BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gadamer menolak konsep Hermeneutika sebagai
metode. Meskipun hermeneutika menurut dia adalah pemahaman, namun ia tidak
menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis. Dalam karyanya yang berjudul Philosophical
Apprenticeships, ia menulis sebagai berikut: Dapatkah tujuan sebuah metode
menjamin kebenaran?. Bahkan bisa juga dipersoalkan apakah pemahaman sudah pasti
berkaitan dengan kata-kata atau tidak? Filsafat harus menuntut sains dan metodenya
supaya mengenali siapa dirinya sendiri terutama dalam konteks eksistensi
manusia dan penalarannya (Gadamer, 1985:179). Ada banyak hal seperti rasa lapar
, perasaan cinta, kerja dan penguasaan, tangisan bayi, dan ajal yang segera
menjemput, yang pada dasarnya bukan ucapan dan bahasa, melainkan hal-hal yang
membatasi ruang dimana pengertian “saling berbicara” dan “saling mendengarkan”
dapat menempatinya. Meskipun memang benar bahwa contoh-contoh itu mungkin saja
luput dari (tidak berkaitan dengan) kata-kata, namun tetap saja di situ ada
sesuatu yang menuntut agar dia di fahami. . Tidak perlu diperdebatkan lagi
bahwa hal itu terdapat dalam pendapat dan ucapan yang ditampilkan setiap orang
sehingga menyebabkan refleksi hermeneutik menjadi penting untuk di bahas.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran konsep dasar
Hermeneutika?
2. Siapa Hans George Gadamer?
3. Bagaimana Hermeneutika Dialektis Hans
George Gadamer?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami konsep dasar Hermeneutika.
2. Mengenal sosok Hans George Gadamer.
3. Memahami Hermeneutika Dialektis Hans George
Gadamer.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Hermeneutika
Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami apa yang dikatakan dengan
kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya. Namun belakangan ini, ia mencoba menggerakkan
bersama-sama dua wilayah teori pemahaman, yaitu persoalan tentang apa yang
terlibat dalam peristiwa pemahaman sebuah teks, dan persoalan tentang pemahaman
itu sendiri, dalam pengertian yang sangat fundasional dan “eksistensial” itu
sendiri.
Akar kata hermeneutika berasal dari istiah Yunani dari kata kerja hermeneuein,
yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, yang berarti
“interpretasi”. Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuk dasar makna dalam
pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam
teologi dan sastra, dan dalam konteks sekarang ia menjadi keyword untuk
memahami hermeneutika modern.
Hermeneuin dan hermeneia dalam berbagai bentuknya, terdapat
dalam beberapa teks yang terus bertahan semenjak awalnya. Aristoteles menemukan kelayakan
subyek ini pada risalah besarnya dalam Organon, Peri hermeneias
terkenal, yang di terjemahkan dengan “On Interpretation”. Kata itu terdapat
dalam bentuk kata bendanya di dalam Oedipus at Colonus, juga terdapat
dalam karya Plato. Tentu saja bentuk yang beragam dari istilah itu ditemukan
pula dalam beberapa penulis awal terkemuka, misalnya Xenophon, Plutarch,
Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus.[1]
Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani
yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang bertugas menyampaikan
pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang
mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan
nama Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di
Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena
itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam
bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.
Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut
terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa.
Inilah sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan
tetapi, proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan
menjelaskan sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen
lain yang saling berkait dan berkelindan, seperti pra-anggapan, tradisi,
dialektika, bahasa, dan realitas.
Hermeneutika adalah cara baru
untuk ‘bergaul’ dengan bahasa. Bila ‘mengerti’ selalu dikaitkan dengan bahasa,
maka bahasa juga membatasi dirinya sendiri. Kita menyadari hal ini, namun semua
buah pikiran kita harus diungkapkan dengan bahasa yang ada sesuai aturan tata
bahasanya yang berlaku.[2]
Bahasa adalah medium yang
tanpa batas, yang membawa segala sesuatu didalamnya−tidak hanya kebudayaan yang
telah disampaikan kepada kita melalui bahasa, melainkan juga segala sesuatu
tanpa kecualinya−sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam lapangan
pemahaman
Definisi lain,
hermeneutika adalah metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk
dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk
menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian
di bawa ke masa depan. Dengan demikian, hal yang penting disini adalah
hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti melalui pemahaman atas sebuah teks bahasa.
a)
Penerapan Hermeneutika
Disiplin ilmu yang
pertama kalinya banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci.
Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-qur’an, kitab
taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dimengerti memerlukan
interpretasi dan hermeneutik. Bagi para pembaca di zaman modern ini,
kitab-kitab suci itu mungkin saja tidak memberikan kesan sebagai tolok ukur
kehidupan saat ini.
Maka, mengenai
tugas hermeneutika adalah mencari dinamika yang internal yang mengatur
struktural kerja didalam sebuah teks, dilain pihak mencari daya yang dimiliki
kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan ”hal”nya teks
itu muncul ke permukaan.
Teks sejarah yang ditulis dalam bahasa rumit yang beberapa
abad tidak dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun
waktu seseorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang dipakai
mungkin ada kesamaannya,tetapi ketika istilah-istilah itu masuk ke dalam
wilayah arti atau makna istilah-istilah itu bisa berbeda.
Interpretasi
terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua
segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat
hukum. Dua hal itu selalu diperdebatkan oleh para ahli hukum. Dalam hal ini
bahasa menjadi penting. Ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabarannya adalah
sangat relevan bagi hukum. Hermeneutika mau tidak mau dibutuhkan untuk
menerangkan dokumen hukum.
Melalui bahasa kita
berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah
tafsir. Arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak faktor: siapa
yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun
situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.[3]
Sebagai contoh misalnya, pemahaman dan penafsiran anak terhadap kata-kata sedikit banyak
tergantung pada latar belakang anak itu sendiri. Orang-orang yang berasal dari
pedesaan yang letaknya terpencil akan memahami benda-benda secara sangat
berbeda dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota, sekalipun istilah atau
kata yang dipergunakan bagi keduanya adalah persis sama. Arti ”kekeluargaan”
bagi masyarakat pedesaan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh orang kota.
b)
Cara Kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua
objek itu netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja disini atau bintang di
angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya
sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ”pakaian” arti pada objek.
Subjek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menhubungkan diri
satu sama lain, seperti ’bapak’ dan ’anak’. Seseorang akan di sebut demikian karena ada yang lain
dan hubungan ini bersifat timbal balik. Tanpa subjek, berarti tidak ada objek.
Untuk dapat membuat
interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan ’lebih
dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat
alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya
telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Keduanya bukan dua momen
dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ’lingkaran
hermeneutika’.[4]
Empat faktor yang
terdapat didalam interpretasi, adalah:
1)
Bildung:
pembentukan jalan pikiran, ini menggambarkan cara utama manusia dalam
memperkembangkan bakat-bakatnya.
2)
Sensus communis: pertimbangan praktis yang baik, istilah ini mempunyai aspek sosial yaitu
rasa komunitas. Karena inilah maka kita dapat mengetahui hampir-hampir secara
instingtif bagaimana menangani interpretasi
3)
Pertimbangan: menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang
universal, atau mengenali sesuatu sebagai contoh perwujudan hukum. Dalam hal
ini, kita terutama memahami pertimbangan sebagai sesuatu yang berhubungan
dengan apa yang harus dilakukan, sesuatu yang tidak dapat dipelajari ataupun
diajarkan, tetapi hanya dapat dilaksanakan dari satu kasus ke kasus yang
lainnya.
4)
Selera:
keseimbangan antara insting panca indera dengan kebebasan intelektual. Selera
dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal-hal yang kita sukai, serta
meyakinkan kita dalam membuat pertimbangan.[5]
Kegiatan
interpretasi adalah proses yang bersifat ’triadik’ (mempunyai tiga segi yang
saling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang
diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan
interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan teks, lalu ia harus meresapi
isi teks sehingga yang pada awalnya ’yang lain’ kini menjadi ’aku’ penafsir itu
sendiri.
Oleh karena itulah,
dapat kita pahami disini bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat
berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct).
Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita rekrontuksi.
B.
Biografi Singkat
Hans George Gadamer
Gadamer adalah seorang filsuf
yang lahir di Marburg pada tahun 1900 dan mendapatkan pendidikan filsafat di
kota kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan
dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya
sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya
baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa
mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und
Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten
Zwischen Plato und Aristoteles, dan
lain-lain.
Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas
di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin
lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau
di bawah Honigswald, namun tak lama kemudian kembali
ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia
mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama
kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin
Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang
menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah
satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Lowith, dan Hannah Arendt.
Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg,
Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer
pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh
neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer
menyusun habilitasinya pada
1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di
Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi,
meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga.
Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah
bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima
pengangkatan di Leipzig.
Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan
Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun
tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia
pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am
Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers
di Heidelberg
pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada
2002.
Pada saat
itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method
("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang
terkenal dengan Jurgen Habermas
megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna
menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat
mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi
merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah
yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar
profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques
Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak
banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan
mereka untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam
hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya
yang besar baik secara pribadi maupun filosofis.[6]
Demikianlah
biografi singkat Hans Georg Gadamer . Sekilas kita menyimak, Gadamer bukanlah
orang pertama yang melahirkan konsep hermeneutika, namun jauh darinya.
Hermeneutika telah muncul sejak zaman yunani kuno
(zaman Socrates, Plato, Aristoteles). Kemudian dikembangkan oleh generasi
ilmuwan yang cakrawala pemikiranya tidak diragukan, misalnya Hegel, Karl Marx,
Derrida, Immanual Kant, dan hingga pada pemikiran kontemporer seperti Gadamer
yang akan kita ulas pokok hermeneutikanya.
C. Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer
Hermeneutika
Gadamer adalah suatu respons terhadap perkembangan metodologis hermeneutika
dalam era modern. Sebagai suatu respons metodologis, dia menghindari
metodologisme mengenai penafsiran yang benar. Hermeneutikanya berusaha
mendiskripsikan apakah pemahaman itu sendiri yang menerangkan kondisi-kondisi
kemungkinannya, dan menggambarkan “apa yang terjadi pada kita” dalam semua
tindakan pemahaman.
Pemahaman
tidaklah dipahami sebagai proses subyektif manusia yang berlawanan dengan
obyek, namun merupakan cara keberadaan manusia itu sendiri; hermeneutika
tidaklah dimaknai sebagai suatu disiplin pembantu yang bersifat umum bagi
kemanusiaan tetapi sebagai upaya filosofis untuk memandang pemahaman sebagai
sebuah proses ontologis dalam diri manusia.
Sekilas
penting untuk memahami antara hermeneutika dialektis Gadamer dan bentuk
hermeneutika yang berorientasi pada metode dan metodologi. Gadamer tidaklah
secara langsung concern dengan problem-problem praktis didalam
memformulasikan prinsip-prinsip yang benar bagi interpretasi; lebih dari itu,
ia berkeinginan untuk menggiring fenomena pemahaman itu sendiri untuk di
cuatkan. Ini tidaklah berarti bahwa ia mengingkari pentingnnya memformulasikan
prinsip-prinsip tertentu; sebaliknya prinsip-prinsip tertentu dipandangnya juga
penting dalam disiplin interpretasi. Apa yang dimaksudkan adalah bahwa Gadamer
bekerja pada tataran mendasar dan pertanyaan-pertanyaan yang lebih fundamental:
bagaimana pemahaman dapat berlaku, tidak hanya dalam hal-hal kemanusiaan namun
juga dalam pengalaman dunia manusia secara keseluruhan?. Inilah persoalan yang
di pra-asumsikan dalam disiplin-disiplin interpretasi historis yang telah
melampaui jauh dibalik disiplin-disiplin tersebut.
Menurut Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan
dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal
ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan
Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan
mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa
kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam
aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk
mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami
bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan
keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan
dengan metodologi, tetapi dengan dialektika. Dalam proses dialektika, teks dan
penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling
memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang
baru.
a) Struktur Pengalaman dan Pengalaman
Hermeneutis
Truth and
Method menyatakan
bahwa di wilayah pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran
yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern.
Disini, poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain
yang terdapat diluar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran
yang di klaim berbagai ilmu itu luruh kedalam keuniversalan “pengalaman
hermeneutis”. Keuniversalan ini tidak disimpulkan Gadamer secara empiris, akan
tetapi dari analisis fenomenologis atas pengalaman aktual manusia ketika
memahami sesuatu. Dari sini, lahirlah tesis bahwa setiap pemahaman dan teori
pemahaman tidak akan mengantarkan manusia pada “objek” dalam dirinya sendiri,
sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan oleh karena itu
terbatas.
Gadamer mulai
menguji pengalaman hermeneutisnya dengan mengkritisi konsep pengalaman, dimana
dia menemukan konsep pengalaman yang ada terlalu berorientasi ke arah
pengetahuan sebagai bentuk perasaan dan pengetahuan sebagai jasad data
konseptual. Dengan kata
lain, kita saat ini cenderung mendefinisikan pengalaman dalam bentuk yang
sepenuhnya dan berorientasi kearah pengetahuan sains dan tidak mengindahkan
historisitas pengalaman dalam. Jika demikian halnya, kita secara tidak sadar
memenuhi tujuan ilmu, yaitu “mengobyektifkan pengalaman yang meniadakan ragam
persitiwa historis terhadapnya. Melalui kekakuan metodis, eksprementasi sains
menjadikan objek keluar dari peristiwa historisnya dan merestrukturisasikannya
untuk sesuai dengan metode.
Pengalaman
hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kebenaran tidak harus dipahami
sebagai korespondensi pernyataan terhadap “fakta”; kebenaran merupakan
kemunculan dinamis dari manusia untuk melihat kenyataan. Kebenaran didasarkan
pada negativitas; ini merupakan alasan bahwa penemuan kebenaran menghasilkan yang
terbaik ke dalam dialektika dimana kekuatan negativitas dapat dijalankan.
Kemunculan kebenaran didalam pengalaman hermeneutis mendatangkan perjumpaan
dengan negativitas yang instrinsik pada pengalaman; pada kasus ini pengalaman
menjadi seperti “momen estetik” atau “even bahasa.” Kebenaran bukanlah
konseptual, bukan fakta−itu yang terjadi.
Pengalaman,
Gadamer menyatakan, memiliki penggabungan dialektis “tidak dalam pengetahuan
tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang lahir dari ruang bebas pengalaman.”
Jelasnya, pengalaman disini tidak dimaksudkan untuk beragam pengetahuan
informatif yang menjaga ini atau itu. Seperti gadamer menggunakan term itu, ia
tidak bersifat teknis dan keluar dari kebiasaan. Ia menunjukkan pada
non-obyektivitasi dan selebihnya akumulasi “pemahaman” yang tidak bersifat
obyektivasi yang kita sebut kearifan. Misalnya, seseorang yang seluruh hidupnya
terkait dengan masyarakat memperoleh kemampuan untuk memahaminya, yang kita
sebut “pengalaman”. Sementara pengalamnanya bukan merupakan pengetahuan
obyektif, ia masuk ke dalam interpretasi perjumpaan dengan masyarakat. Tetapi,
itu bukan kemampuan personal semata, itu merupakan pengetahuan tentang cara
sesuatu, ”pengetahuan tentang masyarakat” yang tidak bisa diletakkan ke dalam
term konseptual.
Pengalaman
sering mendorong perasaan baru dan pemahaman baru. Ia senantiasa dapat
dipelajari, dan tak ada seorangpun yang dapat menutupinya pada kita. Kita ingin
menyelamatkan anak kita dari “pengalaman” pahit yang kita sendiri mengalaminya,
tetapi anak-anak kita itu tidak dapat menghindar dari pengalaman
itu sendiri, pengalaman
merupakan sesuatu yang dimiliki bagi hakiki
historis manusia. ”Pengalaman”, kata Gadamer, ”merupakan
persoalan kekecewaan kompleks (multiside disillusionment) yang didasarkan pada
dugaan (harapan); hanya dengan cara inilah pengalaman dipelajari. Kenyataan
bahwa “pengalaman” menyakitkan dan pahit tidak sungguh merupakan pahit; marilah
kita lihat ke dalam hakikat dalam dari pengalaman itu. ” Negativitas dan
kekecewaan adalah sesuatu yang integral bagi pengalaman, disana nampak tak
lebih dari hakikat eksisitensi momen negatifitas historis manusia yang
ditampakkan dalam hakikat pengalaman. ”Setiap pengalaman bertentangan dengan
harapan jika ia sungguh layak disebut pengalaman”.
Ketika dalam
pengalaman seseorang beranjak ke depan bersama harapan, dan ketika pengalaman
masa lalu mengajarkan rencana-rencana yang tidak selesai, saat itu jelas
terdapat struktur historisitas. “Pengalaman nyata” menurut Gadamer, “merupakan pengalaman historisitas
seseorang”. Dalam pengalaman kekuasaan manusia untuk melakukan dan nalar
rencananya timbul berlawanan dengan keterbatasannya. Manusia, yang bergerak dan
bertindak dalam sejarah, memperoleh melalui pengalaman pengetahuan ke depan
dimana harapan dan rencana masih terbuka untuknya. Kedewasaan dalam pengalaman
yang menempatkan seseorang pada peluang itu sendiri untuk ke depan dan bagi
masa lalu merupakan esensi yang dimaksudkan Gadamer sebagai kesadaran operatif
historis.
Dengan
observasi dalam pikiran ini, kita dapat mengkarakterisasi “pengalaman
hermeneutis”, yang niscaya berkenaan dengan sesuatu yang dihadapi sebagai
warisan. Mengingat secara umum pengalaman merupakan peristiwa, warisan
seseorang “bukan peristiwa sepele yang dikenal orang melalui pengalaman
dan menjadi alat control; selebihnya ia merupakan bahasa, yaitu, ia
membicarakan, seperti dalam konsep Thou (kamu). Warisan bukan sesuatu
yang dapat dikontrol seseorang, atau ia merupakan suatu obyek terhadap seseorang.
Seseorang mulai memahaminya, sementara ia bergerak didalamnya, sebagai
pengalaman linguistik intrinsik. Seperti seseorang mengalami makna teks, dia
mulai memahami sebuah warisan yang sekilas mengarahkannya sebagai sesuatu yang
melawannya, namun sebagai sesuatu yang sekaligus merupakan bagian dari sisi
yang non-obyektif dari pengalaman dan historis dimana ia berpijak.
Teks yang
dijumpai sebagai kamu tidak harus dipandang, Gadamer menyatakan secara empati
sebagai “ekspresi hidup”. Teks memiliki isi makna spesifik selain dari seluruh
hubungannya dengan perkataan seseorang. Apa yang di maksud Gadamer dengan
relasi Aku-Kamu untuk warisan adalah bahwa dalam teks warisan mengarahkan dan
menjadikan klaim bagi pembaca, bukan sebagai sesuatu yang memungkinkan seseorang
untuk berbicara. Teks harus dibiarkan berbicara sendiri, pembaca terbuka
kepadanya sebagi subyek dalam haknya ketimbang sebagai obyek. Jelas keterbukaan
otentik ini adalah apa yang baru saja kita deskripsikan dalam kaitannya dengan
struktur Aku-Kamu dari kesadaran operatif historis
Struktur
Aku-Kamu mendorong hubungan dialog atau dialektik. Suatu pertanyaan di
alamatkan pada teks, dan dalam pengertian yang lebih dalam, teks mengalamatkan
pertanyaan untuk penafsirannya. Struktur dialektis pengalaman secara umum, dan
pengalaman hermeneutis khususnya, merefleksikan dirinya dalam struktur
pertanyaan-jawaban dari semua kenyataan dialog. Namun perlu diwaspadai bahaya
dialektis dalam bentuk orang perorang ketimbang bentuk persoalan-subyek.
Signifikansi persoalan-subyek dalam dialog akan memunculkan analisis penalaran
berikut.
b) Struktur Penalaran Dalam Hermeneutik
Karakter pengalaman dialektis direfleksikan dalam gerakan dan
perjumpaanya dengan negativitas yang diperoleh dalam seluruh kebenaran tindakan
penalaran. Gadamer sejauh ini mengatakan bahwa “dalam seluruh pengalaman,
struktur penalaran di pra-anggapkan. Realisasi bahwa beberapa hal adalah lain
dari seseorang yang memiliki pemikiran awal mempra-anggapkan proses pelampauan
melalui tindakan penalaran. Keterbukaan pengalaman memiliki strukutur
pertanyaan: “Apakah ia demikian atau begitu?” Kita cermati bahwa pengalaman
memenuhi dirinya dalam realisasi keterbatasan dan historis kita. Begitu halnya
dalam tindakan penalaran, terdapat suatu benteng negativitas yang utama, selalu
merupakan pengetahuan dari tidak mengetahui.
Gadamer mengatakan bahwa secara orisinil mengajukan pertanyaan berarti
“menempatkan dalam keterbukaan”, karena jawabannya belum ditentukan. Maka
konsekuensinya, retorika pertanyaan bukanlah suatu pertanyaan hakiki, karena
tidak terdapat tindakan penalaran asli ketika suatu dibicarakan tentang sesuatu
yang sebenarnya tidak pernah “dipertanyakan. Ketika seseorang mengetahui, ia
sesungguhnya tidak mengetahui, dan ketika ia tidak mengetahui untuk itu
diperlukan suatu cara bahwa ia hanya butuh memahami secara lebih mendalam dalam
cara yang telah dipahaminya, dengan begitu ia memperoleh struktur
keterbukaan yang mencirikan tindakan penalaran yang otentik.
Dengan begitu, dalam dialog hermeneutis subyek umum dimana seseorang
meleburkan dirinya−baik interpreter maupun teks itu sendiri−merupakan tradisi,
warisan budaya. Bagaimanapun, partner seseorang dalam dialog adalah teks, sudah
ada dalam fiksasi bentuk tertulis. Dengan demikian, terdapat suatu kebutuhan
untuk menemukan suatu cara bagi dialog give and take. Inilah tugas
hermeneutika. Bagaimanapun juga, formulasi yang sudah disesuaikan harus
diletakkan balik dalam gerakan percakapan, suatu gerakan dimana teks
mempertanyakan penafsir dan penafsir mempertanyakan teks tersebut. Tugas
hermeneutika adalah “membawa teks keluar dari alienasi dimana ia mendapatkan
dirinya (sebagai bentuk tertulis) kembali kedalam suasana kekinian dialog yang
hidup, dimana pemenuhan primordialnya adalah dengan pertanyaan dan jawaban.
Ketika teks di transmisikan menjadi sebuah obyek bagi interpretasi, ia
menempatkan suatu pertanyaan bagi penafsir dimana ia mencoba untuk menjawabnya
melalui interpretasi. Interpretasi yang otentik akan mengaitkannya dengan
pertanyaan “yang di tempatkan” oleh teks (teks memiliki sebuah tempat dan sebuah
subyek). Menafsir suatu teks, syarat pertama adalah memahami horizon makna atau
horizon penalaran dimana petunjuk makna teks di determinasi.
Namun teks
itu sendiri merupakan suatu pertanyaan. Dalam pengertian ia merupakan jawaban
dari pertanyaan−bukan pertanyaan yang kita letakkan padanya. Sekarang
seandainya seseorang memahami teks dalam bentuk pertanyaan yang dijawabnya, itu
jelas bahwa seseorang harus mencari dengan menelisik dibalik teks agar dapat
menafsirkannya. Seseorang tidak harus puas dengan penerjemahan yang lebih
eksplisit dari apa yang eksplisit didalam teks; teks harus ditempatkan dalam
horizon pertanyaan yang ingin digiring ke dalam keberadaan.
Di saat
perjumpaan dengan horizon teks dalam realitas menyinari horizon seseorang itu
dan melahirkan penyingkapan diri dan pemahaman diri; maka perjumpaan itu
menjadi suatu momen bagi penyingkapan ontologis. Ini merupakan sebuah peristiwa
dimana sesuatu muncul dari negativitas−negativitas sadar bahwa terdapat sesuatu
yang seseorang tidak mengetahuinya, bahwa sesuatu bukanlah seperti yang orang
asumsikan.
Kemungkinan
yang dapat diterima, menurut Gadamer, adalah peleburan bahasa. Proses peleburan
bahasa inilah yang memungkinkan teks mengatakan sesuatu dan mengalamatkannya
pada kita. Teks akan terdengar bila kita dibiarkan berbicara melalui
interpretasi. Akan tetapi, tidak ada teks atau buku yang akan terdengar jika
dia tidak berbicara dengan bahasa yang bisa dicapai dan dapat dipahami oleh
lawan bicaranya (penafsir). Sia-sia saja sebuah teks jika dia tidak “nyambung”
dengan telinga pembaca. Pendengaran baru berarti jika yang terdengar bisa
dicerna, dan hal ini mensyaratkan apa yang terdengar adalah bahasa si
pendengar. Jika tidak demikian, apa yang terdengar itu tidak lebih dari sekedar
bebunyian belaka. Ketika yang terdengar adalah bahasa asing dan agar bahasa ini
tidak menjadi sekedar bebunyian, dibutuhkanlah penerjemahan yang didasarkan
pada peleburan bahasa.
Peleburan
cakrawala lewat peleburan bahasa teks dengan bahasa penafsir ini secara tidak
langsung memperlihatkan bahwa interpretasi tidak ada yang benar “dalam dirinya
sendiri”. Mediasi yang terjadi lewat bahasa membuat pemahaman bisa berubah,
karena walaupun teks adalah sesuatu yang mapan (fixed), namun eksistensi
makna yang ada didalamnya baru abash ketika dibaca dan ditafsirkan menggunakan
bahasa sekarang, dan tentu saja pembacaannya akan selalu berbeda. Eksistensi
makna ditentukan oleh pembaca ini. Ketika waktu berubah, dan penafsiran lama
tidak lagi “berbunyi”, maka yang diperlukan adalah pembacaan baru yang akan
melahirkan pemahaman dan interpretasi yang baru pula.
Menurut
Gadamer, interpretasi yang bagus adalah interpretasi yang transparan dan tidak
dapat lagi dibedakan dengan apa yang ditafsirkan. Paradoksnya, tanda kemunculan
interpretasi justru terletak pada kenyataan bahwa dia akan ditindih oleh
munculnya interpretasi-interpretasi yang baru.
BAB III
PENUTUP
Atas dasar
uraian diatas, Gadamer secara mendasar menegaskan bahwa persoalan hermeneutika
bukanlah persoalan tentang metode dan tidak mengajarkan tentang metode yang
dipergunakan untuk Geisteswis Senschaften. Hermenutik lebih merupakan
usaha memahami dan menginterpretasikan teks. Hermeneutika merupakan bagian dari
keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutika berhubungan dengan suatu
teknik atau techne tertentu, dan berusaha kembali ke susunan bahasa.
Pemahaman pada
dasarnya berkaitan dengan hubungan antara makna dalam sebuah teks, serta
pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Dan inilah yang dimaksudkan
dengan ‘dinamika perpaduan berbagai macam faktor’ dalam sebuah bahasa
(peleburan bahasa). Namun hermeneutika bukan merupakan kemampuan teknis.
Konsep tentang
pengalaman dan penalaran bersifat personal dan individual, jadi hanya akan
valid jika diyakinkan oleh individu lain, karena pengalaman masih syarat dengan
sosial. Pengalaman yang benar hanyalah yang secara historis dimiliki oleh
seseorang. Orang yang berpengalaman mengetahui keterbatasan semua prediksi dan
ketidaktentuan semua rencana. Seseorang yang berpengalaman perlu selalu
bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, menjauhkan diri dari hal-hal yang
bersifat statis dan dogmatik, mencari fleksibilitas dan transparansi yang
memungkinkannya untuk menerima kebenaran yang berasal dari dunia eksternal
dalam arah yang memusat.
Pengalaman
mengajarkan kepada kita kemampuan mengenali realitas, termasuk juga realitas
tentang ‘kamu’ atau yang ‘yang lain’
dalam teks atau peristiwa sejarah. Pengalaman yang datang dan pergi antara
‘Aku’ dan ‘Kamu’ bersifat dialektik dan menuntut semacam keterbukaan tanpa
prasangka atau keterbukan yang tulus.
Dengan kata
lain, hermeneutika model Gadamer ini adalah keterbukaan terhadap ‘yang lain’,
apapun bentuknya, baik sebuah teks, notasi musik ataupun karya seni. Dan
komentar yang terakhir yang pantas untuk seorang hermeneut seperti Gadamer
adalah beliau bisa disebut bapak hermeneutik seni, bukan hermeneutika mekanis
dan metodis.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Richard E.Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
Pustaka Pelajar.
2.
Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika Dari Plato Sampai Gadamer,
Ar-Ruzz Media.
3.
Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., dkk, Filsafat Barat Dari Logika Baru Rene
Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, Ar-Ruzz Media.
4.
Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, Ar-Ruzz
Media.
5.
E. Sumaryono, Pustaka Filsafat, Hermeneutika
sebuah Metode Filsafat, Kanisius (Anggota IKAPI) Cetakan Pertama 1993.
6.
http://aathidayat.wordpress.com/2010/04/06/hermeneutika-gadamer/
[1]. Richard
E. Palmer,Hermeneutika teori baru mengenai interpretasi,Pustaka Pelajar,celeban
timur UH III/548 Yogyakarta 55167,cetakan II desember 2005, hlm: 14
[2] E Sumaryono, hermeneutika sebuah metode
filsafat, penerbit kanisius (Anggota IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 27
[3] E
Sumaryono, hermeneutika sebuah metode filsafat, penerbit kanisius (Anggota
IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 29
[4] E Sumaryono, hermeneutika sebuah metode
filsafat, penerbit kanisius (Anggota IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 31
[5] E Sumaryono, hermeneutika sebuah metode
filsafat, penerbit kanisius (Anggota IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar