Minggu, 22 Juli 2012

Teori Eksistensi Hukum Islam Di Indonesia


Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal dan relevan pada setiap zaman dan perbedaan tempat. Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamiy atau dalam konteks tertentu disebut dengan as-syariah al-Islamiy. Istilah ini dalam literatur barat dikenal dengan idiom Islamic law.
Bangsa indonesia merupakan mayoritas penduduknya beragama Islam. Agama ini dikenalkan oleh para pedagang dari daerah Gujarat dengan jalan damai, sehingga dalam perkembangannya agama Islam mudah diterima sebagai agama baru oleh penduduk nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya hukum yang berlaku dalam masyarakat nusantara mulai bergeser kepada hukum Islam dengan berbagai keunggulannya.
Dalam perkembangannya hukum Islam memiliki pengaruh terhadap tata hukum nasional pada masa kependudukan Belanda di Indonesia, serta lebih berpengaruh lagi setelah kemerdekaan negara Indonesia. Banyak pendapat tentang bagaimana hukum Islam berpengaruh terhadap tata hukum nasional, apapun pendapatnya itu telah membuktikan bahwa hukum Islam merupakan bagian yang penting dalam tata hukum nasional.
A.  Sejarah Singkat Masuknya Hukum Islam di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam. Ditilik dari latar belakang sejarah, hukum Islam di Indonesia mengalami beberapa periode. Pertama kedatangan Islam di Indonesia, kedua zaman kerajaan-kerajaan Islam, ketiga hukum Islam pada zaman kolonial Belanda dan Jepang, keempat perkembangan hukum Islam di zaman kemerdekaan.
Hingga saat ini mengenai kapan Islam datang ke Indonesia masih terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para ahli sejarah. Merupakan hal yang wajar mengingat Indonesia adalah negara kepulauan (Archiphelago State), yang mana Islam datang secara bertahap. Suatu wilayah mungkin sudah kedatangan para penyebar Islam, sementara wilayah lain belum tersentuh dakwah Islam. Pakar sejarah memiliki pendapat dan argumen masing-masing mengenai kedatangan Islam di nusantara. Ada yang berpendapat bahwa kedatangan Islam di Indonesia pada abad ke-7 masehi. Hal ini didasarkan pada bukti adanya pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara. Pendapat yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 masehi. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat muslim di daerah Samudra Pasai, Perlak, dan Palembang. Sementara itu di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di Leran, Gresik yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya yang berasal dari Abad ke-13. Hal tersebut merupakan bukti nyata berkembangnya komunitas Islam pada saat itu. Sementara itu, Kennet W. Morgan menerangkan bahwa berita yang dapat dipercaya tentang permulaan Islam di Indonesia adalah berita dari Marco Polo. Dalam prjalanannya kembali ke Venesia pada tahun 1292 M, Marco Polo singgah di Perlak, sebuah kota di Pantai Utara Sumatra. Menurutnya penduduk Perlak kala itu diIslamkan oleh para pedagang yang dia sebut dengan Saracen. Di sebuah utara Perlak terdapat kota yang bernama Samara, dan tak jauh dari Samara terdapat tempat yang oleh Marco Polo disebut dengan Basma. Dalam perkembngannya kota tersebut dikenal dengan nama Samudera dan Pasai.
            Ketika Ibnu Batutah singgah di Samudra Pasai pada tahun 1345 M, ia melihat perkembangan Islam di negeri tersebut. Ia mengagumi Sultan Al-Malik Al-zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut pengembara Arab Muslim Maroko itu, selain sebagai seorang raja di Kerajaan Samudra Pasai, Sultan Al-Malik Al-Zahir juga seorang yang paham tentang hukum-hukum Islam (Ulama). Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peranan penting dalam proses Islamisasi Malaka maupun pulau Jawa. Bahkan Sultan Al-Malik Al-Zahir menurut ibnu Batutah adalah pecinta theologi dan ia senantiasa memerangi orang kafir dalam upaya  mengajak mereka memeluk agama Islam.
            Terkait dengan hukum Islam, beberapa ahli menyebutkan bahwa hukum Islam yang berkembang di Indonesia bercorak Syafi’iyah. Hal tersebut dilihat dari bukti-bukti sejarah diantaranya, Sultan Al-Malik Al-Zahir dari Samudra Pasai merupakan ahli agama dan hukum Islam yang terkenal pada pertengahan abad ke-14 Masehi. Melalui kerajaan inilah hukum Islam madzhab Syafi’i tersebar ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya di nusantara, seperti kerajaan Malaka yang sering datang ke Samudra Pasai untuk mencari penyelesaian atas persoalan-persoalan hukum yang muncul di Malaka.
            Berikutnya tokoh Islam pada abad ke-17 M adalah Nuruddin Ar-Raniri (w.1068 H) yang memiliki karya berupa kitab-kitab fiqih seperti kitab Sirath Al-mustaqim, Jawahirul Al-’ulum Fi Kasf Al-Ma’lum, serta Kaifiyah Ash-Shalah. Tokoh yang semasa dengan Ar-Raniri adalah Abdur Rauf As-Sinkili (1042-1105 H), beliau termasuk mujtahid nusantara yang memiliki karya fiqih yang cukup baik, yakni Mir’ah At-Thullab Fi Tasyyi’ Ma’rifah Al-Ahkam As-Syar’iyyah Li Al-Malik Al-Wahab, karya yang ditulis atas permintaan sultan Aceh ini diselesaikan pada tahun 1633 M.
            Pada abad ke-18 M terdapat ulama Fiqih Syaikh Arsyad Al-Banjari (1710-1812) yang menulis kitab fiqih berjudul Sabil Al-Muhtadin Li Tafaqquh Fi Amr Ad-Din (merupakan syarah kitab Shirath Al-Mustaqim yang bercorak Syafi’iyyah) yang dijadikan rujukan dan pedoman penyelesaian sengketa di kesultanan Banjar.
            Dari paparan diatas nampak bahwa hampir dalam setiap masa, kajian-kajian hukum Islam senantiasa diwarnai oleh ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i. Bukti yang lain adanya fakta yang menunjukkan bahwa kebanyakan kitab-kitab dikaji dan dipelajari dalam madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren di Indonesia sampai saat ini adalah kitab-kitab yang bermadzhab Syafi’i. Oleh karena itulah corak Syafi’iyyah yang kemudian tampak pada praktik kegamaan umat Islam Indonesia.
            Dapat dikatakan bahwa pada masa dahulu hukum Islam telah dipraktekkan oleh masyarakat dan menjadi sistem hukum mandiri yang digunakan kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Oleh karenanya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada masa itu hukum Islam telah menjadi hukum positif di Indonesia.
Pada perkembangannya, pada akhir abad ke-16 atau tepatnya tahun 1596 organisasi perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat. Pada mulanya kedatangan Belanda (yang beragama Kristen Protestan) ke Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah (hukum) agama, namun pada perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajahan. pada akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi. Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya.
            Maksud kedatangan Belanda di Indonesia semula untuk berdagang, namun kemudian halauannya berubah untuk menguasai kepulauan indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda memberi kekuasaan kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja di Nusantara. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi, pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Untuk memantapkan pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk daerah-daerah yang dikuasainya. VOC membentuk badan-badan peradilan untuk bangsa Indonesiakala itu .Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam statuta Jakarta tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai kewarisan warga Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat  dilihat ke dalam dua bentuk. Pertama adanya toleransi pihak belanda melalui VOC yang memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua adanya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat.
Organisasi VOC karena mengalami kebangkrutan, pada tanggal 31 Desember 1799 dibubarkan. Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat kemudian, sikap Belanda berubah-ubah terhadap hukum Islam. Setidaknya perubahan sikap Belanda itu dapat dilihat dari tiga sisi:
1.    Menguasai Indonesia sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya.
2.    Menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Islam dengan proyek Kristenisasi.
3.    Keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
            Menurut H.J Benda, pada akhir abad ke-19 banyak orang Belanda berharap untuk dapat menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar warga Indonesia dengan berbagai cara, dan diantaranya melalui proses Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama Kristen terhadap agama Islam, dan sebagian lagi berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama Islam di pedesaan Jawa akan sangat berpengaruh terhadap lancarnya proses kristenisasi di Indonesia, jika dibandingkan dengan mereka yang berada di negara-negara muslim lainnya. Banyak orang Belanda yang berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk indonesia akan menguntungkan negeri Belanda, karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya hubungan agama mereka dengan agama pemerintahnya, setelah mereka masuk Kristen akan menjadi warga negara yang loyal lahir dan batin. Pendapat ini didukung oleh teori yang berlaku pada waktu itu yang menyatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dipeluk seseorang. Kalau ia beragama Kristen, maka hukum Kristenlah yang berlaku baginnya, dan seterusnya.
B.  Teori-teori Terkait Keberadaan Hukum Islam di Indonesia
Terkait mengenai keberlakuan hukum Islam dikalangan masyarakat Indonesia muncul berbagai teori, dimana yang satu dengan yang lain memiliki karakteristik tersendiri. Adapun mengenai hal ini terdapat beberapa macam teori, diantaranya teori Kredo atau Syahadat, teori Receptio in Complexu, teori Receptie, teori Receptie Exit, teori Receptie a Contario, dan teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario).
1.    Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau syahadat di sini adalah teori yang menyatakan bahwasanya pelaksanaan hukum Islam harus dijalankan bagi mereka yang telah mengikrarkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat. Teori ini diambil dari Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Fatihah : 5, Al-Baqarah : 179, Ali Imran : 7, An-Nisa : 13, 14, 49, 59, 63, 69, dan lain-lain. Teori ini sama dengan teori otoritas hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb dalam bukunya, The Modern Trend of Islam (1950). Menurut teori ini, orang Islam menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Secara sosiologis, orang-prang yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum Islam, taat pada hukum Islam. Teori ini menggambarkan bahwa dalam masyarakat Islam terdapat hukum Islam. Hukum Islam ada dalam masyarakat Islam karena mereka menaati hukum Islam sebagai bentuk ketaatan ter/hadap perintah Allah dan Rasulullah.
Menurut analisis Jaih Mubarok, teori ini bersifat idealis karena tidak dibangun lebih banyak berdasarkan doktrin Islam dan cenderung mengabaikan pengujian empirik di lapangan. Meskipun Gibb sendiri mengakui bahwa tingkat ketaatan umat Islam terhadap hukum Islam mesti berbeda-beda, karena tergantung pada kualitas takwanya kepada Allah, sehingga ada yang taat terhadap seluruh aspek hukum Islam dan adapula yang taat hanya pada sebagian aspek hukum Islam.
Senada dengan teori Gibb di atas, imam madzhab seperti imam Asy-Syafi’i telah mengungkapkan teori non teritorialitas dan Abu Hanifah dengan teori teritorialitas ketika mereka menjelaskan teori hukum internasional (fiqh siyasah dauliyyah). Teori teritorialitas dari Abu Hanifah menyatakan bahwa seorang muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada dalam wilayah yang memberlakukan hukum Islam. Sementara teori non-teritorialitas dari Asy-Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya terikat untuk melaksanakan hukum Islam di manapun ia berada, baik pada wilayah yang diberlakukan hukum Islam maupun pada wilayah yang tidak diberlakukan hukum Islam.
Pemahaman  tersebut tentu saja relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang sebagian besar bermadzhab Syafi’i. Oleh karena itu teori ini pada dasarnya telah mengakar pada setiap individu muslim , di samping diperkuat oleh madzhab Syafi’i dan Hanafi.
2.    Teori Receptio in Complexu
Menurut teori Receptio in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-masing atau dengan kata lain mengikuti agama yang dianut seseorang. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam, demikian juga berlakunya hukum agama lain bagi pemeluknya. Pioneer pemikiran ini adalah para sarjana Belanda seperti Carel Frederik Winter seorang ahli tertua tentang hal-hal Jawa, juga Salomon Keyzer (1823-1868) seorang ahli bahasa dan Ilmu kebudayaan Hindia Belanda. Teori ini kemudian dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927) seorang ahli hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa Timur dan hukum Islam.
Melalui ahli hukumnya Van Den Berg teori Receptio in Complexu yang menyatakan bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluknya. Sehingga berdasarkan pada teori ini, maka pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam.
Daerah jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan Ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnhya ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisisannya berkuasa penuh menyelesaikan perkara pidana maupun perdata yang terjadi.
Teori Receptio in Complexu tersebut bisa dilihat dari bukti-bukti yang sebagian akan disebutkan berikut ini:
a.    Statu Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa “Sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.
b.    Pada tahun 1760, VOC mengeluarkan peraturan senada yang disebut dengan Resolutie der Indische Regeering.
c.    Dikeluarkannya Stbl.No.22 pasal 13 pada tahun 1820 yang menentukan bahwa Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan sejenisnya.
d.   Van den Berg mengonsepkan  staatsblad 1882 Nomor 152 yang berisi ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya yang berlaku pada lingkungan hidupnya.
e.    Melalui Stbl.No.152 1882 dibentuklah Pengadilan agama dengan nama Priesterraad, yang wewenangnya adalah menyelesaikan perkara-perkara antara umat Islam menurut hukum Islam.
f.     Dalam pasal 75 RR (regeeringsreglement) Tahun 1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi : “Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu”. Pada masa inilah muncul kebijakan adanya Pengadilan Agama disamping Pengadilan Negeri yang sebelumnya didahului dengan penyusunan kitab yang berisi tentang himpunan hukum Islam.
Dalam konteks Indonesia, teori ini dibangan berdasarkan atas amaliyah umat Islam yang begitu terikat dengan hukum Islam di bidang ibadah dan al-ahwal asy-syakhsiyah. Adapun bidang mu’amalah, jinayah, dan siyasah, masih banyak terabaikan.
3.    Teori Receptie
Kemudian teori receptio in complexu ditentang oleh Cornelis Van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori tersebut seperti hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan, karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum adat. Jadi yang berlaku bagi kelompok atau umat Islam adalah hukum adat.
            Teori ini dikemukakan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan Christian Snouck Hurgronje (1857-1936). Cornelis Van Vollenhoven adalah seorang ahli hukum adat Indonesia, yang diberi gelar sebagai pendasar dan pencipta, pembuat sistem ilmu hukum adat. Sedangkan Christian Snouck Hurgronje adalah seorang doktor sastra Semit dan ahli dalam bidang hukum Islam.
            Penerapan Teori Receptie dimuat dalam pasal 134 IS (Indische Staatregeling), yang berbunyi sebagai berikut: ”Bagi orang-orang pribumi, kalau hukum mereka menghendaki, diberlakukan hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum adat”. Pasal ini sering disebut dengan pasal receptie.

            Pemikiran Christian Snouck Hurgronje inilah yang berpengaruh terhadap adanya pemisahan antara agama dan politik. Dimana paham liberal ini muncul karena dia berpendapat bahwa Islam adalah sebuah ancaman, maka perlu untuk dikekang dan dibawah pengawasan yang ketat. Hal tersebut berakibat kepada pencabutan hak Pengadilan Agama untuk menangani penyelesaian hukum waris pada tahun 1937 dengan stbl 1937 no. 116, dengan alasan bahwa hukum adat belum sepenuhnya menerima apa yang ada dalam hukum Islam tentang pembagian hak waris.
Upaya real yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam menghambat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dapat dilihat dari beberapa bukti sebagai berikut:
a.    Sama sekali tidak memasukkan hudud dan qishas  dalam bidang hukum pidana. Hukum pidana diberlakukan dan diambil langsul dari  Wetboek van Strafrect dari Nederland yang diberlakukan sejak januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
b.    Dalam bidang tata negara, ajaran Islam mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali. Pengkajian terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memberikan pelajaran agama dan penguraian hadits dalam bidang politik tentang kenegaraan atau ketatanegaraan dilarang.
c.    Mempersempit berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Khusus untuk kewarisan Islam diusahakan untuk tidak berlaku. Sehubungan dengan hal itu, diambil langkah-langkah; 1). Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili waris, 2). Memberi wewenang memeriksa perkara waris kepada landraad, 3). Melarang penyelesaian dengan hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahuai isi Hukum Adat.
Teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa kalau orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan eropa, penjajahan atas Indonesia dapat berjalan dengan baik dan tidak mendapati hambatan dan goncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan Hukum Adat, memberikan dorongan kepada mereka untuk mendekatkan golongan Hukum Adat kepada pemerintah Belanda.
4.    Teori Receptie Exit
Salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum Belanda. Teori ini dikemukakan oleh Hazairin. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus keluar (exit) karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Semangat para pemimpin Islam menentang pendapat Christian Snouck Hurgronje dengan menyandarkan pemberlakuan hukum Islam pada hukum adat terus bergulir terutama pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan negara Indonesia. Upaya ini nampak dengan lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal 22 Juni 1945.
            Piagam Jakarta merupakan Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar (konstitusi) negara Republik Indonesia yang disusun oleh 9 orang tokoh bangsa Indonesia, sedangkan 8 orang dari mereka adalah Muslim. Adanya Piagam Jakarta adalah sebuah perjuangan para tokoh Islam saat itu yang selalu memperjuangkan berlakunya hukum Islam bagi orang Islam. Menurut Muhammad Yamin, piagam itu merupakan dokumen politik yang terbukti mempunyai daya penarik dapat mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekad bulat atas persatuan nasional menyongsong datangnya negara Indonesia yang merdeka berdaulat.
Menurut teori receptie exit, pemberlakuan hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan dengan hukum adat. Hal ini semakin dipertegas dengan diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan juga Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pokok-pokok pikiran Hazairin terkait dengan hal tersebut adalah:
a.    Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya negara Indonesia dan mulai berlakunya UUD 1945.
b.    Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka negara republik Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama.
c.    Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan hanya hukum Islam, melainkan juga hukum agama lain. Hukum agama dibidang hukum perdata maupun hukum pidana diserap menjadi hukum nasional Indonesia dengan berdasarkan Pancasila.
Teori receptie exit yang dikemukakan Hazairin dikembangkan oleh muridnya, Sayuthi Thalib yang menulis buku Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Menurut teori ini, bagi umat Islam, yang berlaku adalah hukum Islam. Hukum adat baru dinyatakan berlaku bila tidak bertentangan dengan agama Islam atau hukum Islam. Pendapat ini kemudian disebut dengan teori receptio a contario.
5.    Teori Receptie a Contario
Penjabaran dari teori receptie a contrario sebagaimana telah dijelaskan seecara singkat di atas, dalam pandangan Afdol mengutip Sayuthi Thalib, adalah sebagai berikut:
a.    Bagi oarang Islam berlaku hukum Islam.
b.    Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya.
c.    Hukum adat berlaku bagi orang Islam selama tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Kerangka pikir teori tersebut merupakan kebalikan dari teori receptie. Perbedaan teori receptie exit dengan teori receptie a contrario terletak pada pangkal tolak pemikirannya. Teori receptie exit buatan Hazairin bertolak dari kenyataan bahwa sejak kemerdekaan bangsa, berdirinya RI, dasar negara Pancasila, UUD 45 dalam Pembukaan  dan pemahaman terhadap pasal II Aturan Peralihan ialah dengan mendahulukan dasar dan jiwa kemerdekaan dan tidak menerima pemahaman aturan peralihan secara formal belaka. Adapun landasan teori receptie a contrario bertolak pada kenyataan bahwa negara Indonesia yang merdeka, sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral, dan kesadaran hukum kemerdekaan, berarti ada keluasan untuk mengamalkan ajaran agama dan hukum agama.
6.    Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretario)
Teori ini dicetuskan oleh Dr. Afdol, seorang pakar Hukum dari Universitas Airlangga, Surabaya. Menurutnya, teori ini diperlukan untuk melanjutkan teori-teori sebelumnya. Inti teori recoin adalah penafsiran kontekstual terhadap tekstual ayat Al-Qur’an. Menurut Afdol, teori ini didasarkan pada hasil penelitiannya tentang waris Islam, misalnya pembagian waris antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat dua kali bagian dari perempuan. Dengan kata lain, bagian perempuan setengah dari bagian laki-laki.
Dengan dasar pemikiran bahwa hukum yang diciptakan Allah bagi manusia pasti adil, tidak mungkin Allah menurunkan aturan hukum yang memihak pada salah satu golongan, demikian juga persoalan warisan laki-laki dan perempuan. Dengan menggunakan interpretasi secara tekstual ayat tersebut secara rasional dapat dinilai tidak adil. Berbeda halnya jika ayat tersebut di tafsirkan secara kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu, ayat tersebut dapat diberi interpretasi bahwa bagian warisan perempuan minimal setengah bagian laki-laki. Interpretasi kontekstual terhadap ayat hukum islam dinamakan oleh Afdol dengan teori recoin.
Teori ini pada dasarnya berbeda istilah meskipun substansinya sama dengan para pemikir, seperti Hasbi Ash-Shiddiqi dengan fiqh ala Indonesia, pribumisasi ala Gusdur, Reaktualisasi Munawir Sadjali, atau Hermenetik Fazlur Rahman.


PENUTUP
Hukum di Indonesia mengalami beberapa periode berdasarkan latar belakang sejarahnya, pertama kedatangan islam di Indonesia, kedua zaman kerajaan-kerajaan islam, ketiga hukum islam pada zaman kolonial belanda dan jepang, keempat perkembangan hukum islam di zaman kemerdekaan.
Teori-teori keberadaan islam di Indonesia,
1.      Teori Kredo/Syahadat
2.      Teori Receptio in Complexu
3.      Teori Receptie
4.      Teori Receptie Exit
5.      Teori Receptie a Contario
6.      Teori Recoin (Receptio Contexual Interpretario)
Setelah melewati berbagi proses pertumbuhan, mulai dari awal kedatangan islam sampai sekarang ini hukum islam menjadi faktor penting dalam menentukan setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan negara, sehingga kontribusi hukum islam dalam pembangunan hukum nasional merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.
Pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional, dengan penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, perlu ditegaskan disini bahwa penyusunan program legislasi nasional, termasuk upaya pergantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan upaya cerdas dalam proses perwujudan hukum nasional yang dijiwai oleh nilai-nilai nasional dan keagamaan bangsa Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

1)      Ghofur Anshori, Abdul, Prof., Dr.,S.H., M.H., Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta.
2)      Supriadi, Dedi, M.Ag., SEJARAH HUKUM ISLAM, Pustaka Setia, Bandung, 2007.
3)      Al-Munawar, Said Agil Husin, Prof., Dr., MA. HUKUM ISLAM & Pluralitas Sosial, cet 1, PENAMADANI, Jakarta, 2004.
4)      Barakatullah, Abdul Halim, S.Ag., SH., MH., CD, Prasetyo, Teguh, Dr., SH., M.Si., HUKUM ISLAM, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
5)      Djamili, R. Abdoel, PENGANTAR HUKUM INDONESIA, RajaGrafindo, Jakarta, 2009.
6)      M Yusuf, Drs.,  M.S.i, Eka Putra, Okrizal, Lc., M.A., Amalia, Fatma, S.Ag., M.Si., Fiqh dan Ushul Fiqh, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005.
http://himmah679.blogspot.com/2010/01/teori-teori-eksistensi-hukum-islam.html