Kamis, 14 Juni 2012

BEREBUT BAITUL MAQDIS


MENGAPA ISLAM, NASRANI DAN YAHUDI SALING MEMPEREBUTKAN BAITUL MAQDIS?

A.      Dari Ur Khasdim ke Kan’an (Tanah yang Dijanjikan)
Tiga penganut agama dunia yang tak henti-hentinya terlibat dalam konflik perebutan Baitul Maqdis adalah: Yahudi, Kristen, dan Islam yang semuanya mengaku dan mengklaim diri sebagai keturunan, penerus, dan ahli waris ajaran dan tradisi Ibrahim. Apapun klaim yang mengemuka, yang pasti sejarah tanah suci ini adalah sejarah peperangan, sejarah perebutan tanah, yang dimulai Nabi Ibrahim. Ibraham tidak hanya menjadi bapak para leluhur Israel tetapi juga bapak leluhur Arab.
Bermula dari kurun waktu sekitar 4000 tahun yang lalu ketika di kota Ur, tanah Khaldea, hidup Terah beserta keluarganya yang menyembah matahari dan berhala. Ketika berusia 70 tahun, Terah mempunyai tiga orang putra, yaitu Nahar, Ibrahim, dan Harran. Kota Ur, disebut juga Ur Khasdim merupakan salah satu kota terpenting di negeri Mesopotamia. Secara umum negeri Mesopotamia dikenal sebagai negeri yang subur dengan dua sungai besar Eufrat dan Tigris yang mengapit daerah tersebut.
Ibrahim, salah seorang putra Terah, lahir pada tahun 2018 SM[1]. Meskipun dibesarkan dalam sebuah keluarga pagan (penyembah berhala), Ibrahim tampil dengan revolusi pemikiran dengan melakukan protes terhadap tradisi masyarakat yang telah mapan. Ia menolak tradisi keagamaan pagan di Ur Kasdim. Menurut Ibrahim, menyembah berhala adalah sebuah kesesatan nyata.
Kemudian selang beberapa lama, Ibrahim dan istrinya meninggalkan keluarga dan kampung halamannya di daerah Ur, Mesopotamia, untuk melaksanakan panggilan Tuhan pergi ke tanah yang dijanjikan. Peristiwa itu terjadi pada awal millennium kedua SM, selama Zaman Perunggu Akhir. Ketika Allah memanggil Ibrahim, Ia menjanjikannya antara lain sebuah tanah. Mereka berjalan menuju tanah Kan’an. Inilah yang kemudian disebut dengan Tanah Terjanji.[2]
Wilayah yang selalu diperebutkan dari masa ke masa itulah yang sering disebut sebagai “Tanah Terjanji” atau “Tanah Yang Dijanjikan”; yang dijanjikan oleh Yahweh kepada Ibrahim ketika dipanggil untuk meninggalkan kampung halamannya di Ur Kasdim, Mesopotamia, Khaldea−sekarang Irak bagian selatan. Karena itu, Ibrahim juga disebut juga orang “Ibrani” yang artinya “menyeberang”  karena ia menyebrangi sungai Eufrat dari Ur wilayah Khaldea.
Anak keturunan Ibrahim secara tidak terencana telah membangun sebuah daerah pemukiman yang membentang didataran tinggi Kan’an, mulai dari selatan hingga utara. Mereka mengembangkan pola kehidupan masyarakat suku, sehingga sumber ekonomi menjadi milik bersama. Secara umum, mata pencaharian mereka adalah bertani gandum dan beternak kambing. Hal ini berlangsung sekian lama, sampai suatu ketika terjadilah musim paceklik pangan di pelbagai daerah sehingga mereka memilih pindah ke negeri Mesir. Para ahli bersepakat bahwa di dataran tinggi Kan’an inilah bangsa Israel dilahirkan.[3]
B.       Kota Yerussalem
Wilayah palestina terkenal dengan kota Yerussalem sebagai kota suci, sebagai tempat yang diklaim oleh umat Yahudi, Nasrani, dan Islam sebagai kota suci agama mereka dan selalu menjadi ajang perebutan kekuasaan.
Yerussalem berarti negeri nan damai, tenteram, dan sejahtera. Dalam bahasa Arab dikenal dengan “Baitul Maqdis”. Kota itu merupakan tempat bertemunya tiga agama: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Kaum Kan’an menamakan Yerussalem dengan Ursalam.[4]
Nama Yerussalem berasal dari dua buah suku kata, yaitu Jebus dan Salem. Jebus adalah nama sebuah suku penduduk negeri itu, dan Salem adalah sebutan untuk Tuhan Yang Maha Tinggi. Kota Jebus ini pada tahun 997 SM diduduki oleh Raja Daud, Raja dari Bani Israil. Raja Daud menetap di Yerussalem, sehingga orang menamai Yerussalem sebagai kota Daud. Kerajaan Daud bertahan cukup lama di di Yerussalem sekitar 33 tahun. Sebelum menduduki Yerussalem Raja Daud telah menjadi Raja Hebron selama 7 tahun. Pada masa pemerintahan Raja Daud banyak menghasilkan kemajuan bagi negerinya dan beliau memerintah dengan adil dan bijaksana.[5]
Setelah Raja Daud wafat, kerajaan diwariskan kepada puteranya yang bernama Sulaiman dan berlanjut sampai kepada dua cucunya yang bernama Rehabeam dan Yerobeam. Rehabeam mendapat bagian daerah pusat kerajaan dengan ibu kotanya di Quds (Yerussalem), serta memerintah keturunan Yehuda dan Benyamin. Adapun Yerobeam mendapat bagian dikawasan bagian tengah dan utara Palestina dengan ibukota kerajaan di Shikem, serta memerintah keturunan Bani Israel.
Adapun perpecahan kerajaan Israel tersebut ditimbulkan karena adanya sengketa antara keluarga bangsawan, yang masing-masing ingin memegang pemerintahan, serta adanya perbedaan pendapat dan pandangan yang tidak dapat dipadukan. Oleh karena itu, dua kerajaan tersebut saling berperang dan sulit diredakan, bahkan sering melibatkan pihak dari luar kerajaan. Akibat dari perselisihan kedua kerajaan tersebut sering merupakan sumber dari segala persengketaan, ketegangan, dan kerusuhan di kawasan Palestina dan negara-negara sekitarnya, sehingga Negara Mesir, suriah, dan Yordan bagian timur ikut terlibat perang.[6]
C.     Munculnya Tiga Agama Monoteis (Ibrahimi)
Nabi Ibrahim memiliki dua istri yang bernama Sarah dan Hajar. Melalui Sara lahirlah Ishak, sedangkan melalui Hajar lahirlah Ismail. Ishak kelak menurunkan nabi-nabi berbangsa Israel, seperti Ya’kub, Yusuf, Yunus, Musa, Harun, Ilyas, Ilyasa, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa. Di antara nabi dan rasul lain dari keturunan Ibrahim adalah Ayub dan Zulkifli. Kedua nabi ini adalah anak al-ish bin ishak bin Ibrahim, tetapi bukan bangsa Israel. Para nabi dan rasul keturunan Ibrahim hidup sekaligus mendakwahkan agama Ibrahim dikawasan Bulan Sabit Subur. Sementara dari Ismail, lahirlah bangsa Arab yang mendiami Jazirah Arab. Melalui Ismail inilah terlahir Nabi Muhammad, nabi serta rasul terakhir setelah kenabian Isa.
Kedua anak Ibrahim pun mengemban amanat untuk menjaga tempat suci agama Allah. Nabi Ishak, melalui keturunannya, menjaga Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha di tanah suci Yerussalem, Palestina. Sementara Ismail dan keturunannya menjaga Ka’bah di Makkah, semenanjung Arab. Pada prinsipnya, mereka semua menjadi para pendakwah agama tauhid Allah dihamparan muka bumi. Mereka berkata bahwa Allah-lah Tuhan semesta alam. Keimanan ini terus diajarkan dalam taurat Nabi Musa, Zabur Nabi Daud, Injil Nabi Isa, dan AlQur’an Nabi Muhammad.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan kota Yerussalem menjadi penanda lahirnya agama semit, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam−meskipun sebenarnya Islam muncul di jazirah arab−. Kehadiran tiga agama di Yerussalem ini juga mengalami masa-masa sulit, mereka harus menghadapi pasukan-pasukan musuh yang dalam sudut pandang mereka adalah orang-orang yang telah merampas tanahnya.
a)   Agama Yahudi
Di dalam skripsinya Achmad Luthfi mengutip bukunya Karen Amstrong menjelaskan, bahwa mereka−orang-orang Israel− berasal dari Mesopotamia. Mereka pernah menetap beberapa lama di bumi Kan’an. Akan tetapi, pada tahun 1750 SM mereka berimigrasi ke Mesir karena dilanda paceklik. Pada awalnya mereka hidup sejahtera dan makmur disana, namun kondisi ini tidak berlangsung lama, situasi mereka merosot tajam dan mereka menjadi budak. Akhirnya pada sekitar tahun 1250 SM mereka berhijrah dari Mesir dibawah pimpinan Nabi Musa−yang kemudian diyakini sebagai peristiwa Eksodus (peristiwa hijrah bersama Musa)−untuk kembali ke Tanah yang Dijanjikan−yakni bumi Kan’an−kepada suku Israel.
Sampai disini peristiwa Eksodus tersebut belumlah dimulai, peristiwa Eksodus yang sesungguhnya itu baru terjadi setelah−melalui Musa−mereka mendapatkan pedoman dan hukum dari Tuhan dalam bentuk Sepuluh Perintah ( kitab Taurat yang isinya adalah perjanjian antara Allah dan Bani Israel) di atas Bukit Sinai−dalam literature Arab disebut dengan Thursina, Jabal Munajah, atau Jabal Musa.
Menurut Karen Amstrong, peristiwa Eksodus ini merupakan salah satu faktor terpenting dibalik penyebutan kata “suci”−bagi Bani Israel  waktu itu khususnya, dan kaum Yahudi pada umumnya−untuk Yerussalem dikemudian hari. Pada waktu Nabi Sulaiman mendirikan Kuil pertama di Bukit Zion untuk menyimpan kotak Perjanjian Musa, mitos baru muncul terhadap bangunan itu, mereka meyakini bahwa bangunan itu adalah tempat bersemayamnya Tuhan mereka, Yahweh. Pemahkotaan Yahweh di Kuil Bukit Zion, membuat Yerussalem disebut Kerajaan Tuhan.[7]
Bani Israel memusatkan seluruh peribadatannya di Kuil Sulaiman tersebut. Sebab, menurut mereka kuil member rasa kembalinya surga yang hilang, menjadi simbol kesucian, sumber kesuburan dan ketaraturan dunia. Ziarah ke kuil merupakan sebuah pengalaman mi’raj ke tempat dimana dunia batin bertemu dengan dunia lahir. Kegiatan-kegiatan liturgi ini terus berlanjut pada masa-masa Bani Israel awal.
b)   Agama Kristen
Ketika kaum Yahudi kemudian dapat kembali ke Yerussalem, Herodes−raja Yahudi keturunan Arab yang taat kepada Roma−membangun kembali Kuil itu dengan megah, yang kemudian disebut dengan “The Second Temple” (Kuil Kedua). Namun, bangunan megah itu berdiri tanpa makna yang mendalam. Karena itu dikutuk oleh Nabi Isa. Kutukan itu terwujud dengan datangnya tentara dari Roma di bawah kepemimpinan Titus yang meluluh lantahkan dan meratakannya dengan tanah. Yang tersisa hanyalah sebuah Ratapan Tembok, tempat paling suci kaum Yahudi.
Dengan hancurnya Kuil Kedua ini dianggap sebagai bukti kebenaran ajaran baru yang dibawa Yesus dari Nazareth atas kepercayaan orang Yahudi. Perlahan-lahan agama Kristen mulai berkembang dan mendapat basis kuat di kekaisaran Byzantium yang mengambil alih kekuasaan Romawi atas Yerussalem. Pada abad ketiga, Kristen menjadi agama dengan jumlah penganut terbanyak di sana. Yerussalem menjadi penting bagi Kristen karena seluruh peristiwa yang berkaitan dengan kelahiran agama ini berlangsung di kota itu.
Pada abad ke-4 tampuk kekuasaan berada dibawah Konstantine. Dalam masa kekuasaan Konstantine terjadi konflik internal dalam tubuh agama Kristen, konflik ini berawal dari perdebatan anatara Uskup Kaisaera dan Uskup Aelia yang memperdebatkan tentang hakikat Yesus sebagai Tuhan dan makam Yesus yang terdapat di bawah kuil Dewi Aphrodithe. Namun, pada akhirnya, kaisar Konstantine memutuskan untuk melakukan penggalian situs-situs suci, meskipun ia harus menaruhkan jabatannya.
Setelah dua tahun melakukan penggalian, pada 327 M mereka menemukan sebuah makam batu yang segera dinyatakan sebagai bekas kuburan Yesus. Pada saat yang sama, para pekerja menemukan bukit cadas kecil Golgotha, yang diyakini sebagai tempat dimana penyaliban Yesus dulu dilakukan.
Selanjutnya, pada musim semi 614, Persia mulai menyerang wilayah kekuasaan Byzantium. Jenderal Persia Shahrbaraz menginvasi Yerussalem. Kaum Yahudi, waktu itu berpihak dan member dukungan Persia. Tentara Persia secara sistematis menghancurkan seluruh gereja dan tempat suci Kristen. Lebih dari enam puluh ribu orang terbunuh, dan sisanya dibuang ke pengasingan. Nasib mereka hampir tak berbeda dengan kaum Yahudi yang dulu mereka taklukan. Mereka pun mengenang Yerussalem persis cara Yahudi mengenang kota itu. Dan akhirnya Persia memberikan mandat penguasaan kota kepada Yahudi.
Pada 622, terjadi kesepakatan damai antara Persia dan Byzantium. Di bawah pimpinan Heraklius, Martyrium direstorasi. Yerussalem kembali menjadi kota suci Kristen. Akan tetapi Heraklius ceroboh dalam kebijakannya terhadap Yahudi. Pada 634, dia memaksa seluruh Yahudi untuk dibaptis. Tindakan ini membuatnya kehilangan dukungan Yahudi. Akibatnya, empat tahun kemudian, ketika Heraklius harus berhadapan dengan serangan tetangga dari sebelah selatan, kaum Yahusi justru berpihak pada musuh. Saat itulah kaum Muslim datang menaklukan Yerussalem, dengan membawa “era kesucian” baru.[8]
c)    Agama Islam
Awal mula lahirnya Islam bukanlah di Tanah yang Dijanjikan−Yerussalem--, seperti dua agama yang telah dijelaskan diatas, melainkan jauh berada diluar Tanah yang Dijanjikan, yakni Arab. Bangsa arab sebenarnya satu keturunan dengan bangsa Yahudi. Yakni melalui Nabi Ibrahim yang mempunyai dua putra yang bernama Ismail dan Ishak. Nabi Ismail inilah yang menjadi nenek moyang bangsa Arab. Keturunan Nabi Ismail sampai pada Nabi Muhammad.
Untuk mempersingkat pembahasan mengenai masuknya Islam ke Yerussalem, pada poin ini, saya akan langsung kepada peristiwa perluasan wilayah yang dilakukan Khalifah Umar ibn Khattab.
Achmad Luthfi mengutip dalam bukunya Karen Amstrong di tuliskan bahwa salah satu wilayah yang menjadi daerah taklukan Khalifah Umar dan pasukannya adalah Yerussalem, Palestina.pada tahun 20 Agustus 636, umat Muslim mengalahkan pasukan Byzantium dalam pertempuran Yarmuk. Di tengah-tengah pertempuran, orang-orang Ghassaniah melakukan desersi dari Byzantium dan bergabung dengan sesama orang Arab. Dengan bantuan Yahudi, orang-orang Muslim mulai menaklukkan sisa negeri itu. Pada tahun 637 merupakan sebuah momen penting dalam sejarah Palestina, pasukan Muslim mendirikan kemah di luar dinding Yerussalem, dan selanjutnya, daerah ini berada di bawah kendali kaum Muslimin.[9]
Pada masa-masa itu umat Islam membawa peradaban bagi Yerussalem dan seluruh Palestina. Setelah permulaannya yang gemilang, imperium ini tampaknya berada dalam bahaya perpecahan ketika Umar dibunuh oleh seorang tawanan Persia. Sepeninggal Umar, kursi kekhalifahan diganti oleh Usman bin Affan. Kontribusi utamanya pada Yerussalem adalah menciptakan dan menghadiahkan sebuah taman umum yang luas di Kolam Siloam bagi orang-orang miskin kota.
Usman adalah orang yang shaleh, namun pemimpinnanya kurang efektif, dan ketika dia dibunuh oleh sekelompok petinggi, mereka memproklamasikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah ke-empat. Pada masa pemerintahannya, terjadi perang didalam tubuh intern umat Islam yang berlarut-larut hingga terbunuhnya ‘Ali oleh sekelompok anggota baru yang fanatik.
Cerita selanjutnya, Yerussalem berada pada kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Pada masa inilah Yerussalem memulai kemerosotan, Negara kekhalifahan Islam terus melemah secara progresif hingga akhirnya harus pecah menjadi tiga kekhalifahan. Khalifah Abbasiyah berdiri di timur; kahlifah Fatimiyyah di Mesir, sebagian wilayah Afrika Utara dan Syiria; dan khalifah Umawiyah di Andalus.
Perlawanan dan pemberontakan yang terjadi−sepanjang orang-orang Islam memerintah di daerah ini− dapat teratasi. Akan tetapi, di penghujung abad ke XXI, pada saat kondisi umat Muslim yang seperti ini, kekuatan penakluk lain datang dari Eropa memasuki daerah ini dan merampas kota Yerussalem dengan tindakan yang tidak berperikemanusian dan kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Saat itulah tentara Perang Salib−yang biasanya disebut dengan istilah Crusader−tiba di perbukitan di luar Yerussalem.
D.      Arti Penting Baitul Maqdis Bagi Yahudi, Nasrani, dan Islam
Kota Yerussalem merupakan kota suci bagi umat Yahudi, Nasrani, dan Islam, sebab hampir seluruh bangsa dengan tiga agama di muka bumi ini berkiblat ke sana. Dengan demikian, semua merasa memeiliki kota Yerussalem.
Kisah tanah suci di Palestina kerap dikaitkan dengan keberadaan Masjidil Aqsha di bukit Muriah, Yerussalem. Masjidil Aqsha, yang secara bahasa berarti masjid terjauh, merupakan tempat ibadah tertua kedua dimuka bumi setelah Ka’bah di Makkah Almukarromah. Inti ruang peribadatan terletak pada bongkahan datar batu karang sehingga tempat itu dikenal ruang paling suci dari Masjidil Aqsha. Istilah Masjidil Aqsha juga di kenal dengan nama Baitul Maqdis, Beit Ha Mikdash, Kuil Sulaiman, dan Baitullah (mengalami kehancuran). Ini terjadi setelah adanya serangan brutal Kaisar Nabukadnezar dari Babel, sekitar tahun 597.[10]
Satu hal perlu dipahami, Masjidil Aqsha adalah hamparan tanah lapang berbentuk persegi panjang. Di tanah itulah, Nabi Sulaiman membangun Baitul Maqdis, Nabi Isa tinggal dan mangkat, serta Nabi Muhammad melakukan Mi’raj. Masjidil Aqsha lebih mirip dengan sebuah kompleks bangunan tempat peribadatan, ada Tembok Ratapan, Gereja Makam Suci, Serta Masjid Kubah Batu dan Al-Aqsha.
Sebagai fakta sejarah, Yerussalem merupakan satu-satunya kota yang mempertemukan, bahkan mempersatukan agama-agama samawi, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Umat Yahudi menjadikan ratapan sebagai tempat suci, yang mana doa-doa mereka akan di kabulkan tuhan. Sedangkan umat Kristiani mengabadikan Gereja Makam Kristus sebagai tempat penyaliban Yesus.
Di dalam tradisi Islam ada dua momentum yang seringkali dijadikan sebagai pijakan untuk mendekatkan mereka dengan Yerussalem:
1.        Peristiwa Isra’ Mi’raj.
Perjalanan spiritual dari Makkah ke Yerussalem, lalu dari Yerussalem ke Sidratul Muntaha. Peristiwa ini sangat penting, karena menjadi awal disyariatkannya shalat bagi umat Islam. Bahkan, sebelum turun perintah Tuhan agar umat Muhammad menghadap kiblat ke Ka’bah di Makkah, mereka menghadap kiblat ke Masjidil Aqsha di Yerussalem. Jadi, Yerussalem dimasa lalu adalah kiblat shalat umat Islam.
Peristiwa menarik yang pernah dicatat dalam kitab-kitab sejarah, saat Muhammad transit di Yerussalem dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, beliau melaksanakan shalat berjamaah dengan Musa dan Isa. Peristiwa tersebut di abadikan sebagai potret toleransi Islam dengan kedua agama samawi lainnya, yaitu Yahudi dan Kristen. Bahkan, seorang Muslim diwajibkan beriman kepada kedua Nabi tersebut serta Kitab Suci yang dibawa mereka, yaitu Taurat dan Injil.
2.        Pembebasan Yerussalem oleh khalifah Umar bin Khatab.
Setelah Amr bin Ash berhasil menguasai Yerussalem, Umar bertandang ke kota suci tersebut sembari membuat perjanjian yang bersejarah, karena memberikan jaminan kebebasan beribadah bagi umat Yahudi dan Kristiani.
Sedari awal Umar bin Khatab menyadari, Yerussalem adalah kota suci bagi agama-agama samawi. Kesucian ini tidak hanya terletak pada Kalam Tuhan yang diabadikan dalam Kitab Suci mereka, tetapi pada situs-situs sejarah yang bersifat faktual.
E.     Daftar Pustaka
1.      Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed.1 2005.
2.      Abu bakar, Berebut Tanah Suci Palestina, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
3.      Ibnu Safi, Jerussalem Kota Suci Yang Bergelimang Darah, Majalah Amanah, No.24, 13 Mei, Jakarta 1994.
4.      Achmad Luthfi, Pemikiran Karen Amstrong Tentang Yerussalem,(Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), 2006.
5.      Trias Kuncahyono, Jerussalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, April 2011.


[1]  Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed.1 2005, hlm.26
[2] Trias Kuncahyono, Jerussalem 33: Imperium Romanum, Kota Para Nabi, dan Tragedi di Tanah Suci, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, April 2011. Hlm. 72
[3]  Abu bakar, Berebut Tanah Suci Palestina, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hlm.9
[4]  Ibnu Safi, Jerussalem Kota Suci Yang Bergelimang Darah, Majalah Amanah, No.24, 13 Mei, Jakarta 1994. Hlm.32
[5]  Ibid., Hlm.32
[6]  Ibid., Hlm. 51
[7] Achmad Luthfi, Pemikiran Karen Amstrong Tentang Yerussalem,(Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), 2006. Hlm. 64
[8]  Ibid., hlm. 81
[9]  Ibid., hlm. 90
[10]  Op,Cit., Abu bakar, Berebut Tanah Suci Palestina, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hlm. 134-135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar