mempersulit usaha untuk memahami maknanya. Oleh
karena itu, dalam rangka mengetahui maknanya, orang lalu melakukan
pendekatan-pendekatan secara cermat dan bertahap menurut segi-segi yang
dimiliki obyek materi itu, dan tentu saja menurut kemampuan seseorang. Cara
pendekatan inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘obyek forma’ atau cara
pandang. Cara pandang ini berkonsentrasi pada satu segi saja, sehingga menurut
segi yang satu ini kemudian tergambarlah lingkup suatu pengetahuan mengenai
sesuatu hal menurut segi tertentu. Dengan kata lain, ‘tujuan’ pengetahuan sudah
ditentukan. Manusia sebagai obyek materi, dari segi kejiwaan, keragaan,
keindividuan, kesosialan, dan dari segi dirinya sebagai makhluk Tuhan,
masing-masing menentukan lingkup dan wawasannya sendiri-sendiri yang berbeda.
Oleh sebab itu wajarlah jika pengetahuan yang diperoleh tentang manusia juga
berlainan.
Bagi ilmu pengetahuan, perbedaan pengetahuan yang dihasilkan oleh
masing-masing segi itu justru harus seperti itu, karena dengan demikian
pegetahuan tentang manusia tadi bisa semakin lengkap dan jelas.
Menurut obyek formanya, ilmu
pengetahuan itu berbeda-beda dan banyak jenis serta sifatnya. Ada yang
tergolong ilmu pengetahuan fisis (ilmu pengetahuan alam), ilmu pengetahuan
non-fisis (ilmu sosial humaniora serta ilmu pengetahuan ketuhanan) karena
pendekatannya menurut segi kejiwaan. Ilmu pengetahuan fisis termasuk ilmu
pengetahuan ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif, sementara ilmu
pengetahuan non-fisis merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat kualitatif.
C.
CARA KERJA ILMU PENGETAHUAN
Perkembangan ilmu selalu mengiringi
tingkat kebutuhan manusia dari yang bersifat material, teknis, kemanusiaan,
kemasyarakatan, sampai yang bersifat spiritual dan religious. Keberagaman
kebutuhan hidup manusia menyebabkan berkembangnya berbagai disiplin ilmu, yakni
ilmu alam, ilmu sosial humaniora, dan ilmu agama. Jenis ilmu alam, seperti fisika,
biologi, kimia, matematika, geologi, geografi, dan lain sebagainya lahir untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik, material, dan mekanisme teknis dari manusia
terhadap alam. Ilmu sosial humaniora, seperti filsafat, sejarah sosiologi,
antropologi, dan psikologi lahir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
manusia yang lebih bersifat non-material dan bermuatan nilai, baik kepribadian
maupun hubungan-hubungan social, karena menyangkut makna hidup, dan hubungan
antar sesama manusia. Ilmu agama berkembang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
moral dan spiritual-religius agama.
1.
Cara Kerja Ilmu Alam
Pada masa Yunani kuno, sebelum
filsafat muncul sebagai tradisi keilmuan baru, ilmu fisika, matematika, kimia,
dan astronomi telah lama menjadi perbincangan di antara pecinta ilmu. Ilmu
mempunyai manfaat langsung bagi manusia, karena mudah diukur dan di amati,
secara praktis dapat dirasakan. Ilmu-ilmu alam yang sifatnya fisikal dan
material sangat penting bagi hidup manusia terutama untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan material dan praktis manusia.
Mohammad Hatta menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan itu lahir karena manusia dihadapkan pada dua masalah yaitu alam
luaran (kosmos) dan soal sikap hidup (etik). Ilmu-ilmu alam senantiasa memandang alam dari satu
jurusan melalui ukuran atau metode dan saran tertentu dan peninjauan tertentu
pula. Ilmu alam mencari keterangan mengenai alam yang bertubuh atau benda-benda
di alam yang dapat diketahui dengan pancaindera.[3]
Ilmu-ilmu alam berhubungan dengan
gejala-gejala alam yang sifatnya fisik, teramati, dan terukur. Gejala-gejala
alam memiliki sifat fisikal dan statis dari waktu ke waktu. Makna statis karena
jumlah variable dari gejala alam sebagai objek yang diamati juga relative lebih
sederhana dan sedikit. Misalnya, ketika ahli ilmu alam ingin menjelaskan suatu
eksplosi kimiawi, dia hanya perlu mempelajari sifat-sifat bahan kimiawi yang mudah
meledak dan mudah diamati. Jadi faktornya sederhana untuk dapat menjelaskan
eksplosi kimiawi.
Objek penelitian dalam ilmu-ilmu
alam tidak mengalami perubahan atau tetap. Sifat ini menunjukkan bahwa objek
penelitian dalam ilmu-ilmu alam dapat diamati secara berulang-ulang oleh
peneliti atau pengamat. Misalnya seseorang yang mengamati benda jatuh ke bumi,
variabel-variabel yang dipakai dalam eksperimen untuk menguji penemuan
gravitasi adalah sama, baik ketika zaman Newton (abad ke-17) maupun abad ke-21
saat ini.
Pengamatan dalam ilmu-ilmu alam
lebih mudah karena dapat dilakukan secara langsung dan dapat diulang kapanpun.
Kata mengamati dalam ilmu alam tentu lebih luas dari sekedar interaksi langsung
dengan pancaindera manusia, yang lingkup kemampuannya sangat terbatas.
Keterbatasan ini dapat diatasi manusia dengan menggunakan alat-alat bantu
seperti mikroskop, teleskop, alat perekam gelombang, dan lain sebagainya.
Prinsip pengamatan atau penelitian
dalam ilmu-ilmu alam adalah objektif, artinya kebenarannya disimpulkan
berdasarkan obyek yang diamati. Sisi
dominan pengamatan dalam ilmu-ilmu alam lebih sebagai penonton, maka tujuan
aktifitas pengamatan hanya menjelaskan obyeknya menurut penyebabnya, yang dalam
istilah Wilhelm Dilthey (1833-1911) disebut erklaren (penjelasan). Dalam
erklaren ini, pengalam dan teori dapat dipisahkan, artinya ada suatu
jarak antara pengamat dan yang diamati, pengamat tidak terlibat dalam objek
yang diamai, tugasnya hanya menjelaskan hasil pengamatannya.[4]
Ilmu-ilmu alam lebih menarik untuk
diteliti bukan hanya karena gejala alam membangun berbagai teori, tetapi karena
gejala-gejala alam yang diketahui dan dirumuskan dalam teori-teori itu dapat
digunakan untuk memprediksi kejadian-kejadian yang dimungkinkan akan timbul
dari gejala-gejala tersebut. Misalnya dari pengalaman hidupnya, manusia
mempelajari tekstur lempengan-lempengan dalam bumi, termasuk gerak-gerak dan
karakternya serta sebab-sebab terjadinya gerakan itu. Pengamatan tersebut dapat
menjelaskan semacam keajekan bahwa setiap sekian ratus tahun terjadi
patahan-patahan dari lempeng-lempeng bumi tersebut, dan pengetahuan ini dapat
dijadikan acuan prediksi, misalnya, jika terjadi didasar lautan maka akan
menimbulkan gelombang laut yang sangat besar atau yang lebih popular disebut
dengan gelombang tsunami.
2.
Cara Kerja Ilmu Sosial-Humaniora
Perkembangan ilmu-ilmu
sosial-humaniora tidak sepesat perkembangan ilmu-ilmu alam. Hal ini dikarenakan
objek kajian ilmu-ilmu sosial-humaniora tidak sekedar sebatas fisik dan
material tetapi bersifat lebih kompleks. Selain itu, dibandingkan ilmu-ilmu
alam, nilai manfaat ilmu-ilmu sosial-humaniora tidak dapat langsung dirasakan
karena harus berproses dalam wacana yang panjang.
Manusia membutuhkan ilmu-ilmu
sosial-humaniora untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak fisikal dan
material, melainkan bersifat abstrak dan psikologis. Misalnya, penemuan konsep
keadilan membawa manusia untuk mengatur perilaku sosialnya atas dasar konsep
tersebut. Konsep kemanusiaan membawa manusia kepada sikap tidak diskriminatif
atas orang lain meskipun berbeda suku, agama, ras, budaya, dan warna kulit.
Gejala-gejala yang diamati dalam
ilmu-ilmu sosial-humaniora memiliki keunikan-keunikan dan kemungkinan bergerak
dan berubahnya sangat besar, karena mereka tidak stagnan dan tidak statis,
tetapi mereka hidup dan bergerak secara dinamis. Objek studi ilmu-ilmu
soasial-humaniora adalah manusia, terutama pada aspek dalam (inner world-nya)
atau apa yang ada dibalik manusia secara fisik, seperti mental life,
mind-affected world, inner-side. Kuntowijoyo dalam ermi suhasti mengatakan
bahwa manusia memiliki free will dan kesadaran, karena itulah, ia bukan
benda yang ditentukan menurut hukum-hukum yang baku sebagaimana benda-benda
mati lainnya yang tidak memiliki kesadaran apalagi kebebasan kehendak. Benda
mati dapat dikontrol dan dikendalikan secara pasti, tetapi manusia tidak dapat di
kontrol dan dikendalikan, tetapi dapat dikendalikan orang lain dan dapat juga
mengendalikan orang lain.
Gejala-gejala sosial-humaniora
cenderung tidak dapat ditelaah secara berulang-ulang, karena gejala-gejala
tersebut bergerak seiring dengan dinamika konteks historisnya. Ilmu-ilmu sosial-humaniora
hanya memahami, memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial-humaniora, bukan
menemukan dan menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan, dan penafsiran
ini lebih besar menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan menghasilkan
kesimpulan yang bertentangan.[5]
Subyek pengamat dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora
jelas jauh berbeda dengan ilmu-ilmu alam. Dalam ilmu-ilmu alam, subyek pengamat
dapat mengambil jarak dan fokus pada obyektifitas yang diamati. Namun dalam
ilmu-ilmu sosial-humaniora subyek pengamat terlibat baik secara emosional
maupun rasional dalam dan merupakan bagian integral dari obyek yang diamatinya.
Manusia dapat mengamati benda-benda fisik seperti gerak-gerik angin tanpa
terlibat secara pribadi, tetapi manusia tidak mungkin mengamati manusia lain tanpa
melibatkan minatnya, nilai-nilai hidupnya, kegemarannya, motifnya, dan tujuan
pengamatannya yang juga akan mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam
mempelajari gejala-gejala sosial-humaniora.
Wilhelm Dilthey dalam ermi suhasti
mengatakan bahwa ilmu-ilmu alam menggunakan erklaren (penjelasan),
sedang pengamatan dalam ilmu-ilmu social-humaniora memakai verstehen
(pemahaman). Verstehen atau memaknai memegang prinsip mengungkapkan
makna tidak sekedar menjelaskan. Di dalamnya terkandung prinsip bahwa
pengalaman dan pemahaman teoritis tidak terpisahkan dan justru dipadukan.[6]
Suatu teori sosial-humaniora tidak
mudah untuk memprediksi kejadian sosial-humaniora berikutnya, dikarenakan pqola
perilaku sosial-humaniora yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian
yang sama, dan pola perilaku sosial-humaniora selalu mengalami dinamika
perubahan dan perkembangan. Hal ini tidak berarti hasil temuan dalam ilmu-ilmu
sosial-humaniora tidak dapat dipakai sama sekali untuk meramalkan
kejadian-kejadian sosial lain.
3.
Cara Kerja Ilmu Agama
Ilmu-ilmu keagamaan adalah suatu
disiplin ilmu yang yang penting dalam kehidupan manusia. Ilmu ini berkembang
sejak manusia dihadapkan pada kekuatan-kekuatan adikodrati. Mereka membangun
ritual keagamaan sebagai symbol pemahaman tentang hidup dan realitas hubungan
manusia dengan alam dan adikodrati.
Gejala keagamaan merupakan sesuatu
yang bergerak, tidak statis, jadi lebih dekat dengan gejala social-humaniora. Gejala
keagamaan ini mengindikasikan suatu dinamika keimanan sebagai hasil dari
pengalaman dan pemahaman atas teks-teks suci keagamaan yang diyakini
Obyek kajian ilmu-ilmu keagamaan
adalah manusia yang beragama dan lebih fokus pada inner-worldnya, yakni aspek
keimanan teologisnya, seperti paham ketuhanannya dan implikasinya pada perilaku
social-kemanusiaannya, dan pemahaman keagamaan yang dibangun oleh manusia
beragama. Ilmu-ilmu agama memandang manusia pada aspek religiusitasnya.
Obyek penelitian ilmu-ilmu keagamaan
bersifat tidak dapat diulang-ulang, karena kejadian keagamaan sebagaimana
tercermin dalam perilaku keagamaan orang beragama atau masyarakat beragama pada
kurun waktu dan tempat tertentu tidak mungkin dapat direkontruksi orang
sesudahnya seperti pada masa awalnya.
Pengamatan dalam ilmu-ilmu
sosial-humaniora, sulit dan kompleks, karena melihat dan memaknai apa yang ada
di balik kegiatan dan perilaku fisik dan empiris manusia beragama. Kegiatan dan
perilaku fisik dan empiris manusia beragama adalah bentuk ekspresif dari
keimanan mereka pada Tuhan sebagai hasil pemahaman mereka terhadap teks-teks
suci yang diyakini.
Pengamat atau peneliti dalam ilmu-ilmu
keagamaan tidak dapat dilepaskan dan merupakan bagian integral dari obyek yang
diamati, yaitu perilaku sosial-humaniora manusia beragama atau
aktifitas-aktifitas keagamaan. Dalam mengkaji teks-teks suci keagamaan atau
teks-teks keagamaan hasil interpretasi atas teks-teks suci, seorang pengamat
pasti terlibat secara emosional dan rasional dalam memahami dan menyimpulkan
makna mereka.
Suatu teori sebagai hasil pengamatan
terhadap aktifitas-aktifitas kegamaan tidak mudah meramal aktifitas-aktifitas
keagamaan lainnya yang akan terjadi. Hal ini karena pola-pola perilaku
keagamaan yang sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian-kejadian berikutnya
yang sama.
Kerja ilmu-ilmu keislaman bersumber
pada teks-teks suci, yakni Al-Qur’an dan Hadis Nabi, dan sumber penalaran
rasional dan pengalaman empiris keislaman. Keterkaitan sumber-sumber studi
Islam tersebut telah melahirkan banyak disiplin ilmu dalam Islam, seperti Studi
Al-Qur’an dan teori pemahaman Hadis, fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, tasawuf,
ilmu akhlaq atau etika dalam Islam, politik Islam, ekonomi Islam, sosiologi
Islam, dan seterusnya mengikuti perkembangan ilmu-ilmu.
Prinsip kerja ilmu-ilmu keIslaman
mengikuti sebagaimana cara kerja ilmu-ilmu keagamaan, yakni mempertimbangkan
gejala-gejala keIslaman yang tercermin dalam karya-karya keIslaman dan perilaku
dan aktifitas keagamaan Islam dari para penganutnya dengan disertai dengan
penginterpretasian ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi, karena karya dan
aktifitas tersebut selalu merupakan ekspresi keberagaman Islam.
Dalam kata studi Islam terkandung
persoalan bagaimana Islam memahami dan memegangi realitas kehidupan dengan
berbagai ragamnya. Maksudnya hubungan antara manusia, alam, dan tuha melahirkan
berbagai realitas yang semakin beragam, yaitu social, politik, budaya,
pendidikan, hokum, HAM, ekologi, spiritualitas, dan lain sebagainya.
Persoalannya adalah bagaimana
sesungguhnya pandangan dunia Islam tentang kehidupan ini secara umum,
jawabannya bukan hanya dengan fiqh saja, dengan tafsir Al-Qur’an, dengan
tasawuf, dengan ilmu kalam, dengan politik Islam saja dan seterusnya, melainkan
dengan semua disiplin ilmu keIslaman yang tela ada dan dimungkinkan ada. Hal
ini berarti bahwa harus ada interkoneksi dan interkomunikasi antara
disiplin-disiplin keilmuan Islam.
A.
KESIMPULAN
Ilmu adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan adalah imu.
Ilmu adalah akumulasi atau proses pengumpulan pengetahuan yang
menjelaskan kausalitas (hubungan sebab-akibat) dari suatu obyek menurut
metode-metode tertentu yang merupakan suatu kesatuan sistematis.
Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara
sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu
tertentu.
Setiap disiplin
ilmu memiliki prinsipnya masing-masing dalam cara kerjanya. Dalam ilmu alam, objek yang dikaji
adalah benda mati yang mana pengamatannya bisa dilakukan berulang-ulang dan
kebenarannya bisa dilihat pada sebuah penelitian yang dilakukan. Berbeda dengan
ilmu sosial humaniora, karena objek yang dikaji adalah manusia yang mana bisa berubah-ubah
dalam setiap waktunya, sehingga kebenarannya tidak hanya bisa dilihat dari
sebuah pengamatan, karena manusia sendiri sebagai objek kajian dalam ilmu
sosial humaniora sehingga hasil pengamatannya pun menghasilkan beberapa hasil
yang bervariasi. Berbeda pula dengan ilmu agama, yang dikaji dalam ilmu agama
adalah melihat dan memaknai apa yang ada dibalik kegiatan dan perilaku fisik
dan empiris manusia beragama. Karena kegiatan tersebut adalah bentuk ekspresif
dari keimanan mereka pada Tuhan. Oleh karena itu, hasil pengamatannya sulit
untuk dipastikan.
B.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soetriono
& SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, C.V
Andi Offset (penerbit andi) Yogyakarta. 2007.
2.
Ermi
Suhasti, Pengantar Filsafat Ilmu, Cet.1, Yogyakarta : Prajnya Media,
Januari 2012.
3.
Bachri
Ghazali, dkk, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : pokja akademik uin sunan
kalijaga, 2005).
[1]
Soetriono & SRDm Rita Hanafie, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, C.V Andi Offset (penerbit andi) Yogyakarta.
2007. Hlm.140.
[2] Ibid, hlm.12.
[3]
Bachri Ghazali, dkk, Filsafat Ilmu,
(Yogyakarta : pokja akademik uin sunan kalijaga, 2005), Hlm. 57.
[4]
Ermi Suhasti, Pengantar Filsafat Ilmu,
Cet.1, Yogyakarta : Prajnya Media, Januari 2012. Hlm. 114.
[5] Ibid,
hlm. 116.
[6] Ibid, hlm.120.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar