Sabtu, 03 November 2012

AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN


BAB I
A.   PENDAHULUAN
Manusia sebagaimana makhluk lainnya memiliki keterkaitan dan ketergantungan terhadap alam dan lingkungannya. Namun demikian, pada akhir-akhir ini, manusia justru semakin aktif mengambil langkah-langkah yang merusak, atau bahkan menghancurkan lingkungan hidup. Hampir setiap hari kita mendengar berita menyedihkan tentang kerusakan alam yang timbul pada sumber air, gunung, laut dan udara. Bencana lumpur lapindo yang tak kunjung usai, banjir jakarta, Adam Air, demam berdarah, flu burung, kekeringan, dan sebagainya, selalu menghiasi berita di televisi maupun di koran-koran.
Pemanfaatan alam lingkungan secara serampangan dan tanpa aturan telah dimulai sejak manusia memiliki kemampuan lebih besar dalam menguasai alam lingkungannya. Dengan mengeksploitasi alam, manusia menikmati kemakmuran hidup yang lebih banyak. Namun sayangnya, seiring dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi, alam lingkungan malah di eksploitasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan kerusakan yang dahsyat.
Kerusakan alam yang ditimbulkan oleh manusia bersumber dari cara pandang manusia terhadap alam lingkungannya. Dalam pandangan manusia yang oportunitis memandang alam sebagai barang dagangan yang mengutungkan dan manusia bebas untuk melakukan apa saja terhadap lingkungan. Menurutnya, alam dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kesenangan manusia. Sebaliknya, manusia yang religius (paham akhlak) menyadari adanya keterkaitan antara dirinya dengan alam lingkungan. Manusia religius seperti ini akan memandang alam sebagai sahabatnya yang tidak bisa di eksploitasi secara sewenang-wenang.
Perilaku manusia khusunya terhadap lingkungan sangatlah besar, baik dari segi positif dan negatifnya. Manusia dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman supaya tidak ketinggalan dengan yang lain, tetapi kadang-kadang manusia itu sendiri lupa  dengan lingkungan sekitar, sehingga menyebabkan permasalahan bagi lingkungan tersebut maupun manusia lain.
Bencana alam kerap terjadi di seluruh dunia, tak lainnya adalah di Indonesia. Anehnya, setiap bencana terjadi, masyarakat sibuk mencari siapa yang salah. Datangnya bencana boleh jadi suratan takdir Illahi, dan boleh jadi merupakan ekspresi alam yang sedang marah.
Tanpa disadari kita berperan dalam perusakan alam. Akhlak kita seringkali tidak memperdulikan kelestarian lingkungan. Ya, semua berawal dari akhlak yang tidak terkendali. Sikap serakah, acuh tak acuh, ceroboh, boros, dan jorok merupakan cerminan akhlak yang merusak lingkungan. Untuk itu, diperlukan suatu kearifan akhlak terhadap lingkungan. Karena, bagaimanapun kita sebagai manusia yang bertempat di bumi, wajib hukumnya menjaga kelestarian alam dan lingkungan demi kelangsungan kehidupan yang aman, tentram, makmur,dan sejahtera. Sebagaimana tugas manusia selain beribadah kepada tuhan,juga sebagai khalifatullah fil ardh.

B.   TOPIK
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut di sebabkan karena perbuatan tangan manusia...” (Ar-ruum:41).
Kita lihat sekarang ini banyak sekali tingkah laku manusia yang tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya, misalnya dengan menebang hutan, yang akan mengakibatkan pemanasan global karena gundulnya hutan sebagai pengolah kadar karbondioksida
Salah satu tantangan modernitas dalam menjaga keseimbangan alam adalah adanya eksploitasi alam yang berlebihan karena tuntunan perkembangan penduduk. Misalnya, Sekarang ini di daerah perkotaan banyak di dirikan perumahan-perumahan. Karena itu areal pertanian yaitu sawah dan”tegalan”yang posisinya rendah di jadikan tempat pemukiman baru. Karena tempatnya rendah, sebelum di dirikan rumah-rumah baru, tempat itu perlu di urug. Untuk keperluan mengurug, di carilah tanah dari dataran yang lebih tinggi, yang salah satunya adalah gunung.
Sebagaimana diketahui, fungsi gunung adalah sebagai penahan dan penyimpan air; dan fungsi sawah adalah untuk bercocok tanam. Karena peralihan fungsi lahan tersebut, akibatnya masyarakat yang tinggal di perumahan sering kekurangan air ketika musim kemarau,karena air simpanan di gunung tidak ada, dan ketika musim hujan masyarakat terkadang kebanjiran karena air langsung mengalir tanpa ada yang menahan dan menyimpannya.
Perbuatan dan tingkah laku manusia khususnya terhadap lingkungan sangatlah besar, baik dari segi positif maupun negatifnya. Karena manusia dan lingkungan, adalah hal yang tak bisa di pisahkan, maka penting sekali kaitannya dengan penulisan makalah ini guna mengetahui dan menyadari betapa berharganya lingkungan ini terhadap kehidupan makhluk hidup.
BAB II
PEMBAHASAN

Akhlak yang baik merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara manusia dengan sesama maupun lingkungan.Sehinggan orang-orang yang mampu mewujudkan hubungang baik tersebut adalah orang-orang yang ruhnya bersih,yang konsisten menunaikan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah.
Lingkungan merupakan sebuah wadah yang di dalamnya ditampung berbagai jenis makhluk dan benda mati yang beraneka ragam seperti  manusia, hewan ,tumbuh-tumbuhan, udara, air dan lain-lain. Di dalam lingkungan baik secara sadar maupun tidak, juga terdapat berbagai kegiatan yang bersifat pendidikan maupun juga hanya bersifat sebatas interaksi sesama.
Akhlaq terhadap alam lingkungan adalah bahwa manusia tidak dibolehkan memanfaatkan sumber daya alam dengan jalan mengeksploitasi secara besar-besaran,sehingga timbul ketidak seimbangan alam dan kerusakan bumi.
Misalnya,hutan merupakan faktor yang penting untuk menopang kehidupan dibumi.Ia memberikan kesetabilan tanah,menyerap pemanasan global.Selain itu,hutan juga menjadi pusat kehidupan beragam jenis flora dan fauna.Adanya hutan membuat air hujan akan terdistribusikan secara merata dan mencegah terjadinya penumpukan air yang dapat menyebabkan banjir dan longsor.Namun,dengan semakin mengikisnya lahan hutan,maka daya serap tanah terhadap air juga semakin berkurang,sehingga air yang melewati permukaannya berpotensi mengalir menuju satu titik (yang rendah) sekaligus menyebabkan tanah tersebut rapuh dan rawan terjadi kelongsoran.

Para ilmuwan lingkungan hidup menyatakan bahwa aturan utama dalam memanfaatkan alam adalah memperhatikan standart kapasitas yang ada.Eksploitasi alam secara berlebihan dan tanpa aturan serta tanpa pertimbangan yang matang akan menyebabkan krisis lingkungan. Pemanfaatan sumber daya alam harus selalu memperhatikan dampak negatif yang terjadi terhadap lingkungan.1
Kerusakan sumber daya alam pada akhirnya akan memberikan dampak buruk kepada diri manusia sendiri. Perilaku manusia dalam mengeksploitasi besar-besaran terhadap hutan berakibat pada bencana banjir yang merenggut nyawa dan melenyapkan harta benda manusia. Pemanasan global yang kini mengepung manusia juga akibat dari ulah manusia. Ketika bencana alam datang, manusia seharusnya menyadari kesalahannya dalam mengeksploitasi alam secara semena-mena. Saat ini, alam sudah sangatlah kritis. Namun setidaknya saat ini sudah mulai bermuncullan aksi-aksi untuk melakukan penghijauan kembali.
Kesadaran manusia dalam peranannya sebagai khalifah yang telah di tunjuk oleh Allah di muka bumi seyogyanya mulai bertindak arif dan bijaksana dalam mengelola kekayaan alam dan bumi,sehingga terhindar dari kerusakan. Berkenaan dengan betapa pentingnya sumber daya alam bagi kehidupan, maka kita menjadi tahu dan sadar tentang bagaimana memperlakukan alam dengan sewajarnya. Dalam hal ini, Allah telah mempermudah manusia dengan memberikan petunjuk dalam Al-qur’an tentang apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap alam lingkungan, yaitu; merenungkan, mempelajari, memanfaatkan, dan memelihara.
Kemudian lain dari pada itu, kita akan membahas akhlak terhadap lingkungan di tinjau dari beberapa aspek, yakni: agama, etika, dan budaya.

                            I.            AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN DITINJAU DARI SEGI AGAMA
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam lingkungan. Kekhalifahan mengandung arti pengayom, pemeliharaan, dan pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptanya.
Dalam pandangan akhlak islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang atau memetik bunga sebelum mekar. Karena hal ini berati tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi, sehingga ia tidak melakukan pengrusakan atau bahkan dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.
Akhlak yang baik terhadap lingkungan adalah ditunjukkan kepada penciptaan suasana yang baik, serta pemeliharaan lingkungan agar tetap membawa kesegaran, kenyamanan hidup, tanpa membuat kerusakan dan polusi sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia itu sendiri yang menciptanya.
Agama islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh dimensi hubungan manusia dengan alam lingkungan. Islam mengajarkan dan menetapkan prinsip-prinsip atau konsep dasar akhlak bagi manusia tentang bagaimana bersikap terhadap alam lingkungannya. Ini merupakan wujud kesempunaan Islam dan salah satu bentuk nikmat dan kasih sayang Allah yang tidak terbatas. Allah berfirman: “pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu,aku limpahkan atas kamu nikmat-Ku,dan aku ridlai Islam sebagai agamamu” (Q.S Al-Maidah:3).
Prinsip Islam selalu menyeimbangkan semua hal dalam kehidupan manusia.Islam tidak mengizinkan manusia untuk lebih atau hanya memperhatikan satu sisi dengan menghabiskan sisi yang lain.Ini bisa terwujud dalam prinsip atau nilai-nilai Islam karena ia terbebas dari kekangan hawa nafsu dan diciptakan oleh sang pencipta manusia, Dzat yang membuat hidup mereka mulia, mendapatkan rahmat, dan hidayah demi kebaikan mereka di dunia dan akhirat.
Sikap Islam dalam memperhatikan alam lingkungan bertujuan demi kebaikan manusia baik di dunia maupun di akhirat, sesuai prinsip-prinsip umum berikut ini:
Ø  Prinsip pertama,
Bahwa disisi Allah manusia adalah makhluk yang mulia.Allah telah menundukkan semua yang ada dilangit dan dibumi untuk memeudahkan manusia. Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam,kami angkut mereka didaratan dan dilautan,kami beri mereka rizqi dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan” (Q.S Al-Israa:70).
Kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah bentuk yang indah, kemampuan untuk berbicara, free will, dan kemampuan berjalan dimuka bumi, di udara, dan di lautan dengan berbagai bentuk kendaraan. Disamping itu, mereka juga mendapatkan anugerah rizqi yang  berlimpah berupa makanan yang lezat dan baik. Di tambah lagi keutamaan akal, pikiran, wahyu, Rasul, dan lainnya, serta kemuliaan dan karomah jika taat kepada Allah.
Ø  Prinsip kedua
Manusia dituntut untuk memakmurkan dan melestarikan bumi. Hal ini dapat terimplementasi dalam beberapa hal sebagai berikut:
ü  Belajar, mencari ilmu dan mengajar.
ü  Menunaikan amar ma’ruf nahi munkar.
ü  Berjihad dijalan Allah dengan tujuan agar ajaran Allah tetap jaya.
ü  Mematuhi konsep dan aturan Islam dalam kehidupan yang merupakan bentuk ibadah kepada Allah, serta mengikuti prinsip musyawarah, keadilan, menolak kerugian, serta mewujudkan kemaslahatan.

Ø  Prinsip ketiga
Manusia dituntut untuk berfikir dan merenungkan apa yang ada dilangit dan apa yang ada bumi. Hal ini bertujuan agar kehidupan mereka menjadi lebih baik dengan memanfaatkan yang ada di sekelilingnya, serta lebih dapat mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh ridlo-Nya. Akan tetapi, dalam menggunakan akal, pikiran, dan dalam perenungannya, manusia tidak boleh melampaui apa yang telah digariskan oleh Allah.
Ø  Prinsip keempat
Manusia dituntut untuk menghiasi diri mereka dengan keutamaan-keutamaan, meninggalkan hal-hal yang tercela dan berinteraksi dengan baik antar sesama manusia dan lingkungannya.
Ø  Prinsip kelima
Interaksi manusia dengan alam lingkungan bukanlah sebuah konflik ataupun peperangan.Akan tetapi, interaksi manusia dengan alam lingkungan adalah ketundukan alam untuk membantu manusia dengan tetap menjaga keseimbangan yang menempatkan manusia dan alam lingkungn pada posisinya masing-masing.
Ø  Prinsip keenam
Ajaran Islam telah memberikan kebebasan kepada umat manusia dalam berakidah,beribadah,mengungkapkan pendapat, bekerja dan mencari bekal hidup, serta kebebasan-kebebasan lain yang sangat mereka butuhkan dalam kehidupan.

Prinsip-prinsip dasar diatas jika dilaksanakan dapat mewujudkan kebaikan dan kebahagiaan bagi manusia. Karena prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar akhlak dalam Islam berasal dari Allah SWT, sehingga tidak mengherankan jika prinsip-prinsip dan nilai-nilai tersebut sesuai bagi kehidupan manusia, baik didunia maupun diakhirat.
Berkenaan pada tujuan hidup manusia di alam dunia yang  fana’ ini, adalah beribadah kepada Allah SWT dan melaksanakan amanah-Nya sebagai khalifah dimuka bumi yang bertugas membangun, mengelola, memanfaatkan, serta menjaga kelestarian alam lingkungan sesuai dengan petunjuk-Nya.
Manusia selalu dituntut untuk selalu berbuat baik dan berusaha mendekati kesempurnaan, karena bagaimanapun manusia tidak akan mampu mencapai derajat kesempurnaan. Akan tetapi, jika tetap hidup dan selalu melakukan perbuatan baik maka harus menambah kebaikannya. Sedangkan, jika perilakunya buruk maka kemungkinan dengan hidupnya yang lebih panjang ia bisa meninggalkan keburukannya itu. Manusia terkadang lalai atau bahkan berbuat salah, namun dosa atas kesalahannya dapat dihapus dengan cara bertaubat.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majjah Alhakim dengan sanad mereka dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap anak adam pasti berbuat kesalahan,dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat”.
Jadi, Islam mengakui dan memperhatikan realitas umat manusia, lalu memberikan petunjuk bagaimana seharusnya mereka berperilaku dalam kehidupan ini, demi mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan didunia dan diakhirat.

                         II.            AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN DI TINJAU DARI SEGI ETIKA
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani “ethos” dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti:  tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, akhlak, perasaan, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (taetha) artinya adalah adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (384-322 S.M) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi jika kita membatasi pada asal usul kata ini maka”etika” adalah ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dalam referensi lain dikatakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari atau menjelaskan arti baik dan buruk.
Berkaitan dengan akhlak pada lingkungan menurut etika, dapat dijelaskan bahwa etika menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang lama (Poerwardarminto,sejak 1953) arti etika adalah:
1.    Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak kewajiban moral.
2.    Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.    Nilai yang benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Secara singkat etika sangat erat kaitannya dengan prinsip-prinsip moral, yaitu perbuatan yang mengandung unsur kebaikan dan manfaat.
Seperti telah dijabarkan di atas tentang pengertian etika, sebuah masyarakat bahkan seluruh masyarakat di dunia ini akan beranggapan sama yaitu lingkungan harus diperlakukan dengan baik dengan selalu menjaga,  merawat dan melestarikannya karena secara etika hal ini merupakan hak dan kewajiban suatu masyarakat serta merupakan nilai yang mutlak adanya. Dengan kata lain bahwa berakhlak yang baik terhadap lingkungan merupakan salah satu manifestasi dari etika itu sendiri.
Melihat masa sekarang dimana terdapat berbagai macam musibah yang menimpa saudara-saudara kita, itu semua tentunya tak lepas dari parangai manusia itu sendiri. Banyak orang menganggap bahwa lingkungan hanya sebagai objek untuk mendapatkan sesuatu tanpa memikirkan sebab akibat dan pelestariannya.
Berbagai macam kasus tentang perusakan lingkungan telah banyak terjadi di Indonesia diantaranya:
1.      Pembakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat pedalaman Kalimantan.Walaupun hal ini dilakukan dalam rangka untuk menjadikan sebagai lahan pertanian, tetapi hal ini terbukti tidak efektif karena penjalaran api yang begitu cepat menyebabkan melebarnya lahan yang terbakar. Hal ini tentunya sangat berakibat buruk tidak hanya bagi masyarakat setempat tetapi juga masyarakat dunia karena pulau Kalimantan merupakan paru-paru dunia yang memproduksi banyak oksigen untuk kelangsungan hidup manusia.
2.      Membuang sampah sembarangan terutama di ibukota Jakarta yang menyebabkan terhalangnya aliran air sungai yang menyebabkan sungai menjadi kotor dan bau terlebih lagi mengakibatkan banjir yang menjadi langganan Jakarta setiap tahunnya.
3.      Belum lama ini kasus mengenai pabrik yang ada di Provinsi Riau yang membuang limbahnya di sungai sehingga menyebabkan hilangnya mata pencaharian penduduk dikarenakan ikan-ikan mati.
4.      Kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur yang merupakan sebab dari kelalaian  P.T.Lapindo Brantas dalam menambang minyak bumi sehingga menyebabkan keluarnya lumpur panas dari dalam bumi dan belum jelas kapan akan berhenti. Hal ini tentunya mengakibatkan penderitaan pada masyarakat karena mereka kehilangan lahan, rumah serta mata pencahariannya.
Dari penjabaran di atas, tentunya kita dapat mengambil pelajaran bahwa sebab dari kelakuan kita yang buruk terhadap lingkungan akan berakibat sangat fatal. Lingkungan yang seharusnya menjadi tempat hidup, justru menjadi penyebab sengsara dan kematian. Dampaknya pun meluas tidak hanya pada masyarakat setempat yang terkena musibah tetapi pada masyarakat luas pula.
Ketika kata “etika”  hanya dijadikan simbol oleh masyarakat tanpa peduli pada aspek untuk mengamalkannya, maka jelaslah bahwa masyarakat itu telah mengalami kerusakan. Oleh karena itu aspek “etika” dalam masyarakat harus dikedepankan dan dilaksanakan karena etika di dalam sebuah masyarakat merupakan dasar bagi perbuatan manusia karena etika mencakup baik, buruk, benar, salah dan juga mencakup aspek moral atau akhlak. Oleh karena itu marilah kita berakhlak baik kepada lingkungan yaitu dengan menjaga, merawat dan melestarikannya sehingga akan terwujud kehidupan yang aman damai sejahtera dan hal itu tentunya menjadi tujuan adanya etika di dalam masyarakat baik berbangsa maupun bernegara.
                      III.            AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN DI TINJAU DARI SEGI BUDAYA
Sebagai seorang mmanusia yang kodratnya adalah makhluk sosial,kita patut mempunyai dasar pengetahuan dalam bersosialisasi dengan lingkungan disekitar kita, dasar pengetahuan itu adalah budaya yg bertujuan agar kita bisa hidup berdampingan dengan baik. Faktor inilah yang menurut kita menjadi awal mula adanya budaya didalam suatu kelompok masyarakat. Mereka menciptakan sesuatu yang bisa membuat mereka menjalin kesatuan didalam kehidupannya. Budaya itu sendiri pastilah suatu kesepakatan bersama dari penciptanya, berdasarkan nilai, norma, dan moral yang positif yang beredar di masyarakat tersebut.
Budaya yang baik tentulah melahirkan sikap dan perilaku yang baik pula kepada generasi penerusnya dimasa yang akan datang. Sedangkan budaya yang buruk tercipta dari ulah sesorang atau sebagian kelompok yang menentang nilai-nilai positif yang terkandung dalam masyarakat.
Contoh budaya baik adalah seorang ibu mengajari anaknya menanam pohon di pekarangan rumah,agar rumah senantiasa indah. Contoh lain, membiasakan diri bangun pagi, mengembangkan malu sebagai kontrol diri, dan lain sebagainya.
Budaya merupakan salah satu unsur dasar dalam kehidupan sosial. Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat dihadapkan pada kenyataan semakin merajalelanya orientasi hidup yang materialistis sementara dimensi spiritual dan ukhrawi semakin tersingkir. Pola hidup masyarakat telah bergeser kearah materialisme, hedonisme, konsumerisme, individualisme dan sikap masa bodoh (permisif). Pola hidup yang seperti itu pada akhirnya mengakibatkan semakin maraknya praktik maksiat, kejahatan dan perilaku yang menyimpang.
Berbagai krisis yang menimpa bangsa indonesia, khususnya masalah akhlak, disebabkan oleh tidak adanya budaya malu dikalangan para pemimpin dan masyarakat luas, disamping oleh lemahnya mekanisme kontrol yang dalam bahasa agama islam dikenal dengan istilah Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bangsa indonesia cenderung bersikap permisif dan membiarkan terjadinya kemaksiatan dan kemungkaran. Akibatnya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) berkembang luas dikalangan pejabat pemerintah mulai dari kepala desa hingga presiden tanpa ada orang  yang berani melarang apalagi menghentikannya. Pada saat yang sama, berbagai bentuk maksiat dan munkarat, mulai dari penebangan hutan, perjudian, perzinaan, pemerkosaan, penyalah gunaan obat-obat terlarang, minuman keras, dan berbagai bentuk  kedzoliman semakin merajalela
Manakala orang telah kehilangan rasa malu dan kejujuran, ia menjadi manusia buas berjingkrak-jingkrak mengikuti hawa nafsunya dengan hati yang sepuas-puasnya. Hatinya tidak akan terketuk sama sekali. Egoisme yang meluap-luap membuat matanya menjadi gelap,sehingga tidak dapat mengenal apapun juga selain yang lebih menambah kepuasan hatinya. Dikala orang telah mencapai kemerosotan sepeti itu putuslah ia sebagai manusia yang sewajarnya.
Menghadapi keadaan yang sangat menyedihkan diatas, tidak ada alterntif lain kecuali menghayati nilai-nilai luhur budaya dan mengaktualisaikannya dalam bentuk kepribadian yang baik, dalam mewujudkan Indonesia baru sebagai negara yang gemah ripah loh jinawe tata tenterem karto raharjo dibawah naungan ridla Allah SWT yang dalam istilah Al-Qur’an disebut baldatun thayyibatun wa robbun ghofur.(Q.S.Ar-ruum: ). Selain itu para pemimpin harus menunjukkan jalan kebahagiaaan kepada umatnya. Lebih terpuji lagi jika mereka dapat mengantarkan umatnya ke pintu gerbang kebahagiaan. Dengan kata lain, seorang khalifah (pemimpin) tidak sekedar menunjukkan tetapi mampu pula memberi contoh sosialisasinya.

BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Semua yang ada di bumi termasuk alam semesta diciptakan untuk manusia. Seharusnya kita menyadari bahwa Allah manciptakan flora & fauna untuk kemanfaatan manusia, seperti halnya, dengan mengambil manfaat dari buah-buahan. Karena itu kita harus menjaga dan melestarikannya. Jangan sampai kita membuat kerusakan terhadap flora & fauna.
Oleh karena itu marilah kita berakhlak baik kepada lingkungan yaitu dengan menjaga, merawat dan melestarikannya sehingga akan terwujud kehidupan yang aman damai sejahtera dan hal itu tentunya menjadi tujuan adanya etika di dalam masyarakat baik berbangsa maupun bernegara.
Selain itu, para pemimpin juga harus mampu mengantarkan umat (Rakyat) nya menuju pintu gerbang kebahagiaan jika mereka memiliki akhlak yang luhur sehingga segala kebaikan mendarah daging dalam diri mereka. Hal ini harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih pemimpin terutama pada Era sekarang ini. Karena bagaimana mungkin bangsa indonesia mampu mengkikis praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjerumuskan bangsa Indonesia ke jurang kehancuran bila para pemimpinnnya tidak memiliki akhlak yang luhur.

B.   DAFTAR PUSTAKA
·         Amin,  Ahmad, Prof.,Dr.1955. Ethika (ilmu akhlak). Jakarta: Bulan Bintang.
·         Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
·         Rasyid, Hamdan, Drs.KH. 2007. Bimbingan Ulama’ Kepada Umara dan Umat. Pustaka Beta.
·         Muhammad Al-Ghazali, Akhlak seorang muslim,Penerbit:Pt. Al-ma’arif  Bandung
·  http://badalfatanrayhan.blogspot.com/2011/04/ilmu-budaya-dasar-dan-kaitannya-dengan.html.

STUDI TERHADAP SEKATEN; pendekatan sosiologis

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pada konteks kehidupan beragama sehari-hari, terkadang sulit untuk membedakan antara sesuatu yang murni agama dan hasil pemikiran atau interpretasi dari agama. Sesuatu yang murni agama, berarti berasal dari Tuhan, absolut dan mengandung nilai sakralitas. Hasil pemikiran agama, berarti berasal dari selain Tuhan [manusia], bersifat temporal, berubah, dan tidak sakral. Pada aspek realisasi, kadang mengalami kesulitan membedakan keduanya karena terjadi tumpang-tindih dan terjadi pencampuradukan makna antara agama dengan pemikiran agama, baik sengaja atau tidak. Perkembangan selanjutnya, hasil pemikiran agama kadang-kadang telah berubah menjadi agama itu sendiri, sehingga ia disakralkan dan dianggap berdosa bagi yang berusaha merubahnya.Apakah agama adalah kebudayaan atau agama adalah bagian dari kebudayaan, ataukah dalam setiap kebudayaan,agama adalah bagian yang paling berharga dari seluruh kehidupan sosial.

B.  RUMUSAN MASALAH
1)                  Apa yang di maksud pendekatan sosiologis studi islam?
2)                  Bagaimana asal-usul sekaten dan pelaksanaannya?
3)                  Bagaimana studi terhadap kasus sekaten?

C.  TUJUAN
1)                  Untuk mengetahui maksud dari pendekatan sosiologis studi islam.
2)                  Mengetahui asal-usul sekaten dan pelaksanaannya.
3)                  Memahami studi terhadap kasus sekaten.




PEMBAHASAN

A.  Pendekatan Sosiologis Studi Islam
Kehidupan umat manusia di dunia ini, pasti selalu ditemukan adanya pluralitas atau keanekaragaman, kemajemukan. Pluralitas itu menyangkut berbagai kehidupan manusia, baik dalam warna kulit, bahasa dan adat-istiadat maupun dalam keyakinan agama. Pluralitas juga terdapat dalam realitas kehidupan alam, baik benda mati seperti bebatuan maupun benda hidup seperti tumbuhan dan binatang. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan dan membuat antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakikatnya menolak esensi kehidupan.
Adapun upaya untuk memahami kemajemukan tadi dapat dikaji melalui pendekatan sosiologi atau mencoba mengkaji keunikan karakter manusia diberbagai tempat dan belahan bumi dimana mereka menjalani hidupnya. Melalui cara pemahaman seperti itulah diharapkan muncul satu kesadaran bahwa ternyata tiap-tiap individu memiliki sudut pandang masing-masing didalam memahami ajaran agamanya.Perlu dimengerti pula bahwa dalam setiap realitas yang plural itu,tidak ada yang persis sama, baik ukuran warna,rupa maupun dimensinya.
Pendekatan mempunyai beberapa istilah atau arti yang hampir sama dan menunjukan tujuan yang sama yaitu theoritical framework, conceptual framework, approach prespective, point of view (sudut pandang) dan paradigm (paradigma). Semua istilah ini bisa diartikan ssebagai cara memandang dan cara menjelaskan suatu gejala atau istilah.
Tentang apa yang dimaksud pendekatan masih diperdebatkan dan melahirkan dua kelompok besar:
1.      Kelompok pertama mempunyai dua pemaknaan:
a.       Pendekatan berarti “dipandang atau dihampiri dengan” maksudnya pendekatan tersebut menjadi paradigma
b.      Pendekatan berarti “menghampiri atau memandang fenomena (budaya dan sosial)” maksudnya pendekatan tersebut menjadi perspektif atau sudut pandang.
2.      Kelompok kedua, pendekatan berarti disiplin ilmu. Maka ketika disebut studi islam dengan pendekatan sosiologis sama artinya dengan mengkaji islam dengan menggunakan disiplin ilmu sosiologi. Konsekuensinya, pendekatan disini menggunakan teori atau teori-teori disiplin ilmu yang dijadikan sebagai pendekatan. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi tersebut berarti fenomena studi islam didekati dengan teori atau teori-teori sosiologi.
Ada dua istilah lain yang juga dekat dengan pendekatan, yaitu episteme dan wacana. Episteme adalah cara manusia menangkap yaitu cara manusia memandang dan memahami suatu fenomena. Wacana adalah cara manusia membicarakan kenyataan.
Menurut Michel Foucault (1926-1984) episteme dan wacana juga tunduk pada berbagai aturan yang menentukan apa yang dipandang atau dibicarakan dari kenyataan, apa yang dianggap penting dan tidak penting, hubungan apa yang dilakukan antara berbagai unsur kanyataan dalam penggolongan dan analisis, dsb. Dengan kata lain, setiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara yang berbeda-beda (dengan cara sendiri-sendiri).
Karena itu pendekatan sangat erat hubungannya dengan kerangka teori. Dalam arti bahwa teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena yang diteliti adalah teori atau teori-teori yang dimiliki ilmu pendekatan yang digunakan.
Teori adalah prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam bentuk rumusan atau aturan yang berlaku umum. Kaitannya dengan pendekatan sosiologi minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam penelitian, yaitu:
1.      Teori fungsional, adalah teori yang mengasumsikan masysarakat sebagai organisme ekologi mengalami pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang akan dihadapi. Pada gilirannya akan terbentuk kelompok-kelompok tertentu yang masing-masing bagian mempunyai fungsi sendiri, yang boleh jadi → satu bagian mempunyai fungsi yang berbeda dengan yang lain.
2.      Teori interaksionisme mengasumsikan, dalam masyarakat pasti ada hubungan antara masyarakat denga individu, antara individu dengan individu lain. Teori ini, sering diindentifikasikan sebagai deskripsi yang interpretatif, yaitu suatu pendekatan yang menawarkan analisis yang menarik perhatian besar pada pembekuan sebab yang senyatanya ada.
3.      Teori konflik, adalah teori yang kepercayaan bahwa setiap masyarakat mempunyai kepentingan (interest) dan kekuasaan (power), yang merupakan pusat dari segala hubungan sosial.
Fokus pendekatan sosiologi dalam studi Islam adalah memahami Islam sebagai fenomena yang menyejarah dalam sosial dan budaya. Perlu dipahami disini, bahwa ragam dan corak keislaman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam yang berbeda-beda tentang ajaran Islam berdasarkan setting sosial dan budaya yang melatarbelakangi sekaligus yang dihadapi oleh umat Islam itu sendiri. Dari sinilah kemudian muncul berbagai sudut pandang yang melahirkan berbagai model pemahaman terhadap ajaran Islam.
Sebagai tambahan, dalam kaitannya dengan agama islam sebagai gejala sosial pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Awalnya sosiolgi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Belakangan, sosiologi agama mempelajari bagaimana agama mempengaruhi masyarakat, dan boleh jadi sebaliknya, bagaimana masyarakat mempengaruhi agama.
Di dalam menelaah studi Islam di Indonesia,satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah sejarah studi Islam di Indonesia. Penelusuran atas sejarah bagaimana Islam dikaji,tidak bisa dilepaskan dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia.Lepas dari perdebatan kapan waktu dan apa motivasi dan tujuan masuknya Islam di Indonesia,makna bahwa studi Islam bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia dapat dibaca bahwa Islam masuk di Indonesia tidak diposisikan sebagai ‘sampingan’ saja.Itu sebagaimana sering ditulis dalam buku-buku sejarah yang mengatakan bahwa masuknya Islam di Indonesia dilakukan oleh para pedagang dari Guzarat.Artinya ada kesan bahwa sambil berdagang mereka juga mendakwahkan ajaran keislaman.
Selama ini pemahaman atas penyebaran Islam di Indonesia hanya dimaknai dalam dua stigma. Stigma pertama penyebaran Islam berarti masuknya Islam ke Indonesia.Sedangkan stigma kedua adalah proses penyebaran Islam ke Indonesia,khusunya di Jawa,selalu diasosiasikan dengan proses interaksi budaya dengan kultur yang ada di Jawa.Kedua pola pemaknaan ini sangat mengaburkan dan bahkan merugikan kajian studi Islam.Stigma awal memberi kesan historis-kronologis yang menghasilkan imij ‘usia’ Islam di Indonesia.Sedangkan stigma yang kedua hanya menghasilkan kesan ketidakmurnian Islam yang ada di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pemahaman internal mereka tidak lepas dari mainstreem yang mereka bawa dari daerah asalnya atau mainstreem dimana mereka berdakwah.Namun justru yang lebih penting untuk dikaji adalah pola-pola yang mereka dinamisasikan dari mainstreem yang ada tersebut.Dinamisasi jelas ada dalam pengembangan Islam di Indonesia.Salah satu fakta tersebut adalah proses akulturasi dan inkulturasi Islam dengan budaya Jawa yang memiliki basis keyakinan animisme,budhisme,dan hinduisme yang justru menjadi mainstreem utama.
Kelonggaran yang yang ditujukan oleh para penyebar agama Islam memang tidak semuanya berhasil.Karakteristik Keislman di daerah pinggiran pantai ternyata terdapat perbedaan siginifikan dengan karakteristik keislaman didaerah pedalaman.Akan tetapi keberbedaan diatas hendaknya dimaknai sebagai strategi dan hasil dari sebuah pertimbangan yang diusahakan secara matang.
Pendek kata, sebagai fenomena sosial dan budaya,Islam mempunyai keterkaitan erat dengan masyarakat dimana ia diturunkan.Maka salah satu kebijakan seseorang memahami Islam adalah terletak pada kesediaan memahami realitas masyarakat dimana Islam diturunkan. Disinilah pentingnya mempunyai pemahaman pluralitas sebagai suatu pemahaman tentang keanekaragaman didalam memahami ajaran Islam.
Dalam kehidupan masyarakat yang plural, sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat. Sehingga perbedaan akan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap anggota masyarakat. Selanjutnya, masyarakat itu sendiri yang menuntut kepada anggotanya untuk menjaga, menghargai adanya perbedaan itu. Karena tanpa perbedaan masyarakat itu akan berhenti bergerak dan mati.Apalagi hal itu berkaitan dengan pemahaman ajaran agama oleh masing-masing individu.

B.  Asal-usul Sekaten dan Pelaksanaannya
Ada dimensi kesejarahan oleh masyarakat bahwa Sekaten secara historis telah dikenal sejak zaman kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, makna dan perayaan Sekaten mengacu pada kata sekati; berasal dari kata suka-ati (satuan berat 680 kilogram), kemudian mengalami transformasi bentuk menjadi Sekaten yang merujuk pada kata dalam bahasa Arab Islam ”Syahadatain” yang mulai dilestarikan pada zaman Kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak. Perubahan makna dalam transformasi konotatifnya bila ditilik dan ditelusuri semenjak zaman Majapahit hingga Demak berkutat pada pemaknaan dan asal kata Sekaten–hal ini mengakibatkan perubahan bentuk substansial–pun juga menghasilkan perubahan signifikan seiring proses konversi (pemelukan) agama Islam–dari yang sebelumnya beragama (pemaknaan) Hindu menjadi beragama (pemaknaan) Islam.
Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad SAW. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Yogyakarta (dan juga di alun-alun Surakarta secara bersamaan). Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.
           Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.
            Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido'akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.
            Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16:00 sore. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.
C.  Studi Terhadap Kasus Sekaten
Pengkajian Islam di Jawa memiliki karakteristik yang unik. Semenjak perkembangannya, di bawah arahan Walisongo, Islam selalu diliputi oleh mitologi Jawa. Oleh karena itu langkah awal yang dilakukan dalam kajian keislaman dalam lingkup ini harus hati-hati mana yang sesungguhnya ingin dikaji, Apakah kajian Islam dalam Jawa sebagai wadahnya atau Jawa dalam Islam sebagai wadahnya.
Untuk itu, memahami Islam jawa yang paling penting dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa Pra-Islam secara independen dan mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas budayanya tersendiri. Kajian keislaman dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan menghasilkan Studi Islam yang tercabut dari akarnya.
Sekaten, yang saat ini sedang dirayakan oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta  merupakan sebuah rangkaian kegiatan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Pemerintah Kota Yogyakarta dan masyarakat. Berbagai bentuk acara dan kegiatan dilangsungkan dalam perayaan Sekaten – yang beraneka ragam variasi dan macamnya seiring perubahan waktu – mulai dari yang sifatnya ritual keagamaan hingga apresiasi seni tradisi lokal sampai pameran dan pasar malam. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.
Memandang Sekaten, oleh karena itu, jangan hanya dalam bingkai perspektif agama atau dalam kacamata budaya lokal dan budaya Jawa belaka. Cara pandang yang demikian akan mengakibatkan distorsi yang cenderung memunculkan perdebatan yang tak kunjung berhenti. Perdebatan tersebut akan bermuara pada masalah tafsir terhadap agama – dimensi normatif dan historis serta Islam sebagai das sein dan das sollen – serta berujung pada perpecahan dan perselisihan pendapat bila perbedaan tersebut tidak dibingkai dalam upaya untuk memperoleh dan memperkuat jalinan ”ukhuwah” Islamiyah, Wathoniyah, dan Basyariah.
Perayaan Sekaten dalam masyarakat Jawa – khususnya masyarakat Kota Yogyakarta dan sekitarnya – yang telah begitu mengakar kuat dan mentradisi tidak hanya di kalangan grass root (akar rumput) tapi juga masyarakat keseluruhan pada umumnya tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari ”sinergisasi” dan ”akulturasi” (perpaduan) kebudayaan, antara Islam (sebagai agama sekaligus ”budaya”) dengan budaya lokal setempat. Uraian berikut ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perselisihan dan wacana yang sifatnya distortif dalam memandang perayaan Sekaten.
Hubungan dan kolaborasi antara, Islam sebagai ”teks besar” atau ”grand narrative” dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam frame penundukkan– Islam menundukkan (atau) ditundukkan oleh budaya lokal – tetapi harus dipandang bahwa proses akulturasi tersebut malah semakin menunjukkan kekayaan atau keberagaman ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal. Islam tidak melulu dipandang dalam dimensi keuniversalitasannya–walaupun pada titik ini orang yang beragama Islam harus tetap berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paripurna dan universal–tetapi juga bahasa dan sikap akomodatif ”Islam” dalam menerima dan mengapresiasi budaya lokal. Di sisi lain, budaya lokal tidak pula melulu kita pandang sebagai bagian yang harus selalu mengalah kepada Islam, namun ia–budaya lokal–pasti mempunyai kacamata sendiri dalam membahasakan Islam menurut perspektifnya sendiri. Cara pandang yang seperti ini akan menghasilkan konstruksi pemahaman baru yang peranannya sangat signifikan dalam proses pembauran dan perpaduan antara dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan akulturasi budaya yang mengakar di masyarakat tanpa menghilangkan substansi dari dua unsur budaya yang bertemu.
PENUTUP 
A.  Kesimpulan

Pendekatan sosiologi dalam studi Islam adalah memahami Islam sebagai fenomena yang menyejarah dalam sosial dan budaya.Perlu dipahami disini,bahwa ragam dan corak keislaman sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam yang berbeda-beda tentang ajaran Islam berdasarkan setting sosial dan budaya yang melatarbelakangi sekaligus yang dihadapi oleh umat Islam itu sendiri.Dari sinilah kemudian muncul berbagai model pemahaman terhadap ajaran Islam.
Selama ini pemahaman atas penyebaran Islam di Indonesia dimaknai dalam dua stigma. Stigma pertama penyebaran Islam berarti masuknya Islam ke Indonesia.Sedangkan stigma kedua adalah proses penyebaran Islam ke Indonesia,khusunya di Jawa,selalu diasosiasikan dengan proses interaksi budaya dengan kultur yang ada di Jawa.
Pengkajian Islam di Jawa memiliki karakteristik yang unik.Semenjak perkembangannya, di bawah arahan Walisongo, Islam selalu diliputi oleh mitologi Jawa.Oleh karena itu,Untuk memahami Islam jawa yang paling penting dilakukan pertama kali adalah kajian atas Jawa Pra-Islam secara independen dan mendalam karena Jawa memiliki orisinilitas budayanya tersendiri. Kajian keislaman dijawa tanpa menguasai Jawa hanya akan menghasilkan Studi Islam yang tercabut dari akarnya.
DAFTAR PUSTAKA
1)                                            2005.Pengantar Studi Islam.Yogyakarta:Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
2)                                           .2006.Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin “Esensia” ISSN:1411-3775, Vol.7,No.1.Yogyakarta: