MENGAPA ISLAM, NASRANI DAN YAHUDI
SALING MEMPEREBUTKAN BAITUL MAQDIS?
A.
Dari Ur Khasdim ke Kan’an (Tanah yang Dijanjikan)
Tiga
penganut agama dunia yang tak henti-hentinya terlibat dalam konflik perebutan Baitul
Maqdis adalah: Yahudi, Kristen, dan Islam yang semuanya mengaku dan mengklaim
diri sebagai keturunan, penerus, dan ahli waris ajaran dan tradisi Ibrahim. Apapun
klaim yang mengemuka, yang pasti sejarah tanah suci ini adalah sejarah
peperangan, sejarah perebutan tanah, yang dimulai Nabi Ibrahim. Ibraham tidak
hanya menjadi bapak para leluhur Israel tetapi juga bapak leluhur Arab.
Bermula
dari kurun waktu sekitar 4000 tahun yang lalu ketika di kota Ur, tanah Khaldea,
hidup Terah beserta keluarganya yang menyembah matahari dan berhala. Ketika
berusia 70 tahun, Terah mempunyai tiga orang putra, yaitu Nahar, Ibrahim, dan
Harran. Kota Ur, disebut juga Ur Khasdim merupakan salah satu kota terpenting
di negeri Mesopotamia. Secara umum negeri Mesopotamia dikenal sebagai negeri
yang subur dengan dua sungai besar Eufrat dan Tigris yang mengapit daerah
tersebut.
Ibrahim,
salah seorang putra Terah, lahir pada tahun 2018 SM[1].
Meskipun dibesarkan dalam sebuah keluarga pagan (penyembah berhala), Ibrahim
tampil dengan revolusi pemikiran dengan melakukan protes terhadap tradisi
masyarakat yang telah mapan. Ia menolak tradisi keagamaan pagan di Ur Kasdim.
Menurut Ibrahim, menyembah berhala adalah sebuah kesesatan nyata.
Kemudian
selang beberapa lama, Ibrahim dan istrinya meninggalkan keluarga dan kampung
halamannya di daerah Ur, Mesopotamia, untuk melaksanakan panggilan Tuhan pergi
ke tanah yang dijanjikan. Peristiwa itu terjadi pada awal millennium kedua SM,
selama Zaman Perunggu Akhir. Ketika Allah memanggil Ibrahim, Ia menjanjikannya
antara lain sebuah tanah. Mereka berjalan menuju tanah Kan’an. Inilah yang
kemudian disebut dengan Tanah Terjanji.[2]
Wilayah
yang selalu diperebutkan dari masa ke masa itulah yang sering disebut sebagai
“Tanah Terjanji” atau “Tanah Yang Dijanjikan”; yang dijanjikan oleh Yahweh
kepada Ibrahim ketika dipanggil untuk meninggalkan kampung halamannya di Ur
Kasdim, Mesopotamia, Khaldea−sekarang Irak bagian selatan. Karena itu, Ibrahim
juga disebut juga orang “Ibrani” yang artinya “menyeberang” karena ia menyebrangi sungai Eufrat dari Ur
wilayah Khaldea.
Anak
keturunan Ibrahim secara tidak terencana telah membangun sebuah daerah
pemukiman yang membentang didataran tinggi Kan’an, mulai dari selatan hingga
utara. Mereka mengembangkan pola kehidupan masyarakat suku, sehingga sumber
ekonomi menjadi milik bersama. Secara umum, mata pencaharian mereka adalah
bertani gandum dan beternak kambing. Hal ini berlangsung sekian lama, sampai
suatu ketika terjadilah musim paceklik pangan di pelbagai daerah sehingga
mereka memilih pindah ke negeri Mesir. Para ahli bersepakat bahwa di dataran
tinggi Kan’an inilah bangsa Israel dilahirkan.[3]
B.
Kota Yerussalem
Wilayah
palestina terkenal dengan kota Yerussalem sebagai kota suci, sebagai tempat
yang diklaim oleh umat Yahudi, Nasrani, dan Islam sebagai kota suci agama
mereka dan selalu menjadi ajang perebutan kekuasaan.
Yerussalem
berarti negeri nan damai, tenteram, dan sejahtera. Dalam bahasa Arab dikenal
dengan “Baitul Maqdis”. Kota itu merupakan tempat bertemunya tiga agama:
Yahudi, Nasrani, dan Islam. Kaum Kan’an menamakan Yerussalem dengan Ursalam.[4]
Nama
Yerussalem berasal dari dua buah suku kata, yaitu Jebus dan Salem. Jebus adalah
nama sebuah suku penduduk negeri itu, dan Salem adalah sebutan untuk Tuhan Yang
Maha Tinggi. Kota Jebus ini pada tahun 997 SM diduduki oleh Raja Daud, Raja
dari Bani Israil. Raja Daud menetap di Yerussalem, sehingga orang menamai
Yerussalem sebagai kota Daud. Kerajaan Daud bertahan cukup lama di di
Yerussalem sekitar 33 tahun. Sebelum menduduki Yerussalem Raja Daud telah
menjadi Raja Hebron selama 7 tahun. Pada masa pemerintahan Raja Daud banyak
menghasilkan kemajuan bagi negerinya dan beliau memerintah dengan adil dan
bijaksana.[5]
Setelah
Raja Daud wafat, kerajaan diwariskan kepada puteranya yang bernama Sulaiman dan
berlanjut sampai kepada dua cucunya yang bernama Rehabeam dan Yerobeam.
Rehabeam mendapat bagian daerah pusat kerajaan dengan ibu kotanya di Quds
(Yerussalem), serta memerintah keturunan Yehuda dan Benyamin. Adapun Yerobeam
mendapat bagian dikawasan bagian tengah dan utara Palestina dengan ibukota
kerajaan di Shikem, serta memerintah keturunan Bani Israel.
Adapun
perpecahan kerajaan Israel tersebut ditimbulkan karena adanya sengketa antara
keluarga bangsawan, yang masing-masing ingin memegang pemerintahan, serta
adanya perbedaan pendapat dan pandangan yang tidak dapat dipadukan. Oleh karena
itu, dua kerajaan tersebut saling berperang dan sulit diredakan, bahkan sering
melibatkan pihak dari luar kerajaan. Akibat dari perselisihan kedua kerajaan
tersebut sering merupakan sumber dari segala persengketaan, ketegangan, dan
kerusuhan di kawasan Palestina dan negara-negara sekitarnya, sehingga Negara
Mesir, suriah, dan Yordan bagian timur ikut terlibat perang.[6]
C.
Munculnya Tiga Agama Monoteis (Ibrahimi)
Nabi
Ibrahim memiliki dua istri yang bernama Sarah dan Hajar. Melalui Sara lahirlah
Ishak, sedangkan melalui Hajar lahirlah Ismail. Ishak kelak menurunkan
nabi-nabi berbangsa Israel, seperti Ya’kub, Yusuf, Yunus, Musa, Harun, Ilyas,
Ilyasa, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa. Di antara nabi dan rasul lain
dari keturunan Ibrahim adalah Ayub dan Zulkifli. Kedua nabi ini adalah anak
al-ish bin ishak bin Ibrahim, tetapi bukan bangsa Israel. Para nabi dan rasul
keturunan Ibrahim hidup sekaligus mendakwahkan agama Ibrahim dikawasan Bulan
Sabit Subur. Sementara dari Ismail, lahirlah bangsa Arab yang mendiami Jazirah
Arab. Melalui Ismail inilah terlahir Nabi Muhammad, nabi serta rasul terakhir
setelah kenabian Isa.
Kedua
anak Ibrahim pun mengemban amanat untuk menjaga tempat suci agama Allah. Nabi
Ishak, melalui keturunannya, menjaga Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha di tanah
suci Yerussalem, Palestina. Sementara Ismail dan keturunannya menjaga Ka’bah di
Makkah, semenanjung Arab. Pada prinsipnya, mereka semua menjadi para pendakwah
agama tauhid Allah dihamparan muka bumi. Mereka berkata bahwa Allah-lah Tuhan
semesta alam. Keimanan ini terus diajarkan dalam taurat Nabi Musa, Zabur Nabi
Daud, Injil Nabi Isa, dan AlQur’an Nabi Muhammad.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan kota Yerussalem menjadi
penanda lahirnya agama semit, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam−meskipun
sebenarnya Islam muncul di jazirah arab−. Kehadiran tiga agama di Yerussalem
ini juga mengalami masa-masa sulit, mereka harus menghadapi pasukan-pasukan
musuh yang dalam sudut pandang mereka adalah orang-orang yang telah merampas
tanahnya.
a)
Agama Yahudi
Di dalam skripsinya Achmad Luthfi mengutip bukunya Karen Amstrong
menjelaskan, bahwa mereka−orang-orang Israel− berasal dari Mesopotamia. Mereka
pernah menetap beberapa lama di bumi Kan’an. Akan tetapi, pada tahun 1750 SM
mereka berimigrasi ke Mesir karena dilanda paceklik. Pada awalnya mereka hidup
sejahtera dan makmur disana, namun kondisi ini tidak berlangsung lama, situasi
mereka merosot tajam dan mereka menjadi budak. Akhirnya pada sekitar tahun 1250
SM mereka berhijrah dari Mesir dibawah pimpinan Nabi Musa−yang kemudian
diyakini sebagai peristiwa Eksodus (peristiwa hijrah bersama Musa)−untuk
kembali ke Tanah yang Dijanjikan−yakni bumi Kan’an−kepada suku Israel.
Sampai disini peristiwa Eksodus tersebut belumlah dimulai,
peristiwa Eksodus yang sesungguhnya itu baru terjadi setelah−melalui Musa−mereka
mendapatkan pedoman dan hukum dari Tuhan dalam bentuk Sepuluh Perintah ( kitab
Taurat yang isinya adalah perjanjian antara Allah dan Bani Israel) di atas
Bukit Sinai−dalam literature Arab disebut dengan Thursina, Jabal Munajah, atau
Jabal Musa.
Menurut Karen Amstrong, peristiwa Eksodus ini merupakan salah satu faktor
terpenting dibalik penyebutan kata “suci”−bagi Bani Israel waktu itu khususnya, dan kaum Yahudi pada
umumnya−untuk Yerussalem dikemudian hari. Pada waktu Nabi Sulaiman mendirikan
Kuil pertama di Bukit Zion untuk menyimpan kotak Perjanjian Musa, mitos baru
muncul terhadap bangunan itu, mereka meyakini bahwa bangunan itu adalah tempat
bersemayamnya Tuhan mereka, Yahweh. Pemahkotaan Yahweh di Kuil Bukit Zion,
membuat Yerussalem disebut Kerajaan Tuhan.[7]
Bani Israel memusatkan seluruh peribadatannya di Kuil Sulaiman
tersebut. Sebab, menurut mereka kuil member rasa kembalinya surga yang hilang,
menjadi simbol kesucian, sumber kesuburan dan ketaraturan dunia. Ziarah ke kuil
merupakan sebuah pengalaman mi’raj ke tempat dimana dunia batin bertemu
dengan dunia lahir. Kegiatan-kegiatan liturgi ini terus berlanjut pada
masa-masa Bani Israel awal.
b)
Agama Kristen
Ketika
kaum Yahudi kemudian dapat kembali ke Yerussalem, Herodes−raja Yahudi keturunan
Arab yang taat kepada Roma−membangun kembali Kuil itu dengan megah, yang
kemudian disebut dengan “The Second Temple” (Kuil Kedua). Namun,
bangunan megah itu berdiri tanpa makna yang mendalam. Karena itu dikutuk oleh
Nabi Isa. Kutukan itu terwujud dengan datangnya tentara dari Roma di bawah
kepemimpinan Titus yang meluluh lantahkan dan meratakannya dengan tanah. Yang
tersisa hanyalah sebuah Ratapan Tembok, tempat paling suci kaum Yahudi.
Dengan
hancurnya Kuil Kedua ini dianggap sebagai bukti kebenaran ajaran baru yang
dibawa Yesus dari Nazareth atas kepercayaan orang Yahudi. Perlahan-lahan agama
Kristen mulai berkembang dan mendapat basis kuat di kekaisaran Byzantium yang mengambil
alih kekuasaan Romawi atas Yerussalem. Pada abad ketiga, Kristen menjadi agama
dengan jumlah penganut terbanyak di sana. Yerussalem menjadi penting bagi
Kristen karena seluruh peristiwa yang berkaitan dengan kelahiran agama ini
berlangsung di kota itu.
Pada
abad ke-4 tampuk kekuasaan berada dibawah Konstantine. Dalam masa kekuasaan
Konstantine terjadi konflik internal dalam tubuh agama Kristen, konflik ini
berawal dari perdebatan anatara Uskup Kaisaera dan Uskup Aelia yang
memperdebatkan tentang hakikat Yesus sebagai Tuhan dan makam Yesus yang
terdapat di bawah kuil Dewi Aphrodithe. Namun, pada akhirnya, kaisar Konstantine
memutuskan untuk melakukan penggalian situs-situs suci, meskipun ia harus
menaruhkan jabatannya.
Setelah
dua tahun melakukan penggalian, pada 327 M mereka menemukan sebuah makam batu
yang segera dinyatakan sebagai bekas kuburan Yesus. Pada saat yang sama, para
pekerja menemukan bukit cadas kecil Golgotha, yang diyakini sebagai tempat
dimana penyaliban Yesus dulu dilakukan.
Selanjutnya,
pada musim semi 614, Persia mulai menyerang wilayah kekuasaan Byzantium.
Jenderal Persia Shahrbaraz menginvasi Yerussalem. Kaum Yahudi, waktu itu
berpihak dan member dukungan Persia. Tentara Persia secara sistematis
menghancurkan seluruh gereja dan tempat suci Kristen. Lebih dari enam puluh
ribu orang terbunuh, dan sisanya dibuang ke pengasingan. Nasib mereka hampir
tak berbeda dengan kaum Yahudi yang dulu mereka taklukan. Mereka pun mengenang
Yerussalem persis cara Yahudi mengenang kota itu. Dan akhirnya Persia
memberikan mandat penguasaan kota kepada Yahudi.
Pada
622, terjadi kesepakatan damai antara Persia dan Byzantium. Di bawah pimpinan
Heraklius, Martyrium direstorasi. Yerussalem kembali menjadi kota suci Kristen.
Akan tetapi Heraklius ceroboh dalam kebijakannya terhadap Yahudi. Pada 634, dia
memaksa seluruh Yahudi untuk dibaptis. Tindakan ini membuatnya kehilangan
dukungan Yahudi. Akibatnya, empat tahun kemudian, ketika Heraklius harus
berhadapan dengan serangan tetangga dari sebelah selatan, kaum Yahusi justru
berpihak pada musuh. Saat itulah kaum Muslim datang menaklukan Yerussalem,
dengan membawa “era kesucian” baru.[8]
c)
Agama Islam
Awal
mula lahirnya Islam bukanlah di Tanah yang Dijanjikan−Yerussalem--, seperti dua
agama yang telah dijelaskan diatas, melainkan jauh berada diluar Tanah yang
Dijanjikan, yakni Arab. Bangsa arab sebenarnya satu keturunan dengan bangsa
Yahudi. Yakni melalui Nabi Ibrahim yang mempunyai dua putra yang bernama Ismail
dan Ishak. Nabi Ismail inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Arab. Keturunan
Nabi Ismail sampai pada Nabi Muhammad.
Untuk
mempersingkat pembahasan mengenai masuknya Islam ke Yerussalem, pada poin ini,
saya akan langsung kepada peristiwa perluasan wilayah yang dilakukan Khalifah
Umar ibn Khattab.
Achmad
Luthfi mengutip dalam bukunya Karen Amstrong di tuliskan bahwa salah satu
wilayah yang menjadi daerah taklukan Khalifah Umar dan pasukannya adalah
Yerussalem, Palestina.pada tahun 20 Agustus 636, umat Muslim mengalahkan
pasukan Byzantium dalam pertempuran Yarmuk. Di tengah-tengah pertempuran,
orang-orang Ghassaniah melakukan desersi dari Byzantium dan bergabung dengan
sesama orang Arab. Dengan bantuan Yahudi, orang-orang Muslim mulai menaklukkan
sisa negeri itu. Pada tahun 637 merupakan sebuah momen penting dalam sejarah
Palestina, pasukan Muslim mendirikan kemah di luar dinding Yerussalem, dan
selanjutnya, daerah ini berada di bawah kendali kaum Muslimin.[9]
Pada
masa-masa itu umat Islam membawa peradaban bagi Yerussalem dan seluruh
Palestina. Setelah permulaannya yang gemilang, imperium ini tampaknya berada
dalam bahaya perpecahan ketika Umar dibunuh oleh seorang tawanan Persia.
Sepeninggal Umar, kursi kekhalifahan diganti oleh Usman bin Affan. Kontribusi
utamanya pada Yerussalem adalah menciptakan dan menghadiahkan sebuah taman umum
yang luas di Kolam Siloam bagi orang-orang miskin kota.
Usman
adalah orang yang shaleh, namun pemimpinnanya kurang efektif, dan ketika dia
dibunuh oleh sekelompok petinggi, mereka memproklamasikan Ali bin Abi Thalib
sebagai khalifah ke-empat. Pada masa pemerintahannya, terjadi perang didalam
tubuh intern umat Islam yang berlarut-larut hingga terbunuhnya ‘Ali oleh
sekelompok anggota baru yang fanatik.
Cerita
selanjutnya, Yerussalem berada pada kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada masa
inilah Yerussalem memulai kemerosotan, Negara kekhalifahan Islam terus melemah
secara progresif hingga akhirnya harus pecah menjadi tiga kekhalifahan.
Khalifah Abbasiyah berdiri di timur; kahlifah Fatimiyyah di Mesir, sebagian
wilayah Afrika Utara dan Syiria; dan khalifah Umawiyah di Andalus.
Perlawanan
dan pemberontakan yang terjadi−sepanjang orang-orang Islam memerintah di daerah
ini− dapat teratasi. Akan tetapi, di penghujung abad ke XXI, pada saat kondisi
umat Muslim yang seperti ini, kekuatan penakluk lain datang dari Eropa memasuki
daerah ini dan merampas kota Yerussalem dengan tindakan yang tidak
berperikemanusian dan kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Saat
itulah tentara Perang Salib−yang biasanya disebut dengan istilah Crusader−tiba
di perbukitan di luar Yerussalem.
D.
Arti Penting Baitul Maqdis Bagi Yahudi, Nasrani, dan Islam
Kota Yerussalem merupakan kota suci bagi umat Yahudi, Nasrani, dan
Islam, sebab hampir seluruh bangsa dengan tiga agama di muka bumi ini berkiblat
ke sana. Dengan demikian, semua merasa memeiliki kota Yerussalem.
Kisah tanah suci di Palestina kerap dikaitkan dengan keberadaan
Masjidil Aqsha di bukit Muriah, Yerussalem. Masjidil Aqsha, yang secara
bahasa berarti masjid terjauh, merupakan tempat ibadah tertua kedua
dimuka bumi setelah Ka’bah di Makkah Almukarromah. Inti ruang peribadatan
terletak pada bongkahan datar batu karang sehingga tempat itu dikenal ruang
paling suci dari Masjidil Aqsha. Istilah Masjidil Aqsha juga di kenal dengan
nama Baitul Maqdis, Beit Ha Mikdash, Kuil Sulaiman, dan Baitullah
(mengalami kehancuran). Ini terjadi setelah adanya serangan brutal Kaisar
Nabukadnezar dari Babel, sekitar tahun 597.[10]
Satu hal perlu dipahami, Masjidil Aqsha adalah hamparan tanah
lapang berbentuk persegi panjang. Di tanah itulah, Nabi Sulaiman membangun
Baitul Maqdis, Nabi Isa tinggal dan mangkat, serta Nabi Muhammad melakukan
Mi’raj. Masjidil Aqsha lebih mirip dengan sebuah kompleks bangunan tempat
peribadatan, ada Tembok Ratapan, Gereja Makam Suci, Serta Masjid Kubah Batu dan
Al-Aqsha.
Sebagai fakta sejarah, Yerussalem merupakan satu-satunya kota yang
mempertemukan, bahkan mempersatukan agama-agama samawi, yakni Yahudi, Kristen,
dan Islam. Umat Yahudi menjadikan ratapan sebagai tempat suci, yang mana doa-doa
mereka akan di kabulkan tuhan. Sedangkan umat Kristiani mengabadikan Gereja
Makam Kristus sebagai tempat penyaliban Yesus.
Di dalam tradisi Islam ada dua momentum yang seringkali dijadikan
sebagai pijakan untuk mendekatkan mereka dengan Yerussalem:
1.
Peristiwa
Isra’ Mi’raj.
Perjalanan
spiritual dari Makkah ke Yerussalem, lalu dari Yerussalem ke Sidratul Muntaha.
Peristiwa ini sangat penting, karena menjadi awal disyariatkannya shalat bagi
umat Islam. Bahkan, sebelum turun perintah Tuhan agar umat Muhammad menghadap
kiblat ke Ka’bah di Makkah, mereka menghadap kiblat ke Masjidil Aqsha di
Yerussalem. Jadi, Yerussalem dimasa lalu adalah kiblat shalat umat Islam.
Peristiwa
menarik yang pernah dicatat dalam kitab-kitab sejarah, saat Muhammad transit di
Yerussalem dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, beliau melaksanakan shalat berjamaah
dengan Musa dan Isa. Peristiwa tersebut di abadikan sebagai potret toleransi
Islam dengan kedua agama samawi lainnya, yaitu Yahudi dan Kristen. Bahkan,
seorang Muslim diwajibkan beriman kepada kedua Nabi tersebut serta Kitab Suci
yang dibawa mereka, yaitu Taurat dan Injil.
2.
Pembebasan
Yerussalem oleh khalifah Umar bin Khatab.
Setelah Amr bin
Ash berhasil menguasai Yerussalem, Umar bertandang ke kota suci tersebut
sembari membuat perjanjian yang bersejarah, karena memberikan jaminan kebebasan
beribadah bagi umat Yahudi dan Kristiani.
Sedari awal
Umar bin Khatab menyadari, Yerussalem adalah kota suci bagi agama-agama samawi.
Kesucian ini tidak hanya terletak pada Kalam Tuhan yang diabadikan dalam Kitab
Suci mereka, tetapi pada situs-situs sejarah yang bersifat faktual.
E.
Daftar Pustaka
1.
Hermawati,
Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed.1
2005.
2.
Abu
bakar, Berebut Tanah Suci Palestina, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.
3.
Ibnu
Safi, Jerussalem Kota Suci Yang Bergelimang Darah, Majalah Amanah,
No.24, 13 Mei, Jakarta 1994.
4.
Achmad
Luthfi, Pemikiran Karen Amstrong Tentang Yerussalem,(Skripsi Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), 2006.
5.
Trias
Kuncahyono, Jerussalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan
Tragedi di Tanah Suci, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, April 2011.
[1] Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed.1 2005, hlm.26
[2]
Trias Kuncahyono, Jerussalem 33:
Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, April 2011. Hlm. 72
[3] Abu bakar, Berebut Tanah Suci Palestina, Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008, hlm.9
[4] Ibnu Safi, Jerussalem Kota Suci Yang
Bergelimang Darah, Majalah Amanah, No.24, 13 Mei, Jakarta 1994. Hlm.32
[5] Ibid., Hlm.32
[6] Ibid., Hlm. 51
[7]
Achmad Luthfi, Pemikiran Karen Amstrong
Tentang Yerussalem,(Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta), 2006. Hlm. 64
[8] Ibid., hlm. 81
[9] Ibid., hlm. 90
[10] Op,Cit., Abu bakar, Berebut Tanah Suci
Palestina, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hlm. 134-135