Contoh Kebudayaan Islam :
Pengajian Tahaffudz
Al-Qur’an; di Pondok pesantren Madrasah Huffadz Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta.
PEMBAHASAN
Nabi Muhammad
telah meninggalkan warisan rohani yang agung, yang telah menaungi dunia dan
memberi arah kepada kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Warisan
yang telah memberi pengaruh besar pada masa lampau itu, telah meletakkan dasar
kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan
kebudayaan yang telah dibawa Nabi Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu
Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan.
Al-Qur’an adalah kalamullah
yang mendapat jaminan Allah SWT, selalu terpelihara keasliannya.[1]
Melalui para penghafal Al-Qur’an, kitab suci itu terpelihara dari
kesalahan-kesalahan dan terjaga dari usaha orang-orang yang sengaja ingin
mengubahnya. Maka peranan para penghafal Al-Qur’an sejak zaman Rasulullah SAW
sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman nanti mempunyai peranan yang sangat
penting dalam melestarikan dan menjaga keasliannya. Al-Qur’an yang menjadi
pedoman hidup umat Islam.
A. Tahaffudz Al-Qur’an
Tahaffudz adalah akar kata dari hafadza.
Kata hafadza dalam Al-Quran memiliki banyak arti sesuai susunan dan
rangkaian kalimatnya, misalnya dalam surat Yusuf, ayat 65 kata Nahfadzu mempunyai
makna ash-shiyanah war-ri’ayah (menjaga dan memelihara). Tahaffudz adalah
masdar dari kata tahaafadza - yatahaafadzu yang mengikuti wazan tafaa’ala
- yatafaa’alu, artinya saling menjaga.
Kata Hafadza, jika dinisbatkan
kepada Allah SWT maknanya adalah menjaganya dari tabdil (penggantian), taghyir
(perubahan) dan tahrif (penyelewengan) serta penambahan dan pengurangan.
Sementara kata hafadza jika dinisbatkan kepada makhlukNya, maka
maksudnya adalah menghafal, mengamalkan isinya dan menyibukkan diri untuk
berinteraksi dengan Al-Quran baik berupa tadabbur Quran, istinbatul-ahkam,
mengajar Al-Quran dan mempelajarinya .
Al-Qur’an menurut bahasa ialah
bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti
isim maf’ul yaitu maqru’ (yang dibaca). Menurut istilah ahli agama (‘urf
syara’) ialah nama bagi kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang ditulis dalam mushhaf.
Maka, Tahaffudz Al-Qur’an adalah membaca
Al-Qur’an dengan perlahan, sebagai proses pentransferan Al-Qur’an kedalam hati
(dihafal). Misi utama dan urgensi diturunkannya Al-Quran kepada
Rasulullah SAW adalah untuk dihafal, kemudian membacakannya kepada manusia
dengan perlahan-lahan (tadabbur) agar mereka menghafalnya.
B. Sejarah Singkat Tahaffudz Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah.
Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah
satu bangsa yang buta huruf, amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis
dan membaca. Bangsa Arab masih belum mengenal kertas seperti yang sekarang ini,
jadi bagi mereka yang dapat menulis dan membaca, biasanya menuliskannya pada
benda apa saja yang bisa di tulisi.
Walaupun bangsa Arab pada waktu itu
masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan
mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari para pujangga,
peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan
semata.
Al-Qur’an mulai diturunkan kepada
Nabi ketika Nabi sedang berkontemplasi (berkhalwat) di gua Hira pada malam
senin, bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, tahun 41 dari kelahiran Nabi
Muhammad SAW.[2]
sesuai dengan kemuliaan dan kebesaran Al-Qur’an, Allah menjadikan malam
permulaan turun Al-Qur’an itu malam Al-Qadar yaitu suatu malam yang
tinggi kadarnya.
Ketika
Al-Qur’an diturunkan, Rasulullah segera berusaha menghafalnya karena untuk
beliau pribadi, itulah satu-satunya cara memelihara Al-Qur’an, sebab,
sebagaimana dicatat oleh sejarah beliau adalah seorang ummy yang tidak
bisa membaca dan menulis.[3] Tapi kemudian Allah SWT menganugerahkan kepada beliau sebuah keistimewaan
yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan otomatis membaca, menghafal
dan memahami Al-Qur’an.[4]
Jaminan itu perlu diberikan oleh Allah SWT
mengingat Nabi adalah sumber rujukan para sahabat. Nabi lah yang kemudian
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat baik secara langsung untuk
maksud tertentu atau secara tidak langsung dengan mengulang-ulang membacanya
ketika shalat.
Selain itu, sekali dalam setahun, Jibril
mengadakan ulangan. Pada waktu itu Nabi diperintah untuk mengulang
memperdengarkan Al-Qur'an yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan
tersebut oleh Jibril sebanyak dua kali. Nabi sendiripun sering mengadakan
ulangan terhadap sahabat-sahabatnya di depan muka beliau untuk menetapkan atau
membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Setiap ayat yang diturunkan, Nabi
menyuruh kepada para sahabat untuk menghafalnya, dan menuliskannya di batu,
kulit binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa dituliskan. Nabi
menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al-Qur'an
saja yang boleh dituliskan, selain dari Al-Qur'an, (Hadits atau pelajaran-pelajaran
yang mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk dituliskan). Larangan ini
dengan maksud agar Al-Qur'an itu terpelihara, jangan dicampur aduk dengan yang
lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
C. Sejarah Singkat
Tahaffudz Al-Qur’an Pada Masa Sahabat.
Menghafal Al-Quran adalah obyek
perhatian para sahabat Rasulullah SAW setelah wafat beliau. Mereka
berlomba-lomba untuk menghafal, mempelajari dan memahami maknanya. Mereka
saling mendahulukan satu dengan yang lain berdasarkan jumlah hafalan yang
mereka miliki. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan sehingga
jumlah mereka yang hafal Al-Qur’an tidak terhitung banyaknya. Di antara para
sahabat yang menghafal Al-Qur’an adalah dari golongan muhajirin : Abu Bakar,
Umar ibn Al-Khatab, Ustman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah, Ibnu
Zubair,dll. Dari golongan Anshor adalah Ubay ibn Ka’ab, Muadz ibn Jabal, Zaid
ibn Tsabit, Abu Darda’, Anas ibn Malik.dll.[5]
Sebagai gambaran banyaknya jumlah penghafal
Al-Qur’an dapat kita lihat pada jumlah para penghafal Al-Qur’an yang gugur
dalam peperangan Yamamah, dalam peperangan ini tujuh puluh Qurra’ dari para
sahabat gugur.[6]
Sehingga yang pada akhirnya membuat Umar Bin Khatab khawatir dan lalu menghadap
kepada Abu Bakar untuk segera membukukan Al-Qur’an, sebab peperangan Yamamah
telah banyak membunuh para Qurra’.
Banyaknya para sahabat yang hafal Al-Qur’an
tidaklah mengherankan karena: (1) Secara tradisi mereka sudah terbiasa dan
terlatih dalam hafal menghafal, terutama menghafal syair-syair dan garis
keturunan, (2) Mereka sangat mencintai Al-Qur’an,(3) Fasilitas tulis menulis
yang sangat terbatas. Sampai sekarang pun Bangsa Arab masih memelihara tradisi
hafal-menghafal tersebut. Ini bisa dilihat ketika bulan Ramadhan banyak huffadz
cilik membaca satu juz setiap malam selama bulan Ramadhan.[7]
Tradisi menghafal Al-Qur’an dipelihara umat
Islam turun temurun sepanjang zaman diseluruh dunia, tidak hanya pada
bangsa-bangsa yang berbahasa Arab, tetapi juga pada bangsa-bangsa yang lain,
termasuk Indonesia. Sangat mudah menemukan para penghafal Al-Qur’an 30 juz,
baik tua maupun muda dan juga anak-anak. Baik yang mengerti bahasa Arab atau
tidak tahu sama sekali. Baik yang memahami maksud ayat yang dibaca maupun tidak
memahaminya.
Di Indonesia sangatlah banyak ditemukan lembaga atau pondok pesantren dimana para santri menghafalkan Al-Qur’an, diantaranya seperti:
Ponpes Almunawwir Krapyak Yogyakarta, Ponpes Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman
Yogyakarta, Ponpes Jet Tempur Lirboyo Kediri, Ponpes Yanbu’ul Qur’an Kudus, Ponpes
Alkaustar Kajen Pati, dll. Keberadaan
lembaga-lembaga tersebut merupakan satu usaha estafet untuk menyiapkan generasi
penerus penjaga kemurnian Al-Qur’an sekaligus sebagai wahana pembelajaran
ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Madrasatul Huffadz Ponpes Al-Munawwir adalah salah satu lembaga pendidikan
yang berdiri dibawah naungan Ponpes Al-Munawwir krapyak Yogyakarta. Ponpes
Al-Munawwir krapyak Yogyakarta didirikan pada 15 November 1911 M oleh KH.M.
Moenawwir, seorang figur dan ulama besar ahli Al-Qur’an di Indonesia pada
masanya. Sesuai keahliannya, maka pondok ini bercirikan Al-Qur’an, karena
pendidikan dan pengajarannya difokuskan serta diprioritaskan pada Al-Qur’an,
yang mana lembaganya dinamakan dengan “RIBATHUL QUR’AN”.
Sepeninggal KH.M. Moenawwir pada 11 Jumadil Akhir 1360 H/6 Juli 1942 M,
kepemimpinan dilanjutkan oleh “tiga serangkai”, yaitu KH.R. Abdullah Affandi
Munawwir, KH.R. Abdul Qadir Munawwir, dan KH. Ali Maksum (menantu KH.M.
Moenawwir). Seperti pada masa awal, pendidikan serta pengajarannya masih
difokuskan dan diprioritaskan pada Al-Qur’an. Melihat perkembangan pondok yang
kian pesat, maka pada tahun 1955 M, para santri yang menghafal Al-Qur’an
dikelompokkan menjadi satu wadah yang kemudian dinamakan “MADRASATUL HUFFADZ”.
Usaha pendirian madrasatul huffadz ini dipelopori oleh KH.R. Abdul Qodir
Munawwir.
E. Sistem dan Metode
menghafal Al-qur’an di Ponpes Madrasah Huffadz Krapyak Yogyakarta.
Seperti yang kita tahu bahwa pesantren merupakan pendidikan Islam
Tradisional, sebab pesantren adalah lembaga pendidikan yang menjunjung tinggi
dan melestarikan tradisi, budaya, serta tatanan kehidupan islami dalam proses
pendidikan kepada para santrinya. Sebagai lembaga pendidikan tradisional,
pesantren memiliki ciri khusus dalam memberikan pelajaran agama, serta memiliki
teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan,
blandongan, wetonan, mengedepankan hafalan, serta menggunakan sistem halaqoh,[9] sebagaimana pada zaman Rasulullah, para sahabat belajar dengan mendatangi
Rasulullah di rumahnya dan bermusyawarah.
Dalam periode K.H Abdul Qadir, pengajian Al-Qur’an diselenggarakan
dimasjid, dengan menggunakan sistem dan metode seperti yang ada pada zaman almaghfurlah
K.H. M. Moenawwir. Santri yang ingin mengikuti pengajian tahaffudz
Al-Qur’an (bil ghoib) disyaratkan untuk terlebih dahulu mengajukannya [membacanya
dihadapan kyai] secara binnadzri (melihat mushaf) sebelum kemudian
mengajukannya secara bil ghoib (membaca tanpa melihat mushaf) dengan
hasil yang baik dan benar.
Untuk mencapai puncak keberhasilan dalam menghafal Al-Qur’an—yakni adanya
legalisasi dan pengakuan dari K.H. Abdul Qadir sehingga santri dibolehkan
mengikuti prosesi wisuda Khotmil Qur’an (menurut ukuran beliau)— adalah santri yang sudah mampu membaca 30
juz dengan sempurna dalam posisi imam tunggal dalam Shalat Tarawih yang
dilaksanakan selama 20 hari pada bulan Ramadhan.[10] Hal ini merupakan ikhtiar beliau untuk
mencetak para penghafal Al-Qur’an yang tangguh dan handal.
Selanjutnya pada periode setelah wafatnya K.H. Abdul Qadir (17 sya’ban 1381
H./2 februari 1961 M). Madrasah Huffadz di bagi menjadi dua komplek, yakni
Madrasah huffadz I (K.H.R. Muhammad Najib, AQ) dan Madrasah Huffadz II (K.H.R.
Abdul Hafidz, AQ). Santri yang ingin mengikuti pengajian tahaffudz
Al-Qur’an (bil ghoib) di isyaratkan mengajukan terlebih dahulu beberapa tahap
sebagai pembuka sekaligus menguji tajwid (cara baca Al-Qur’an) santri
sebelum kemudian memulai hafalannya pada juz satu, yakni santri harus
menghafalkan bacaan tahiyat solat, juz 30 dan beberapa surat-surat penting (Al-Mulk,
Al-Waqi’ah, Ar-Rahman, Ad-Dukhon, Yasin, As-Sajdah, Al-Kahfi).
Pengajian Tahaffudz Al-Qur’an di Madrasah Huffadz 1 (K.H.R. Muhammad
Najib, AQ) dimulai setiap jam 22:00-02:00 malam hari dan pada jam 10:00-13:00
siang hari. Sedangkan di Madrasah Huffadz 2 (K.H.R. Abdul Hafidz, AQ) pengajian
dimulai setiap ba’da sholat isya’, dengan ketentuan menyetorkan deresan
minimal seperempat juz (lima halaman) dan ba’da sholat subuh dengan ketentuan
minimal menyetorkan satu halaman Al-Qur’an.[11]
Di madrasah huffadz, metode kolektif (jamaah mudarosah) menjadi sebuah
rutinitas bagi santri untuk mengukur ketajaman hafalan mereka. Teknisnya, pertama
Salah satu anggota jama’ah diperintahkan membaca suatu ayat, surat atau juz, bil
ghoib (dengan tanpa melihat mushaf), kemudian dia berhenti dan dilanjutkan
oleh teman disampingnya secara bergantian sampai selesai 30 juz. Kemudian yang kedua
salah satu anggota jama’ah membaca satu ayat, kemudian santri diberi pertanyaan
perihal letak ayat tersebut dalam surat apa, juz berapa, bagian mana, lembar
kiri atau kanan, bawah, tengah, atau atas, dan lain sebagainya.
Itulah sekelumit sistem dan metode penerapan tradisi menghafal Al-Qur’an di
Ponpes Madrasah Huffadz krapyak Yogyakarta. Sebagaimana yang kita pahami saat
ini bahwa inovasi-inovasi dalam Pendidikan Islam, termasuk didalamnya
Pendidikan pesantren, tidak pernah melupakan kaidah Almuhafadzotu ‘alal
qodimi assholihi, Wal akhdzu bil jadidi al ashlah. Pada intinya, sistem dan
metode menghafal Al-Qur’an di Ponpes Madrasah Huffadz ini merupakan satu usaha
sadar untuk menjaga tradisi atau budaya lama (menghafalkan Al-Qur’an) sebagaimana
yang ada pada masa Rasulullah, serta upaya untuk menjaga keaslihan dan keutuhan
Al-Qur’an dari ognum-ognum yang sengaja ingin merubah ayat-ayat Al-Qur’an.
Akhirnya, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Bpk.Rofik selaku Dosen
mata kuliah Sejarah Kebudayaan Islam yang dengan sabar memberi bimbingan kepada
saya, baik moral maupun moril, dan juga kepada teman-teman Ponpes Madrasah
Huffadz yang telah bersedia menyumbangkan waktunya untuk sekedar berbagi
pengalaman sehingga terselesainya tugas ini.
Dan pada kesempatan ini sekaligus sebagai penutup pembahasan, saya sertakan
beberapa album aktifitas Ponpes madrasah Huffadz krapyak Yogyakarta sebagai
contoh kebudayaan Islam (menghafal Al-Qur’an), serta bahan untuk dijadikan
renungan bersama khusunya para huffadz Al-Qur’an.
F. Album Ponpes Madrasah
Huffadz Krapyak Yogyakarta.
G.
Penutup
Kebudayaan Islam dipandang sebagai keseluruhan
sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Pengajian Tahaffudz Al-Qur’an dapat dipandang
sebagai ide-ide, gagasan atau nilai-nilai; kemudian sebagai aktifitas tindakan
yang berpola; dan juga berupa berbagai macam benda hasil karya manusia, seperti
adanya wadah atau wahana untuk belajar (Ponpes).
H. Renungan
Tugas para huffadz sungguh
amat berat, sebab disamping mengemban hafalan yang harus dipelihara agar tetap
lestari (terjaga), mereka juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
yang seringkali menyita waktu dan memeras tenaga. Kita dapat membayangkan
andaikata bukan karena tanggung jawab dan disiplinnya, dalam kondisi jasmani
yang amat payah, barangkali amat sulit untuk memelihara hafalannya.
Karenanya diperlukan
sikap istiqomah dalam menjalankan tugas kewajiban sebagai penerus dalam
melestarikan tetap beradanya orang-orang yang hafal Al-Qur’an. Rasulullah
pernah bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan orang yang menghafal Al-Qur’an
itu bagaikan pemilik unta yang diikat, jika dirawat dengan cermat (telaten)
maka tetap dapat diperintahkannya (dimilikinya), dan bila dilepas maka akan
hilang.” [12]
Rasulullah juga pernah bersabda: “kontinyulah mempelajari Al-Qur’an, demi
Allah yang jiwaku ada ditangan-Nya, Al-Qur’an itu lebih cepat larinya dari pada
unta yang terlepas dari tali ikatannya.”[13] Maka dari itu,
penghafal Al-Qur’an harus disiplin, konsisten, dan berusaha sekuat tenaga untuk
menjaga hafalannya agar tidak lupa.
K.H Abdullah Salam (pendiri Ponpes Mathali’ul
Huda Pusat, kajen-pati) mengatakan bahwa Al-Qur’an itu; Jimat (siji dirumat),
sing sopo wonge rumat bakal ramut, remet nek ora rumat. Kita tahu bahwa
pahala bagi orang yang menghafalkan Al-Qur’an adalah surga, namun apabila
seorang huffadz teledor sehingga
tidak bisa menjaganya (menjaga dalam arti tidak hanya hafalannya, tapi
termasuk didalamnya tindakan dan perbuatan harus semata-mata sesuai dengan
Al-Qur’an) maka seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah akan putus tangannya
di akhirat nanti. Naudzubillah min dzalik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ilyas, Yunahar, Cakrawala Al-Qur’an; tafsir tematis tentang berbagai aspek
kehidupan. Yogyakarta: Itqan Publishing. Cet.III ,juni 2011.
2.
Nawawi, Imam, Menjaga Kemuliaan
Al-Qur’an; adab dan tata caranya, Bandung:Al-Bayan. Cet.I ,Agustus 1996.
3.
Al-Qattan, Manna’ Khalil,
Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an/Manna’ Khalil al-Qattan;diterjemahkan dari
bahasa Arab oleh Mudzakir AS. Cet. 14, Bogor:Pustaka Litera AntarNusa,2011.
4.
Fathurrohman, Mas’udi, Romo
Kyai Qodir;pendiri pondok madrasatul huffadz pondok pesantren al-munawwir
krapyak yogyakarta, Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet.I, juli 2011.
5.
Ash-sihiddieqy,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, cet.I maret 2009.
[1] Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya .Baca Al-Hijr,
ayat 9.
[2]
Ash-sihiddieqy,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, cet.I maret 2009. Hlm.19.
[3]
Yunahar Ilyas, Cakrawala Al-Qur’an; tafsir
tematis tentang berbagai aspek kehidupan, Yogyakarta, Itqan Publishing,
cet.III juni 2011. Hlm.7.
[4] Janganlah kamu
gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat
(menguasainya).[4]
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu.Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
Baca Al-Qur’an surat Al-Qiyamah : 16-19.
[5]
Ash-sihiddieqy,
Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT.
PUSTAKA RIZKI PUTRA, cet.I maret 2009. Hlm.61.
[6] Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi
Ilmu-ilmu Qur’an/Manna’ Khalil al-Qattan;di terjemahkan dari bahasa Arab
oleh Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, Cet.14, 2011, hlm. 188.
[7] Yunahar Ilyas,
Cakrawala Al-Qur’an; tafsir tematis tentang berbagai aspek kehidupan,
Yogyakarta: Itqan Publishing, cet.III juni 2011. Hlm.8.
[8] Mas’udi Fathurrohman, Romo Kyai Qodir;pendiri pondok madrasatul huffadz pondok
pesantren al-munawwir krapyak yogyakarta (biografi), Yogyakarta: Tiara
Wacana. Cet.I, juli 2011. Hlm. 1.
[9]
Sorogan merupakan metode
pengajaran individual yang dilaksanakan di pesantren. Blandongan atau
wetonan adalah metode pengajaran kolektif. Halaqoh adalah lingkaran
peserta didik atau sekelompok santri yang
belajar dibawah bimbingan seorang ustadz atau kiai dalam satu tempat.
(pen)
[10] Mas’udi Fathurrohman, Romo Kyai Qodir;pendiri
pondok madrasatul huffadz pondok pesantren al-munawwir krapyak yogyakarta (biografi),
Yogyakarta: Tiara Wacana. Cet.I, juli 2011. Hlm. 51.
[11]
Deresan adalah hafalan yang sudah
diperoleh santri selama mengikuti pengajian tahaffud Al-Qur’an. (pen)
[12] Hadis Ibnu Umar r.a,diriwayatkan
oleh Bukhori Muslim.
[13]
Hadis Abu Musa r.a, diriwayatkan oleh Bukhori
Muslim.
kalo mau masuk komplek huffadzcra'a gmna gan...
BalasHapusThanks atas deskripsinya.....
BalasHapus