Sabtu, 03 November 2012

HERMENEUTIKA (hans george gadamer)


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Gadamer menolak konsep Hermeneutika sebagai metode. Meskipun hermeneutika menurut dia adalah pemahaman, namun ia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis. Dalam karyanya yang berjudul Philosophical Apprenticeships, ia menulis sebagai berikut: Dapatkah tujuan sebuah metode menjamin kebenaran?. Bahkan bisa juga dipersoalkan apakah pemahaman sudah pasti berkaitan dengan kata-kata atau tidak?  Filsafat harus menuntut sains dan metodenya supaya mengenali siapa dirinya sendiri terutama dalam konteks eksistensi manusia dan penalarannya (Gadamer, 1985:179). Ada banyak hal seperti rasa lapar , perasaan cinta, kerja dan penguasaan, tangisan bayi, dan ajal yang segera menjemput, yang pada dasarnya bukan ucapan dan bahasa, melainkan hal-hal yang membatasi ruang dimana pengertian “saling berbicara” dan “saling mendengarkan” dapat menempatinya. Meskipun memang benar bahwa contoh-contoh itu mungkin saja luput dari (tidak berkaitan dengan) kata-kata, namun tetap saja di situ ada sesuatu yang menuntut agar dia di fahami. . Tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hal itu terdapat dalam pendapat dan ucapan yang ditampilkan setiap orang sehingga menyebabkan refleksi hermeneutik menjadi penting untuk di bahas.
B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran konsep dasar Hermeneutika?
2.      Siapa Hans George Gadamer?
3.      Bagaimana Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer?
C.   Tujuan Pembahasan
1.      Memahami konsep dasar Hermeneutika.
2.      Mengenal sosok Hans George Gadamer.
3.      Memahami Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer.


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Konsep Dasar Hermeneutika     
Pada dasarnya, hermeneutika berusaha memahami apa yang dikatakan dengan kembali pada motivasinya atau kepada konteksnya. Namun belakangan ini, ia mencoba menggerakkan bersama-sama dua wilayah teori pemahaman, yaitu persoalan tentang apa yang terlibat dalam peristiwa pemahaman sebuah teks, dan persoalan tentang pemahaman itu sendiri, dalam pengertian yang sangat fundasional dan “eksistensial” itu sendiri.
Akar kata hermeneutika berasal dari istiah Yunani dari kata kerja hermeneuein, yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia, yang berarti “interpretasi”. Penjelasan dua kata ini, dan tiga bentuk dasar makna dalam pemakaian aslinya, membuka wawasan pada karakter dasar interpretasi dalam teologi dan sastra, dan dalam konteks sekarang ia menjadi keyword untuk memahami hermeneutika modern.
Hermeneuin dan hermeneia dalam berbagai bentuknya, terdapat dalam beberapa teks yang terus bertahan semenjak  awalnya. Aristoteles menemukan kelayakan subyek ini pada risalah besarnya dalam Organon, Peri hermeneias terkenal, yang di terjemahkan dengan “On Interpretation”. Kata itu terdapat dalam bentuk kata bendanya di dalam Oedipus at Colonus, juga terdapat dalam karya Plato. Tentu saja bentuk yang beragam dari istilah itu ditemukan pula dalam beberapa penulis awal terkemuka, misalnya Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus.[1]
Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.
Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang saling berkait dan berkelindan, seperti pra-anggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Hermeneutika adalah cara baru untuk ‘bergaul’ dengan bahasa. Bila ‘mengerti’ selalu dikaitkan dengan bahasa, maka bahasa juga membatasi dirinya sendiri. Kita menyadari hal ini, namun semua buah pikiran kita harus diungkapkan dengan bahasa yang ada sesuai aturan tata bahasanya yang berlaku.[2]
Bahasa adalah medium yang tanpa batas, yang membawa segala sesuatu didalamnya−tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan kepada kita melalui bahasa, melainkan juga segala sesuatu tanpa kecualinya−sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam lapangan pemahaman
Definisi lain, hermeneutika adalah metode atau cara untuk menafsirkan simbol berupa teks untuk dicari arti dan maknanya, metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian di bawa ke masa depan. Dengan demikian, hal yang penting disini adalah hermeneutika merupakan proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti melalui pemahaman atas sebuah teks bahasa.
a)       Penerapan Hermeneutika
Disiplin ilmu yang pertama kalinya banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-qur’an, kitab taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dimengerti memerlukan interpretasi dan hermeneutik. Bagi para pembaca di zaman modern ini, kitab-kitab suci itu mungkin saja tidak memberikan kesan sebagai tolok ukur kehidupan saat ini.
Maka, mengenai tugas hermeneutika adalah mencari dinamika yang internal yang mengatur struktural kerja didalam sebuah teks, dilain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan ”hal”nya teks itu muncul ke permukaan.
Teks sejarah  yang ditulis dalam bahasa rumit yang beberapa abad tidak dipedulikan oleh para pembacanya, tidak dapat dipahami dalam kurun waktu seseorang tanpa penafsiran yang benar. Istilah-istilah yang dipakai mungkin ada kesamaannya,tetapi ketika istilah-istilah itu masuk ke dalam wilayah arti atau makna istilah-istilah itu bisa berbeda.
Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdebatkan oleh para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Ketepatan pemahaman dan ketepatan penjabarannya adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutika mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.
Melalui bahasa kita berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti atau makna dapat kita peroleh tergantung dari banyak faktor: siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.[3] Sebagai contoh misalnya, pemahaman dan penafsiran  anak terhadap kata-kata sedikit banyak tergantung pada latar belakang anak itu sendiri. Orang-orang yang berasal dari pedesaan yang letaknya terpencil akan memahami benda-benda secara sangat berbeda dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota, sekalipun istilah atau kata yang dipergunakan bagi keduanya adalah persis sama. Arti ”kekeluargaan” bagi masyarakat pedesaan berbeda dengan yang dimaksudkan oleh orang kota.
b)      Cara Kerja Hermeneutika
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja disini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ”pakaian” arti pada objek. Subjek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menhubungkan diri satu sama lain, seperti ’bapak’ dan ’anak’. Seseorang  akan di sebut demikian karena ada yang lain dan hubungan ini bersifat timbal balik. Tanpa subjek, berarti tidak ada objek.
Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan ’lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ’lingkaran hermeneutika’.[4]
Empat faktor yang terdapat didalam interpretasi, adalah:
1)        Bildung: pembentukan jalan pikiran, ini menggambarkan cara utama manusia dalam memperkembangkan bakat-bakatnya.
2)        Sensus communis: pertimbangan praktis yang baik, istilah ini mempunyai aspek sosial yaitu rasa komunitas. Karena inilah maka kita dapat mengetahui hampir-hampir secara instingtif bagaimana menangani interpretasi
3)        Pertimbangan: menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal, atau mengenali sesuatu sebagai contoh perwujudan hukum. Dalam hal ini, kita terutama memahami pertimbangan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan, sesuatu yang tidak dapat dipelajari ataupun diajarkan, tetapi hanya dapat dilaksanakan dari satu kasus ke kasus yang lainnya.
4)        Selera: keseimbangan antara insting panca indera dengan kebebasan intelektual. Selera dapat diperlihatkan dan membuat kita mundur dari hal-hal yang kita sukai, serta meyakinkan kita dalam membuat pertimbangan.[5]
Kegiatan interpretasi adalah proses yang bersifat ’triadik’ (mempunyai tiga segi yang saling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada awalnya ’yang lain’ kini menjadi ’aku’ penafsir itu sendiri.
Oleh karena itulah, dapat kita pahami disini bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya akan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita rekrontuksi.
B.      Biografi Singkat Hans George Gadamer
Gadamer adalah seorang filsuf yang lahir di Marburg pada tahun 1900 dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristoteles, dan lain-lain.
Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Honigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Lowith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers di Heidelberg pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada 2002.
Pada saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jurgen Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan mereka untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya yang besar baik secara pribadi maupun filosofis.[6]
Demikianlah biografi singkat Hans Georg Gadamer . Sekilas kita menyimak, Gadamer bukanlah orang pertama yang melahirkan konsep hermeneutika, namun jauh darinya. Hermeneutika telah muncul sejak zaman yunani kuno (zaman Socrates, Plato, Aristoteles). Kemudian dikembangkan oleh generasi ilmuwan yang cakrawala pemikiranya tidak diragukan, misalnya Hegel, Karl Marx, Derrida, Immanual Kant, dan hingga pada pemikiran kontemporer seperti Gadamer yang akan kita ulas pokok hermeneutikanya.

C.     Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer
Hermeneutika Gadamer adalah suatu respons terhadap perkembangan metodologis hermeneutika dalam era modern. Sebagai suatu respons metodologis, dia menghindari metodologisme mengenai penafsiran yang benar. Hermeneutikanya berusaha mendiskripsikan apakah pemahaman itu sendiri yang menerangkan kondisi-kondisi kemungkinannya, dan menggambarkan “apa yang terjadi pada kita” dalam semua tindakan pemahaman.
Pemahaman tidaklah dipahami sebagai proses subyektif manusia yang berlawanan dengan obyek, namun merupakan cara keberadaan manusia itu sendiri; hermeneutika tidaklah dimaknai sebagai suatu disiplin pembantu yang bersifat umum bagi kemanusiaan tetapi sebagai upaya filosofis untuk memandang pemahaman sebagai sebuah proses ontologis dalam diri manusia.
Sekilas penting untuk memahami antara hermeneutika dialektis Gadamer dan bentuk hermeneutika yang berorientasi pada metode dan metodologi. Gadamer tidaklah secara langsung concern dengan problem-problem praktis didalam memformulasikan prinsip-prinsip yang benar bagi interpretasi; lebih dari itu, ia berkeinginan untuk menggiring fenomena pemahaman itu sendiri untuk di cuatkan. Ini tidaklah berarti bahwa ia mengingkari pentingnnya memformulasikan prinsip-prinsip tertentu; sebaliknya prinsip-prinsip tertentu dipandangnya juga penting dalam disiplin interpretasi. Apa yang dimaksudkan adalah bahwa Gadamer bekerja pada tataran mendasar dan pertanyaan-pertanyaan yang lebih fundamental: bagaimana pemahaman dapat berlaku, tidak hanya dalam hal-hal kemanusiaan namun juga dalam pengalaman dunia manusia secara keseluruhan?. Inilah persoalan yang di pra-asumsikan dalam disiplin-disiplin interpretasi historis yang telah melampaui jauh dibalik disiplin-disiplin tersebut.
Menurut Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika. Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.
a)       Struktur Pengalaman dan Pengalaman Hermeneutis
Truth and Method menyatakan bahwa di wilayah pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern. Disini, poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat diluar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran yang di klaim berbagai ilmu itu luruh kedalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis”. Keuniversalan ini tidak disimpulkan Gadamer secara empiris, akan tetapi dari analisis fenomenologis atas pengalaman aktual manusia ketika memahami sesuatu. Dari sini, lahirlah tesis bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan mengantarkan manusia pada “objek” dalam dirinya sendiri, sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan oleh karena itu terbatas.
Gadamer mulai menguji pengalaman hermeneutisnya dengan mengkritisi konsep pengalaman, dimana dia menemukan konsep pengalaman yang ada terlalu berorientasi ke arah pengetahuan sebagai bentuk perasaan dan pengetahuan sebagai jasad data konseptual. Dengan kata lain, kita saat ini cenderung mendefinisikan pengalaman dalam bentuk yang sepenuhnya dan berorientasi kearah pengetahuan sains dan tidak mengindahkan historisitas pengalaman dalam. Jika demikian halnya, kita secara tidak sadar memenuhi tujuan ilmu, yaitu “mengobyektifkan pengalaman yang meniadakan ragam persitiwa historis terhadapnya. Melalui kekakuan metodis, eksprementasi sains menjadikan objek keluar dari peristiwa historisnya dan merestrukturisasikannya untuk sesuai dengan metode.
Pengalaman hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kebenaran tidak harus dipahami sebagai korespondensi pernyataan terhadap “fakta”; kebenaran merupakan kemunculan dinamis dari manusia untuk melihat kenyataan. Kebenaran didasarkan pada negativitas; ini merupakan alasan bahwa penemuan kebenaran menghasilkan yang terbaik ke dalam dialektika dimana kekuatan negativitas dapat dijalankan. Kemunculan kebenaran didalam pengalaman hermeneutis mendatangkan perjumpaan dengan negativitas yang instrinsik pada pengalaman; pada kasus ini pengalaman menjadi seperti “momen estetik” atau “even bahasa.” Kebenaran bukanlah konseptual, bukan fakta−itu yang terjadi.
Pengalaman, Gadamer menyatakan, memiliki penggabungan dialektis “tidak dalam pengetahuan tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang lahir dari ruang bebas pengalaman.” Jelasnya, pengalaman disini tidak dimaksudkan untuk beragam pengetahuan informatif yang menjaga ini atau itu. Seperti gadamer menggunakan term itu, ia tidak bersifat teknis dan keluar dari kebiasaan. Ia menunjukkan pada non-obyektivitasi dan selebihnya akumulasi “pemahaman” yang tidak bersifat obyektivasi yang kita sebut kearifan. Misalnya, seseorang yang seluruh hidupnya terkait dengan masyarakat memperoleh kemampuan untuk memahaminya, yang kita sebut “pengalaman”. Sementara pengalamnanya bukan merupakan pengetahuan obyektif, ia masuk ke dalam interpretasi perjumpaan dengan masyarakat. Tetapi, itu bukan kemampuan personal semata, itu merupakan pengetahuan tentang cara sesuatu, ”pengetahuan tentang masyarakat” yang tidak bisa diletakkan ke dalam term konseptual.
Pengalaman sering mendorong perasaan baru dan pemahaman baru. Ia senantiasa dapat dipelajari, dan tak ada seorangpun yang dapat menutupinya pada kita. Kita ingin menyelamatkan anak kita dari “pengalaman” pahit yang kita sendiri mengalaminya, tetapi anak-anak kita itu tidak dapat menghindar dari pengalaman itu sendiri, pengalaman merupakan sesuatu yang dimiliki bagi hakiki historis manusia. ”Pengalaman”, kata Gadamer, ”merupakan persoalan kekecewaan kompleks (multiside disillusionment) yang didasarkan pada dugaan (harapan); hanya dengan cara inilah pengalaman dipelajari. Kenyataan bahwa “pengalaman” menyakitkan dan pahit tidak sungguh merupakan pahit; marilah kita lihat ke dalam hakikat dalam dari pengalaman itu. ” Negativitas dan kekecewaan adalah sesuatu yang integral bagi pengalaman, disana nampak tak lebih dari hakikat eksisitensi momen negatifitas historis manusia yang ditampakkan dalam hakikat pengalaman. ”Setiap pengalaman bertentangan dengan harapan jika ia sungguh layak disebut pengalaman”.
Ketika dalam pengalaman seseorang beranjak ke depan bersama harapan, dan ketika pengalaman masa lalu mengajarkan rencana-rencana yang tidak selesai, saat itu jelas terdapat struktur historisitas. “Pengalaman nyata” menurut  Gadamer, “merupakan pengalaman historisitas seseorang”. Dalam pengalaman kekuasaan manusia untuk melakukan dan nalar rencananya timbul berlawanan dengan keterbatasannya. Manusia, yang bergerak dan bertindak dalam sejarah, memperoleh melalui pengalaman pengetahuan ke depan dimana harapan dan rencana masih terbuka untuknya. Kedewasaan dalam pengalaman yang menempatkan seseorang pada peluang itu sendiri untuk ke depan dan bagi masa lalu merupakan esensi yang dimaksudkan Gadamer sebagai kesadaran operatif historis.
Dengan observasi dalam pikiran ini, kita dapat mengkarakterisasi “pengalaman hermeneutis”, yang niscaya berkenaan dengan sesuatu yang dihadapi sebagai warisan. Mengingat secara umum pengalaman merupakan peristiwa, warisan seseorang “bukan peristiwa sepele yang dikenal orang melalui pengalaman dan menjadi alat control; selebihnya ia merupakan bahasa, yaitu, ia membicarakan, seperti dalam konsep Thou (kamu). Warisan bukan sesuatu yang dapat dikontrol seseorang, atau ia merupakan suatu obyek terhadap seseorang. Seseorang mulai memahaminya, sementara ia bergerak didalamnya, sebagai pengalaman linguistik intrinsik. Seperti seseorang mengalami makna teks, dia mulai memahami sebuah warisan yang sekilas mengarahkannya sebagai sesuatu yang melawannya, namun sebagai sesuatu yang sekaligus merupakan bagian dari sisi yang non-obyektif dari pengalaman dan historis dimana ia berpijak.
Teks yang dijumpai sebagai kamu tidak harus dipandang, Gadamer menyatakan secara empati sebagai “ekspresi hidup”. Teks memiliki isi makna spesifik selain dari seluruh hubungannya dengan perkataan seseorang. Apa yang di maksud Gadamer dengan relasi Aku-Kamu untuk warisan adalah bahwa dalam teks warisan mengarahkan dan menjadikan klaim bagi pembaca, bukan sebagai sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk berbicara. Teks harus dibiarkan berbicara sendiri, pembaca terbuka kepadanya sebagi subyek dalam haknya ketimbang sebagai obyek. Jelas keterbukaan otentik ini adalah apa yang baru saja kita deskripsikan dalam kaitannya dengan struktur Aku-Kamu dari kesadaran operatif historis
Struktur Aku-Kamu mendorong hubungan dialog atau dialektik. Suatu pertanyaan di alamatkan pada teks, dan dalam pengertian yang lebih dalam, teks mengalamatkan pertanyaan untuk penafsirannya. Struktur dialektis pengalaman secara umum, dan pengalaman hermeneutis khususnya, merefleksikan dirinya dalam struktur pertanyaan-jawaban dari semua kenyataan dialog. Namun perlu diwaspadai bahaya dialektis dalam bentuk orang perorang ketimbang bentuk persoalan-subyek. Signifikansi persoalan-subyek dalam dialog akan memunculkan analisis penalaran berikut.
b)      Struktur Penalaran Dalam Hermeneutik
Karakter pengalaman dialektis direfleksikan dalam gerakan dan perjumpaanya dengan negativitas yang diperoleh dalam seluruh kebenaran tindakan penalaran. Gadamer sejauh ini mengatakan bahwa “dalam seluruh pengalaman, struktur penalaran di pra-anggapkan. Realisasi bahwa beberapa hal adalah lain dari seseorang yang memiliki pemikiran awal mempra-anggapkan proses pelampauan melalui tindakan penalaran. Keterbukaan pengalaman memiliki strukutur pertanyaan: “Apakah ia demikian atau begitu?” Kita cermati bahwa pengalaman memenuhi dirinya dalam realisasi keterbatasan dan historis kita. Begitu halnya dalam tindakan penalaran, terdapat suatu benteng negativitas yang utama, selalu merupakan pengetahuan dari tidak mengetahui.
Gadamer mengatakan bahwa secara orisinil mengajukan pertanyaan berarti “menempatkan dalam keterbukaan”, karena jawabannya belum ditentukan. Maka konsekuensinya, retorika pertanyaan bukanlah suatu pertanyaan hakiki, karena tidak terdapat tindakan penalaran asli ketika suatu dibicarakan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pernah “dipertanyakan. Ketika seseorang mengetahui, ia sesungguhnya tidak mengetahui, dan ketika ia tidak mengetahui untuk itu diperlukan suatu cara bahwa ia hanya butuh memahami secara lebih mendalam dalam cara yang telah dipahaminya, dengan begitu ia memperoleh struktur keterbukaan yang mencirikan tindakan penalaran yang otentik.
Dengan begitu, dalam dialog hermeneutis subyek umum dimana seseorang meleburkan dirinya−baik interpreter maupun teks itu sendiri−merupakan tradisi, warisan budaya. Bagaimanapun, partner seseorang dalam dialog adalah teks, sudah ada dalam fiksasi bentuk tertulis. Dengan demikian, terdapat suatu kebutuhan untuk menemukan suatu cara bagi dialog give and take. Inilah tugas hermeneutika. Bagaimanapun juga, formulasi yang sudah disesuaikan harus diletakkan balik dalam gerakan percakapan, suatu gerakan dimana teks mempertanyakan penafsir dan penafsir mempertanyakan teks tersebut. Tugas hermeneutika adalah “membawa teks keluar dari alienasi dimana ia mendapatkan dirinya (sebagai bentuk tertulis) kembali kedalam suasana kekinian dialog yang hidup, dimana pemenuhan primordialnya adalah dengan pertanyaan dan jawaban.
Ketika teks di transmisikan menjadi sebuah obyek bagi interpretasi, ia menempatkan suatu pertanyaan bagi penafsir dimana ia mencoba untuk menjawabnya melalui interpretasi. Interpretasi yang otentik akan mengaitkannya dengan pertanyaan “yang di tempatkan” oleh teks (teks memiliki sebuah tempat dan sebuah subyek). Menafsir suatu teks, syarat pertama adalah memahami horizon makna atau horizon penalaran dimana petunjuk makna teks di determinasi.
Namun teks itu sendiri merupakan suatu pertanyaan. Dalam pengertian ia merupakan jawaban dari pertanyaan−bukan pertanyaan yang kita letakkan padanya. Sekarang seandainya seseorang memahami teks dalam bentuk pertanyaan yang dijawabnya, itu jelas bahwa seseorang harus mencari dengan menelisik dibalik teks agar dapat menafsirkannya. Seseorang tidak harus puas dengan penerjemahan yang lebih eksplisit dari apa yang eksplisit didalam teks; teks harus ditempatkan dalam horizon pertanyaan yang ingin digiring ke dalam keberadaan.
Di saat perjumpaan dengan horizon teks dalam realitas menyinari horizon seseorang itu dan melahirkan penyingkapan diri dan pemahaman diri; maka perjumpaan itu menjadi suatu momen bagi penyingkapan ontologis. Ini merupakan sebuah peristiwa dimana sesuatu muncul dari negativitas−negativitas sadar bahwa terdapat sesuatu yang seseorang tidak mengetahuinya, bahwa sesuatu bukanlah seperti yang orang asumsikan.
Kemungkinan yang dapat diterima, menurut Gadamer, adalah peleburan bahasa. Proses peleburan bahasa inilah yang memungkinkan teks mengatakan sesuatu dan mengalamatkannya pada kita. Teks akan terdengar bila kita dibiarkan berbicara melalui interpretasi. Akan tetapi, tidak ada teks atau buku yang akan terdengar jika dia tidak berbicara dengan bahasa yang bisa dicapai dan dapat dipahami oleh lawan bicaranya (penafsir). Sia-sia saja sebuah teks jika dia tidak “nyambung” dengan telinga pembaca. Pendengaran baru berarti jika yang terdengar bisa dicerna, dan hal ini mensyaratkan apa yang terdengar adalah bahasa si pendengar. Jika tidak demikian, apa yang terdengar itu tidak lebih dari sekedar bebunyian belaka. Ketika yang terdengar adalah bahasa asing dan agar bahasa ini tidak menjadi sekedar bebunyian, dibutuhkanlah penerjemahan yang didasarkan pada peleburan bahasa.
Peleburan cakrawala lewat peleburan bahasa teks dengan bahasa penafsir ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa interpretasi tidak ada yang benar “dalam dirinya sendiri”. Mediasi yang terjadi lewat bahasa membuat pemahaman bisa berubah, karena walaupun teks adalah sesuatu yang mapan (fixed), namun eksistensi makna yang ada didalamnya baru abash ketika dibaca dan ditafsirkan menggunakan bahasa sekarang, dan tentu saja pembacaannya akan selalu berbeda. Eksistensi makna ditentukan oleh pembaca ini. Ketika waktu berubah, dan penafsiran lama tidak lagi “berbunyi”, maka yang diperlukan adalah pembacaan baru yang akan melahirkan pemahaman dan interpretasi yang baru pula.
Menurut Gadamer, interpretasi yang bagus adalah interpretasi yang transparan dan tidak dapat lagi dibedakan dengan apa yang ditafsirkan. Paradoksnya, tanda kemunculan interpretasi justru terletak pada kenyataan bahwa dia akan ditindih oleh munculnya interpretasi-interpretasi yang baru.



BAB III
PENUTUP

Atas dasar uraian diatas, Gadamer secara mendasar menegaskan bahwa persoalan hermeneutika bukanlah persoalan tentang metode dan tidak mengajarkan tentang metode yang dipergunakan untuk Geisteswis Senschaften. Hermenutik lebih merupakan usaha memahami dan menginterpretasikan teks. Hermeneutika merupakan bagian dari keseluruhan pengalaman mengenai dunia. Hermeneutika berhubungan dengan suatu teknik atau techne tertentu, dan berusaha kembali ke susunan bahasa.
Pemahaman pada dasarnya berkaitan dengan hubungan antara makna dalam sebuah teks, serta pemahaman tentang realitas yang kita perbincangkan. Dan inilah yang dimaksudkan dengan ‘dinamika perpaduan berbagai macam faktor’ dalam sebuah bahasa (peleburan bahasa). Namun hermeneutika bukan merupakan kemampuan teknis.
Konsep tentang pengalaman dan penalaran bersifat personal dan individual, jadi hanya akan valid jika diyakinkan oleh individu lain, karena pengalaman masih syarat dengan sosial. Pengalaman yang benar hanyalah yang secara historis dimiliki oleh seseorang. Orang yang berpengalaman mengetahui keterbatasan semua prediksi dan ketidaktentuan semua rencana. Seseorang yang berpengalaman perlu selalu bersikap terbuka terhadap pengalaman baru, menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat statis dan dogmatik, mencari fleksibilitas dan transparansi yang memungkinkannya untuk menerima kebenaran yang berasal dari dunia eksternal dalam arah yang memusat.
Pengalaman mengajarkan kepada kita kemampuan mengenali realitas, termasuk juga realitas tentang  ‘kamu’ atau yang ‘yang lain’ dalam teks atau peristiwa sejarah. Pengalaman yang datang dan pergi antara ‘Aku’ dan ‘Kamu’ bersifat dialektik dan menuntut semacam keterbukaan tanpa prasangka atau keterbukan yang tulus.
Dengan kata lain, hermeneutika model Gadamer ini adalah keterbukaan terhadap ‘yang lain’, apapun bentuknya, baik sebuah teks, notasi musik ataupun karya seni. Dan komentar yang terakhir yang pantas untuk seorang hermeneut seperti Gadamer adalah beliau bisa disebut bapak hermeneutik seni, bukan hermeneutika mekanis dan metodis.
DAFTAR PUSTAKA

1.        Richard E.Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar.
2.        Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika Dari Plato Sampai Gadamer, Ar-Ruzz Media.
3.        Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd., dkk, Filsafat Barat Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn, Ar-Ruzz Media.
4.        Inyiak Ridwan Muzir,  Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, Ar-Ruzz Media.
5.        E. Sumaryono, Pustaka Filsafat,  Hermeneutika sebuah Metode Filsafat, Kanisius (Anggota IKAPI) Cetakan Pertama 1993.
6.        http://aathidayat.wordpress.com/2010/04/06/hermeneutika-gadamer/


[1]. Richard E. Palmer,Hermeneutika teori baru mengenai interpretasi,Pustaka Pelajar,celeban timur UH III/548 Yogyakarta 55167,cetakan II desember 2005, hlm: 14
[2]  E Sumaryono, hermeneutika sebuah metode filsafat, penerbit kanisius (Anggota IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 27
[3]  E Sumaryono, hermeneutika sebuah metode filsafat, penerbit kanisius (Anggota IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 29
[4]  E Sumaryono, hermeneutika sebuah metode filsafat, penerbit kanisius (Anggota IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 31
[5]  E Sumaryono, hermeneutika sebuah metode filsafat, penerbit kanisius (Anggota IKAPI), cetakan pertama 1993, hlm : 79
[6]  http//: aathidayat.wordpress.com/2010/04/06/hermeneutika-gadamer/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar