Rabu, 02 Mei 2012

Menghafal Al-Qur'an di Ponpes Almunawwir Krapyak Yogyakarta


Contoh Kebudayaan Islam :
Pengajian Tahaffudz Al-Qur’an; di Pondok pesantren Madrasah Huffadz Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.

PEMBAHASAN
Nabi Muhammad telah meninggalkan warisan rohani yang agung, yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Warisan yang telah memberi pengaruh besar pada masa lampau itu, telah meletakkan dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah dibawa Nabi Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan.
Al-Qur’an adalah kalamullah yang mendapat jaminan Allah SWT, selalu terpelihara keasliannya.[1] Melalui para penghafal Al-Qur’an, kitab suci itu terpelihara dari kesalahan-kesalahan dan terjaga dari usaha orang-orang yang sengaja ingin mengubahnya. Maka peranan para penghafal Al-Qur’an sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman nanti mempunyai peranan yang sangat penting dalam melestarikan dan menjaga keasliannya. Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Islam.
A.     Tahaffudz Al-Qur’an
Tahaffudz adalah akar kata dari hafadza. Kata hafadza dalam Al-Quran memiliki banyak arti sesuai susunan dan rangkaian kalimatnya, misalnya dalam surat Yusuf, ayat 65 kata Nahfadzu mempunyai makna ash-shiyanah war-ri’ayah (menjaga dan memelihara). Tahaffudz adalah masdar dari kata tahaafadza - yatahaafadzu yang mengikuti wazan tafaa’ala - yatafaa’alu, artinya saling menjaga.
Kata Hafadza, jika dinisbatkan kepada Allah SWT maknanya adalah menjaganya dari tabdil (penggantian), taghyir (perubahan) dan tahrif (penyelewengan) serta penambahan dan pengurangan. Sementara kata hafadza jika dinisbatkan kepada makhlukNya, maka maksudnya adalah menghafal, mengamalkan isinya dan menyibukkan diri untuk berinteraksi dengan Al-Quran baik berupa tadabbur Quran, istinbatul-ahkam, mengajar Al-Quran dan mempelajarinya .
Al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (yang dibaca). Menurut istilah ahli agama (‘urf syara’) ialah nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditulis dalam mushhaf.
Maka, Tahaffudz Al-Qur’an adalah membaca Al-Qur’an dengan perlahan, sebagai proses pentransferan Al-Qur’an kedalam hati (dihafal). Misi utama dan urgensi diturunkannya Al-Quran kepada Rasulullah SAW adalah untuk dihafal, kemudian membacakannya kepada manusia dengan perlahan-lahan (tadabbur) agar  mereka menghafalnya.
B.     Sejarah Singkat Tahaffudz Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah.
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Bangsa Arab masih belum mengenal kertas seperti yang sekarang ini, jadi bagi mereka yang dapat menulis dan membaca, biasanya menuliskannya pada benda apa saja yang bisa di tulisi.
Walaupun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari para pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata.
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada Nabi ketika Nabi sedang berkontemplasi (berkhalwat) di gua Hira pada malam senin, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW.[2] sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran Al-Qur’an, Allah menjadikan malam permulaan turun Al-Qur’an itu malam Al-Qadar yaitu suatu malam yang tinggi kadarnya.
Ketika Al-Qur’an diturunkan, Rasulullah segera berusaha menghafalnya karena untuk beliau pribadi, itulah satu-satunya cara memelihara Al-Qur’an, sebab, sebagaimana dicatat oleh sejarah beliau adalah seorang ummy yang tidak bisa membaca dan menulis.[3] Tapi kemudian Allah SWT menganugerahkan kepada beliau sebuah keistimewaan yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal dan memahami Al-Qur’an.[4]
Jaminan itu perlu diberikan oleh Allah SWT mengingat Nabi adalah sumber rujukan para sahabat. Nabi lah yang kemudian membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat baik secara langsung untuk maksud tertentu atau secara tidak langsung dengan mengulang-ulang membacanya ketika shalat.
Selain itu, sekali dalam setahun, Jibril mengadakan ulangan. Pada waktu itu Nabi diperintah untuk mengulang memperdengarkan Al-Qur'an yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan tersebut oleh Jibril sebanyak dua kali. Nabi sendiripun sering mengadakan ulangan terhadap sahabat-sahabatnya di depan muka beliau untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Setiap ayat yang diturunkan, Nabi menyuruh kepada para sahabat untuk menghafalnya, dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa dituliskan. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al-Qur'an saja yang boleh dituliskan, selain dari Al-Qur'an, (Hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk dituliskan). Larangan ini dengan maksud agar Al-Qur'an itu terpelihara, jangan dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
C.     Sejarah Singkat Tahaffudz Al-Qur’an Pada Masa Sahabat.
Menghafal Al-Quran adalah obyek perhatian para sahabat Rasulullah SAW setelah wafat beliau. Mereka berlomba-lomba untuk menghafal, mempelajari dan memahami maknanya. Mereka saling mendahulukan satu dengan yang lain berdasarkan jumlah hafalan yang mereka miliki. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan sehingga jumlah mereka yang hafal Al-Qur’an tidak terhitung banyaknya. Di antara para sahabat yang menghafal Al-Qur’an adalah dari golongan muhajirin : Abu Bakar, Umar ibn Al-Khatab, Ustman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Ibnu Zubair,dll. Dari golongan Anshor adalah Ubay ibn Ka’ab, Muadz ibn Jabal, Zaid ibn Tsabit, Abu Darda’, Anas ibn Malik.dll.[5]
Sebagai gambaran banyaknya jumlah penghafal Al-Qur’an dapat kita lihat pada jumlah para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam peperangan Yamamah, dalam peperangan ini tujuh puluh Qurra’ dari para sahabat gugur.[6] Sehingga yang pada akhirnya membuat Umar Bin Khatab khawatir dan lalu menghadap kepada Abu Bakar untuk segera membukukan Al-Qur’an, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para Qurra’.
Banyaknya para sahabat yang hafal Al-Qur’an tidaklah mengherankan karena: (1) Secara tradisi mereka sudah terbiasa dan terlatih dalam hafal menghafal, terutama menghafal syair-syair dan garis keturunan, (2) Mereka sangat mencintai Al-Qur’an,(3) Fasilitas tulis menulis yang sangat terbatas. Sampai sekarang pun Bangsa Arab masih memelihara tradisi hafal-menghafal tersebut. Ini bisa dilihat ketika bulan Ramadhan banyak huffadz cilik membaca satu juz setiap malam selama bulan Ramadhan.[7]
Tradisi menghafal Al-Qur’an dipelihara umat Islam turun temurun sepanjang zaman diseluruh dunia, tidak hanya pada bangsa-bangsa yang berbahasa Arab, tetapi juga pada bangsa-bangsa yang lain, termasuk Indonesia. Sangat mudah menemukan para penghafal Al-Qur’an 30 juz, baik tua maupun muda dan juga anak-anak. Baik yang mengerti bahasa Arab atau tidak tahu sama sekali. Baik yang memahami maksud ayat yang dibaca maupun tidak memahaminya.
Di Indonesia sangatlah banyak ditemukan lembaga atau pondok pesantren dimana para santri menghafalkan Al-Qur’an, diantaranya seperti: Ponpes Almunawwir Krapyak Yogyakarta, Ponpes Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman Yogyakarta, Ponpes Jet Tempur Lirboyo Kediri, Ponpes Yanbu’ul Qur’an Kudus, Ponpes Alkaustar Kajen Pati, dll. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut merupakan satu usaha estafet untuk menyiapkan generasi penerus penjaga kemurnian Al-Qur’an sekaligus sebagai wahana pembelajaran ilmu-ilmu Al-Qur’an.
D.     Selayang Pandang Madrasatul Huffadz Ponpes Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta[8].
Madrasatul Huffadz Ponpes Al-Munawwir adalah salah satu lembaga pendidikan yang berdiri dibawah naungan Ponpes Al-Munawwir krapyak Yogyakarta. Ponpes Al-Munawwir krapyak Yogyakarta didirikan pada 15 November 1911 M oleh KH.M. Moenawwir, seorang figur dan ulama besar ahli Al-Qur’an di Indonesia pada masanya. Sesuai keahliannya, maka pondok ini bercirikan Al-Qur’an, karena pendidikan dan pengajarannya difokuskan serta diprioritaskan pada Al-Qur’an, yang mana lembaganya dinamakan dengan “RIBATHUL QUR’AN”.
Sepeninggal KH.M. Moenawwir pada 11 Jumadil Akhir 1360 H/6 Juli 1942 M, kepemimpinan dilanjutkan oleh “tiga serangkai”, yaitu KH.R. Abdullah Affandi Munawwir, KH.R. Abdul Qadir Munawwir, dan KH. Ali Maksum (menantu KH.M. Moenawwir). Seperti pada masa awal, pendidikan serta pengajarannya masih difokuskan dan diprioritaskan pada Al-Qur’an. Melihat perkembangan pondok yang kian pesat, maka pada tahun 1955 M, para santri yang menghafal Al-Qur’an dikelompokkan menjadi satu wadah yang kemudian dinamakan “MADRASATUL HUFFADZ”. Usaha pendirian madrasatul huffadz ini dipelopori oleh KH.R. Abdul Qodir Munawwir.
E.       Sistem dan Metode menghafal Al-qur’an di Ponpes Madrasah Huffadz Krapyak Yogyakarta.
Seperti yang kita tahu bahwa pesantren merupakan pendidikan Islam Tradisional, sebab pesantren adalah lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi dan melestarikan tradisi, budaya, serta tatanan kehidupan islami dalam proses pendidikan kepada para santrinya. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren memiliki ciri khusus dalam memberikan pelajaran agama, serta memiliki teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan, blandongan, wetonan, mengedepankan hafalan, serta menggunakan sistem halaqoh,[9] sebagaimana pada zaman Rasulullah, para sahabat belajar dengan mendatangi Rasulullah di rumahnya dan bermusyawarah.
Dalam periode K.H Abdul Qadir, pengajian Al-Qur’an diselenggarakan dimasjid, dengan menggunakan sistem dan metode seperti yang ada pada zaman almaghfurlah K.H. M. Moenawwir. Santri yang ingin mengikuti pengajian tahaffudz Al-Qur’an (bil ghoib) disyaratkan untuk terlebih dahulu mengajukannya [membacanya dihadapan kyai] secara binnadzri (melihat mushaf) sebelum kemudian mengajukannya secara bil ghoib (membaca tanpa melihat mushaf) dengan hasil yang baik dan benar.
Untuk mencapai puncak keberhasilan dalam menghafal Al-Qur’anyakni adanya legalisasi dan pengakuan dari K.H. Abdul Qadir sehingga santri dibolehkan mengikuti prosesi wisuda Khotmil Qur’an (menurut ukuran beliau)— adalah santri yang sudah mampu membaca 30 juz dengan sempurna dalam posisi imam tunggal dalam Shalat Tarawih yang dilaksanakan selama 20 hari pada bulan Ramadhan.[10] Hal ini merupakan ikhtiar beliau untuk mencetak para penghafal Al-Qur’an yang tangguh dan handal.
Selanjutnya pada periode setelah wafatnya K.H. Abdul Qadir (17 sya’ban 1381 H./2 februari 1961 M). Madrasah Huffadz di bagi menjadi dua komplek, yakni Madrasah huffadz I (K.H.R. Muhammad Najib, AQ) dan Madrasah Huffadz II (K.H.R. Abdul Hafidz, AQ). Santri yang ingin mengikuti pengajian tahaffudz Al-Qur’an (bil ghoib) di isyaratkan mengajukan terlebih dahulu beberapa tahap sebagai pembuka sekaligus menguji tajwid (cara baca Al-Qur’an) santri sebelum kemudian memulai hafalannya pada juz satu, yakni santri harus menghafalkan bacaan tahiyat solat, juz 30 dan beberapa surat-surat penting (Al-Mulk, Al-Waqi’ah, Ar-Rahman, Ad-Dukhon, Yasin, As-Sajdah, Al-Kahfi).
Pengajian Tahaffudz Al-Qur’an di Madrasah Huffadz 1 (K.H.R. Muhammad Najib, AQ) dimulai setiap jam 22:00-02:00 malam hari dan pada jam 10:00-13:00 siang hari. Sedangkan di Madrasah Huffadz 2 (K.H.R. Abdul Hafidz, AQ) pengajian dimulai setiap ba’da sholat isya’, dengan ketentuan menyetorkan deresan minimal seperempat juz (lima halaman) dan ba’da sholat subuh dengan ketentuan minimal menyetorkan satu halaman Al-Qur’an.[11]
Di madrasah huffadz, metode kolektif (jamaah mudarosah) menjadi sebuah rutinitas bagi santri untuk mengukur ketajaman hafalan mereka. Teknisnya, pertama Salah satu anggota jama’ah diperintahkan membaca suatu ayat, surat atau juz, bil ghoib (dengan tanpa melihat mushaf), kemudian dia berhenti dan dilanjutkan oleh teman disampingnya secara bergantian sampai selesai 30 juz. Kemudian yang kedua salah satu anggota jama’ah membaca satu ayat, kemudian santri diberi pertanyaan perihal letak ayat tersebut dalam surat apa, juz berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, bawah, tengah, atau atas, dan lain sebagainya.
Itulah sekelumit sistem dan metode penerapan tradisi menghafal Al-Qur’an di Ponpes Madrasah Huffadz krapyak Yogyakarta. Sebagaimana yang kita pahami saat ini bahwa inovasi-inovasi dalam Pendidikan Islam, termasuk didalamnya Pendidikan pesantren, tidak pernah melupakan kaidah Almuhafadzotu ‘alal qodimi assholihi, Wal akhdzu bil jadidi al ashlah. Pada intinya, sistem dan metode menghafal Al-Qur’an di Ponpes Madrasah Huffadz ini merupakan satu usaha sadar untuk menjaga tradisi atau budaya lama (menghafalkan Al-Qur’an) sebagaimana yang ada pada masa Rasulullah, serta upaya untuk menjaga keaslihan dan keutuhan Al-Qur’an dari ognum-ognum yang sengaja ingin merubah ayat-ayat Al-Qur’an.
Akhirnya, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Bpk.Rofik selaku Dosen mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberi bimbingan kepada saya, baik moral maupun moril, dan juga kepada teman-teman Ponpes Madrasah Huffadz yang telah bersedia menyumbangkan waktunya untuk sekedar berbagi pengalaman sehingga terselesainya tugas ini.
Dan pada kesempatan ini sekaligus sebagai penutup pembahasan, saya sertakan beberapa album aktifitas Ponpes madrasah Huffadz krapyak Yogyakarta sebagai contoh kebudayaan Islam (menghafal Al-Qur’an), serta bahan untuk dijadikan renungan bersama khusunya para huffadz Al-Qur’an.
F.      Album Ponpes Madrasah Huffadz Krapyak Yogyakarta.
G.    Penutup
Kebudayaan Islam dipandang sebagai keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Pengajian Tahaffudz Al-Qur’an dapat dipandang sebagai ide-ide, gagasan atau nilai-nilai; kemudian sebagai aktifitas tindakan yang berpola; dan juga berupa berbagai macam benda hasil karya manusia, seperti adanya wadah atau wahana untuk belajar (Ponpes).
H.      Renungan
Tugas para huffadz sungguh amat berat, sebab disamping mengemban hafalan yang harus dipelihara agar tetap lestari (terjaga), mereka juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang seringkali menyita waktu dan memeras tenaga. Kita dapat membayangkan andaikata bukan karena tanggung jawab dan disiplinnya, dalam kondisi jasmani yang amat payah, barangkali amat sulit untuk memelihara hafalannya.

Karenanya diperlukan sikap istiqomah dalam menjalankan tugas kewajiban sebagai penerus dalam melestarikan tetap beradanya orang-orang yang hafal Al-Qur’an. Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan orang yang menghafal Al-Qur’an itu bagaikan pemilik unta yang diikat, jika dirawat dengan cermat (telaten) maka tetap dapat diperintahkannya (dimilikinya), dan bila dilepas maka akan hilang.” [12] Rasulullah juga pernah bersabda: “kontinyulah mempelajari Al-Qur’an, demi Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, Al-Qur’an itu lebih cepat larinya dari pada unta yang terlepas dari tali ikatannya.”[13] Maka dari itu, penghafal Al-Qur’an harus disiplin, konsisten, dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga hafalannya agar tidak lupa.
K.H Abdullah Salam (pendiri Ponpes Mathali’ul Huda Pusat, kajen-pati) mengatakan bahwa Al-Qur’an itu; Jimat (siji dirumat), sing sopo wonge rumat bakal ramut, remet nek ora rumat. Kita tahu bahwa pahala bagi orang yang menghafalkan Al-Qur’an adalah surga, namun apabila seorang huffadz teledor sehingga  tidak bisa menjaganya (menjaga dalam arti tidak hanya hafalannya, tapi termasuk didalamnya tindakan dan perbuatan harus semata-mata sesuai dengan Al-Qur’an) maka seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah akan putus tangannya di akhirat nanti. Naudzubillah min dzalik.
DAFTAR PUSTAKA
1.        Ilyas, Yunahar, Cakrawala Al-Qur’an; tafsir tematis tentang berbagai aspek kehidupan. Yogyakarta: Itqan Publishing. Cet.III ,juni 2011.
2.        Nawawi, Imam, Menjaga Kemuliaan Al-Qur’an; adab dan tata caranya, Bandung:Al-Bayan. Cet.I ,Agustus 1996.
3.        Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an/Manna’ Khalil al-Qattan;diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir AS. Cet. 14, Bogor:Pustaka Litera AntarNusa,2011.
4.        Fathurrohman, Mas’udi, Romo Kyai Qodir;pendiri pondok madrasatul huffadz pondok pesantren al-munawwir krapyak yogyakarta, Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet.I, juli 2011.
5.        Ash-sihiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, cet.I maret 2009.


[1]  Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya .Baca Al-Hijr, ayat 9.
[2] Ash-sihiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, cet.I maret 2009. Hlm.19.
[3] Yunahar Ilyas, Cakrawala Al-Qur’an; tafsir tematis tentang berbagai aspek kehidupan, Yogyakarta, Itqan Publishing, cet.III juni 2011. Hlm.7.
[4]  Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasainya).[4] Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya. Baca Al-Qur’an surat Al-Qiyamah : 16-19.
[5] Ash-sihiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, cet.I maret 2009. Hlm.61.
[6]  Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an/Manna’ Khalil al-Qattan;di terjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet.14, 2011, hlm. 188.
[7]  Yunahar Ilyas, Cakrawala Al-Qur’an; tafsir tematis tentang berbagai aspek kehidupan, Yogyakarta: Itqan Publishing, cet.III juni 2011. Hlm.8.
[8] Mas’udi Fathurrohman, Romo Kyai Qodir;pendiri pondok madrasatul huffadz pondok pesantren al-munawwir krapyak yogyakarta (biografi), Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet.I, juli 2011. Hlm. 1.
[9] Sorogan merupakan metode pengajaran individual yang dilaksanakan di pesantren. Blandongan atau wetonan adalah metode pengajaran kolektif. Halaqoh adalah lingkaran peserta didik atau sekelompok santri yang  belajar dibawah bimbingan seorang ustadz atau kiai dalam satu tempat. (pen)
[10]  Mas’udi Fathurrohman, Romo Kyai Qodir;pendiri pondok madrasatul huffadz pondok pesantren al-munawwir krapyak yogyakarta (biografi), Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet.I, juli 2011. Hlm. 51.
[11]  Deresan adalah hafalan yang sudah diperoleh santri selama mengikuti pengajian tahaffud Al-Qur’an. (pen)
[12]  Hadis Ibnu Umar r.a,diriwayatkan oleh Bukhori Muslim.
[13]  Hadis Abu Musa r.a, diriwayatkan oleh Bukhori Muslim.

2 komentar: