Hukum
Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash
Al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara
universal dan relevan pada setiap zaman dan perbedaan tempat. Istilah hukum Islam
merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan dari al-fiqh al-Islamiy atau dalam konteks tertentu disebut dengan as-syariah al-Islamiy. Istilah ini dalam
literatur barat dikenal dengan idiom Islamic
law.
Bangsa
indonesia merupakan mayoritas penduduknya beragama Islam. Agama ini dikenalkan
oleh para pedagang dari daerah Gujarat dengan jalan damai, sehingga dalam
perkembangannya agama Islam mudah diterima sebagai agama baru oleh penduduk
nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya hukum yang berlaku dalam masyarakat
nusantara mulai bergeser kepada hukum Islam dengan berbagai keunggulannya.
Dalam
perkembangannya hukum Islam memiliki pengaruh terhadap tata hukum nasional pada
masa kependudukan Belanda di Indonesia, serta lebih berpengaruh lagi setelah
kemerdekaan negara Indonesia. Banyak pendapat tentang bagaimana hukum Islam
berpengaruh terhadap tata hukum nasional, apapun pendapatnya itu telah
membuktikan bahwa hukum Islam merupakan bagian yang penting dalam tata hukum
nasional.
A. Sejarah
Singkat Masuknya Hukum Islam di Indonesia
Indonesia
adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri
sebagai negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam. Ditilik dari
latar belakang sejarah, hukum Islam di Indonesia mengalami beberapa periode. Pertama kedatangan Islam di Indonesia, kedua zaman kerajaan-kerajaan Islam, ketiga hukum Islam pada
zaman kolonial Belanda dan Jepang, keempat perkembangan hukum Islam di
zaman kemerdekaan.
Hingga saat ini mengenai kapan Islam datang ke
Indonesia masih terdapat beberapa perbedaan pendapat dari para ahli sejarah.
Merupakan hal yang wajar mengingat Indonesia adalah negara kepulauan (Archiphelago
State), yang mana Islam datang secara bertahap. Suatu wilayah mungkin sudah
kedatangan para penyebar Islam, sementara wilayah lain belum tersentuh dakwah Islam.
Pakar sejarah memiliki pendapat dan argumen masing-masing mengenai kedatangan Islam
di nusantara. Ada yang berpendapat bahwa kedatangan Islam di Indonesia pada abad
ke-7 masehi. Hal ini didasarkan pada bukti adanya pedagang-pedagang muslim yang
berasal dari Arab, Persia, dan India yang sudah sampai ke kepulauan nusantara.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 masehi.
Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat muslim di daerah Samudra Pasai, Perlak,
dan Palembang. Sementara itu di Jawa terdapat makam Fatimah Binti Maimun di
Leran, Gresik yang berangka tahun 475 H atau 1082 M, dan makam-makam di Tralaya
yang berasal dari Abad ke-13. Hal tersebut merupakan bukti nyata berkembangnya
komunitas Islam pada saat itu. Sementara itu, Kennet W. Morgan menerangkan
bahwa berita yang dapat dipercaya tentang permulaan Islam di Indonesia adalah
berita dari Marco Polo. Dalam prjalanannya kembali ke Venesia pada tahun 1292
M, Marco Polo singgah di Perlak, sebuah kota di Pantai Utara Sumatra.
Menurutnya penduduk Perlak kala itu diIslamkan oleh para pedagang yang dia
sebut dengan Saracen. Di sebuah utara
Perlak terdapat kota yang bernama Samara, dan tak jauh dari Samara terdapat
tempat yang oleh Marco Polo disebut dengan Basma. Dalam perkembngannya kota
tersebut dikenal dengan nama Samudera dan Pasai.
Ketika
Ibnu Batutah singgah di Samudra Pasai pada tahun 1345 M, ia melihat
perkembangan Islam di negeri tersebut. Ia mengagumi Sultan Al-Malik Al-zahir
dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan ilmu fiqih. Menurut
pengembara Arab Muslim Maroko itu, selain sebagai seorang raja di Kerajaan
Samudra Pasai, Sultan Al-Malik Al-Zahir juga seorang yang paham tentang
hukum-hukum Islam (Ulama). Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peranan penting
dalam proses Islamisasi Malaka maupun pulau Jawa. Bahkan Sultan Al-Malik
Al-Zahir menurut ibnu Batutah adalah pecinta theologi dan ia senantiasa
memerangi orang kafir dalam upaya mengajak
mereka memeluk agama Islam.
Terkait
dengan hukum Islam, beberapa ahli menyebutkan bahwa hukum Islam yang berkembang
di Indonesia bercorak Syafi’iyah. Hal tersebut dilihat dari bukti-bukti sejarah
diantaranya, Sultan Al-Malik Al-Zahir dari Samudra Pasai merupakan ahli agama
dan hukum Islam yang terkenal pada pertengahan abad ke-14 Masehi. Melalui
kerajaan inilah hukum Islam madzhab Syafi’i tersebar ke kerajaan-kerajaan Islam
lainnya di nusantara, seperti kerajaan Malaka yang sering datang ke Samudra
Pasai untuk mencari penyelesaian atas persoalan-persoalan hukum yang muncul di
Malaka.
Berikutnya
tokoh Islam pada abad ke-17 M adalah Nuruddin Ar-Raniri (w.1068 H) yang memiliki
karya berupa kitab-kitab fiqih seperti kitab Sirath Al-mustaqim, Jawahirul
Al-’ulum Fi Kasf Al-Ma’lum, serta Kaifiyah Ash-Shalah. Tokoh yang
semasa dengan Ar-Raniri adalah Abdur Rauf As-Sinkili (1042-1105 H), beliau
termasuk mujtahid nusantara yang memiliki karya fiqih yang cukup baik, yakni
Mir’ah At-Thullab Fi Tasyyi’ Ma’rifah Al-Ahkam As-Syar’iyyah Li Al-Malik
Al-Wahab, karya yang ditulis atas permintaan sultan Aceh ini diselesaikan
pada tahun 1633 M.
Pada
abad ke-18 M terdapat ulama Fiqih Syaikh Arsyad Al-Banjari (1710-1812) yang
menulis kitab fiqih berjudul Sabil Al-Muhtadin Li Tafaqquh Fi Amr Ad-Din
(merupakan syarah kitab Shirath Al-Mustaqim yang bercorak Syafi’iyyah)
yang dijadikan rujukan dan pedoman penyelesaian sengketa di kesultanan Banjar.
Dari
paparan diatas nampak bahwa hampir dalam setiap masa, kajian-kajian hukum Islam
senantiasa diwarnai oleh ulama-ulama yang bermadzhab Syafi’i. Bukti yang lain
adanya fakta yang menunjukkan bahwa kebanyakan kitab-kitab dikaji dan
dipelajari dalam madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren di Indonesia sampai
saat ini adalah kitab-kitab yang bermadzhab Syafi’i. Oleh karena itulah corak
Syafi’iyyah yang kemudian tampak pada praktik kegamaan umat Islam Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa pada masa dahulu
hukum Islam telah dipraktekkan oleh masyarakat dan menjadi sistem hukum mandiri
yang digunakan kerajaan-kerajaan Islam nusantara. Oleh karenanya tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa pada masa itu hukum Islam telah menjadi hukum
positif di Indonesia.
Pada
perkembangannya, pada akhir abad ke-16 atau tepatnya tahun 1596 organisasi
perusahaan dagang Belanda (VOC) merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa
Barat. Pada mulanya kedatangan Belanda (yang beragama Kristen Protestan) ke
Hindia Belanda tidak ada kaitannya dengan masalah (hukum) agama, namun pada
perkembangan selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan penjajahan. pada
akhirnya mereka tidak bisa menghindari terjadinya persentuhan dengan masalah
hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi. Sehubungan dengan berlakunya hukum
adat bagi bangsa Indonesia dan hukum agama bagi masing-masing pemeluknya.
Maksud kedatangan Belanda di
Indonesia semula untuk berdagang, namun kemudian halauannya berubah untuk
menguasai kepulauan indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda
memberi kekuasaan kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk
mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja di
Nusantara. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi, pertama
sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Untuk memantapkan
pelaksanaan kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk
daerah-daerah yang dikuasainya. VOC membentuk badan-badan peradilan untuk
bangsa Indonesiakala itu .Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang
disandarkan pada hukum Belanda itu tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC
membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat berjalan terus
seperti keadaan sebelumnya. VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup
dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam statuta
Jakarta tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai kewarisan warga Indonesia yang
beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh
rakyat sehari-hari.
Perkembangan
hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat ke dalam dua bentuk. Pertama
adanya toleransi pihak belanda melalui VOC yang memberikan ruang yang cukup
luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua adanya intervensi Belanda
terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya pada hukum adat.
Organisasi
VOC karena mengalami kebangkrutan, pada tanggal 31 Desember 1799 dibubarkan.
Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang
terlihat kemudian, sikap Belanda berubah-ubah terhadap hukum Islam. Setidaknya
perubahan sikap Belanda itu dapat dilihat dari tiga sisi:
1.
Menguasai
Indonesia sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya.
2.
Menghilangkan
pengaruh Islam dari sebagian besar orang Islam dengan proyek Kristenisasi.
3.
Keinginan
Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar
terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah kehidupan
hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
Menurut H.J Benda, pada akhir abad
ke-19 banyak orang Belanda berharap untuk dapat menghilangkan pengaruh Islam
dari sebagian besar warga Indonesia dengan berbagai cara, dan diantaranya
melalui proses Kristenisasi. Harapan itu didasarkan pada anggapan tentang
superioritas agama Kristen terhadap agama Islam, dan sebagian lagi berdasarkan
kepercayaan bahwa sifat sinkretik agama Islam di pedesaan Jawa akan sangat
berpengaruh terhadap lancarnya proses kristenisasi di Indonesia, jika
dibandingkan dengan mereka yang berada di negara-negara muslim lainnya. Banyak
orang Belanda yang berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk indonesia akan
menguntungkan negeri Belanda, karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya
hubungan agama mereka dengan agama pemerintahnya, setelah mereka masuk Kristen
akan menjadi warga negara yang loyal lahir dan batin. Pendapat ini didukung
oleh teori yang berlaku pada waktu itu yang menyatakan bahwa hukum mengikuti
agama yang dipeluk seseorang. Kalau ia beragama Kristen, maka hukum Kristenlah
yang berlaku baginnya, dan seterusnya.
B. Teori-teori
Terkait Keberadaan Hukum Islam di Indonesia
Terkait
mengenai keberlakuan hukum Islam dikalangan masyarakat Indonesia muncul
berbagai teori, dimana yang satu dengan yang lain memiliki karakteristik
tersendiri. Adapun mengenai hal ini terdapat beberapa macam teori, diantaranya
teori Kredo atau Syahadat, teori Receptio in Complexu, teori Receptie,
teori Receptie Exit, teori Receptie a Contario, dan teori
Recoin (Receptio Contextual Interpretario).
1.
Teori
Kredo atau Syahadat
Teori
kredo atau syahadat di sini adalah teori yang menyatakan bahwasanya pelaksanaan
hukum Islam harus dijalankan bagi mereka yang telah mengikrarkan dua kalimah
syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan syahadat. Teori ini diambil
dari Al-Qur’an, diantaranya pada surat Al-Fatihah : 5, Al-Baqarah : 179, Ali
Imran : 7, An-Nisa : 13, 14, 49, 59, 63, 69, dan lain-lain. Teori ini sama
dengan teori otoritas hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh H.A.R Gibb dalam
bukunya, The Modern Trend of Islam (1950).
Menurut teori ini, orang Islam menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya.
Secara sosiologis, orang-prang yang sudah beragama Islam menerima otoritas
hukum Islam, taat pada hukum Islam. Teori ini menggambarkan bahwa dalam
masyarakat Islam terdapat hukum Islam. Hukum Islam ada dalam masyarakat Islam
karena mereka menaati hukum Islam sebagai bentuk ketaatan ter/hadap perintah
Allah dan Rasulullah.
Menurut
analisis Jaih Mubarok, teori ini bersifat idealis karena tidak dibangun lebih
banyak berdasarkan doktrin Islam dan cenderung mengabaikan pengujian empirik di
lapangan. Meskipun Gibb sendiri mengakui bahwa tingkat ketaatan umat Islam
terhadap hukum Islam mesti berbeda-beda, karena tergantung pada kualitas
takwanya kepada Allah, sehingga ada yang taat terhadap seluruh aspek hukum Islam
dan adapula yang taat hanya pada sebagian aspek hukum Islam.
Senada
dengan teori Gibb di atas, imam madzhab seperti imam Asy-Syafi’i telah
mengungkapkan teori non teritorialitas dan
Abu Hanifah dengan teori teritorialitas ketika
mereka menjelaskan teori hukum internasional (fiqh siyasah dauliyyah). Teori teritorialitas dari Abu Hanifah menyatakan
bahwa seorang muslim terikat untuk melaksanakan hukum Islam sepanjang ia berada
dalam wilayah yang memberlakukan hukum Islam. Sementara teori
non-teritorialitas dari Asy-Syafi’i menyatakan bahwa seorang muslim selamanya
terikat untuk melaksanakan hukum Islam di manapun ia berada, baik pada wilayah
yang diberlakukan hukum Islam maupun pada wilayah yang tidak diberlakukan hukum
Islam.
Pemahaman tersebut tentu saja relevan dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang sebagian besar bermadzhab Syafi’i. Oleh karena itu
teori ini pada dasarnya telah mengakar pada setiap individu muslim , di samping
diperkuat oleh madzhab Syafi’i dan Hanafi.
2.
Teori
Receptio in Complexu
Menurut
teori Receptio in Complexu bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya
masing-masing atau dengan kata lain mengikuti agama yang dianut seseorang. Bagi
orang Islam berlaku hukum Islam, demikian juga berlakunya hukum agama lain bagi
pemeluknya. Pioneer pemikiran ini adalah para sarjana Belanda seperti Carel
Frederik Winter seorang ahli tertua tentang hal-hal Jawa, juga Salomon Keyzer
(1823-1868) seorang ahli bahasa dan Ilmu kebudayaan Hindia Belanda. Teori ini
kemudian dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845-1927) seorang
ahli hukum Islam, politikus, penasehat pemerintah Hindia Belanda untuk bahasa
Timur dan hukum Islam.
Melalui
ahli hukumnya Van Den Berg teori Receptio in Complexu yang menyatakan
bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluknya. Sehingga
berdasarkan pada teori ini, maka pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1882
mendirikan peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk
agama Islam.
Daerah
jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan Ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan
administrasi pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnhya
ditangan Residen. Residen dengan aparat kepolisisannya berkuasa penuh
menyelesaikan perkara pidana maupun perdata yang terjadi.
Teori
Receptio in Complexu tersebut bisa dilihat dari bukti-bukti yang sebagian akan
disebutkan berikut ini:
a. Statu Batavia 1642 yang menyebutkan
bahwa “Sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus
diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam.
b. Pada tahun 1760, VOC mengeluarkan
peraturan senada yang disebut dengan Resolutie der Indische Regeering.
c. Dikeluarkannya Stbl.No.22 pasal 13 pada
tahun 1820 yang menentukan bahwa Bupati wajib memperhatikan soal-soal agama Islam
dan untuk menjaga supaya para pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai
dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian
pusaka dan sejenisnya.
d.
Van
den Berg mengonsepkan staatsblad 1882 Nomor 152 yang berisi
ketentuan bahwa bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agamanya
yang berlaku pada lingkungan hidupnya.
e. Melalui Stbl.No.152 1882 dibentuklah
Pengadilan agama dengan nama Priesterraad, yang wewenangnya adalah
menyelesaikan perkara-perkara antara umat Islam menurut hukum Islam.
f. Dalam pasal 75 RR (regeeringsreglement)
Tahun 1855. Pasal 75 ayat 3 RR berbunyi : “Oleh hakim Indonesia itu hendaklah
diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan
penduduk Indonesia itu”. Pada masa inilah muncul kebijakan adanya Pengadilan
Agama disamping Pengadilan Negeri yang sebelumnya didahului dengan penyusunan
kitab yang berisi tentang himpunan hukum Islam.
Dalam
konteks Indonesia, teori ini dibangan berdasarkan atas amaliyah umat Islam yang
begitu terikat dengan hukum Islam di bidang ibadah dan al-ahwal asy-syakhsiyah.
Adapun bidang mu’amalah, jinayah, dan
siyasah, masih banyak terabaikan.
3.
Teori
Receptie
Kemudian
teori receptio in complexu ditentang oleh Cornelis Van Vollenhoven dan
Christian Snouck Hurgronje yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut
pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima)
terlebih dahulu oleh hukum adat. Oleh karenanya menurut teori tersebut seperti
hukum kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan, karena belum diterima atau
bertentangan dengan hukum adat. Jadi yang berlaku bagi kelompok atau umat Islam
adalah hukum adat.
Teori ini dikemukakan oleh Cornelis
van Vollenhoven (1874-1933) dan Christian Snouck Hurgronje (1857-1936).
Cornelis Van Vollenhoven adalah seorang ahli hukum adat Indonesia, yang diberi
gelar sebagai pendasar dan pencipta, pembuat sistem ilmu hukum adat. Sedangkan
Christian Snouck Hurgronje adalah seorang doktor sastra Semit dan ahli dalam
bidang hukum Islam.
Penerapan Teori Receptie dimuat
dalam pasal 134 IS (Indische Staatregeling), yang berbunyi sebagai
berikut: ”Bagi orang-orang pribumi, kalau hukum mereka menghendaki,
diberlakukan hukum Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum
adat”. Pasal ini sering disebut dengan pasal receptie.
Pemikiran Christian Snouck Hurgronje
inilah yang berpengaruh terhadap adanya pemisahan antara agama dan politik.
Dimana paham liberal ini muncul karena dia berpendapat bahwa Islam adalah
sebuah ancaman, maka perlu untuk dikekang dan dibawah pengawasan yang ketat. Hal
tersebut berakibat kepada pencabutan hak Pengadilan Agama untuk menangani
penyelesaian hukum waris pada tahun 1937 dengan stbl 1937 no. 116, dengan
alasan bahwa hukum adat belum sepenuhnya menerima apa yang ada dalam hukum Islam
tentang pembagian hak waris.
Upaya
real yang dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam menghambat pelaksanaan hukum Islam
di Indonesia dapat dilihat dari beberapa bukti sebagai berikut:
a.
Sama
sekali tidak memasukkan hudud dan qishas dalam bidang hukum pidana. Hukum pidana
diberlakukan dan diambil langsul dari Wetboek van Strafrect dari Nederland yang
diberlakukan sejak januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732).
b.
Dalam
bidang tata negara, ajaran Islam mengenai hal tersebut dihancurkan sama sekali.
Pengkajian terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an yang memberikan pelajaran agama
dan penguraian hadits dalam bidang politik tentang kenegaraan atau
ketatanegaraan dilarang.
c.
Mempersempit
berlakunya hukum muamalah yang menyangkut hukum perkawinan dan hukum kewarisan.
Khusus untuk kewarisan Islam diusahakan untuk tidak berlaku. Sehubungan dengan
hal itu, diambil langkah-langkah; 1). Menanggalkan wewenang Peradilan Agama di
Jawa dan Madura, serta Kalimantan Selatan untuk mengadili waris, 2). Memberi
wewenang memeriksa perkara waris kepada landraad, 3). Melarang penyelesaian
dengan hukum Islam jika di tempat adanya perkara tidak diketahuai isi Hukum
Adat.
Teori
receptie berpijak pada asumsi dan
pemikiran bahwa kalau orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau
dekat dengan kebudayaan eropa, penjajahan atas Indonesia dapat berjalan dengan
baik dan tidak mendapati hambatan dan goncangan terhadap kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda mendekati golongan-golongan
yang akan menghidupkan Hukum Adat, memberikan dorongan kepada mereka untuk
mendekatkan golongan Hukum Adat kepada pemerintah Belanda.
4.
Teori
Receptie Exit
Salah
satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh
hukum Belanda. Teori ini dikemukakan oleh Hazairin. Menurut Hazairin, setelah
Indonesia merdeka walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama
masih berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh
peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak
berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie
harus keluar (exit) karena bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Semangat para pemimpin Islam menentang pendapat Christian Snouck
Hurgronje dengan menyandarkan pemberlakuan hukum Islam pada hukum adat terus
bergulir terutama pada saat menjelang proklamasi kemerdekaan negara Indonesia.
Upaya ini nampak dengan lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada tanggal
22 Juni 1945.
Piagam Jakarta merupakan Rancangan
Pembukaan Undang-Undang Dasar (konstitusi) negara Republik Indonesia yang
disusun oleh 9 orang tokoh bangsa Indonesia, sedangkan 8 orang dari mereka
adalah Muslim. Adanya Piagam Jakarta adalah sebuah perjuangan para tokoh Islam
saat itu yang selalu memperjuangkan berlakunya hukum Islam bagi orang Islam.
Menurut Muhammad Yamin, piagam itu merupakan dokumen politik yang terbukti
mempunyai daya penarik dapat mempersatukan gagasan ketatanegaraan dengan tekad
bulat atas persatuan nasional menyongsong datangnya negara Indonesia yang
merdeka berdaulat.
Menurut
teori receptie exit, pemberlakuan
hukum Islam tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan dengan hukum adat.
Hal ini semakin dipertegas dengan diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, yang memberlakukan hukum Islam bagi orang Islam, UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, dan juga Inpres No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pokok-pokok
pikiran Hazairin terkait dengan hal tersebut adalah:
a.
Teori
receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari tata negara
Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya negara Indonesia dan mulai
berlakunya UUD 1945.
b.
Sesuai
dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka negara republik Indonesia berkewajiban
membentuk hukum nasional Indonesia yang bahannya adalah hukum agama.
c.
Hukum
agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan hanya hukum Islam, melainkan
juga hukum agama lain. Hukum agama dibidang hukum perdata maupun hukum pidana
diserap menjadi hukum nasional Indonesia dengan berdasarkan Pancasila.
Teori
receptie exit yang dikemukakan
Hazairin dikembangkan oleh muridnya, Sayuthi Thalib yang menulis buku Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat
dengan Hukum Islam. Menurut teori ini, bagi umat Islam, yang berlaku adalah
hukum Islam. Hukum adat baru dinyatakan berlaku bila tidak bertentangan dengan
agama Islam atau hukum Islam. Pendapat ini kemudian disebut dengan teori receptio a contario.
5.
Teori
Receptie a Contario
Penjabaran
dari teori receptie a contrario sebagaimana
telah dijelaskan seecara singkat di atas, dalam pandangan Afdol mengutip
Sayuthi Thalib, adalah sebagai berikut:
a.
Bagi
oarang Islam berlaku hukum Islam.
b.
Hal
tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan
moralnya.
c.
Hukum
adat berlaku bagi orang Islam selama
tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.
Kerangka
pikir teori tersebut merupakan kebalikan dari teori receptie. Perbedaan teori receptie
exit dengan teori receptie a
contrario terletak pada pangkal tolak pemikirannya. Teori receptie exit buatan Hazairin bertolak
dari kenyataan bahwa sejak kemerdekaan bangsa, berdirinya RI, dasar negara
Pancasila, UUD 45 dalam Pembukaan dan
pemahaman terhadap pasal II Aturan Peralihan ialah dengan mendahulukan dasar
dan jiwa kemerdekaan dan tidak menerima pemahaman aturan peralihan secara formal
belaka. Adapun landasan teori receptie a
contrario bertolak pada kenyataan bahwa negara Indonesia yang merdeka,
sesuai dengan cita-cita batin, cita-cita moral, dan kesadaran hukum
kemerdekaan, berarti ada keluasan untuk mengamalkan ajaran agama dan hukum
agama.
6.
Teori
Recoin (Receptio Contextual Interpretario)
Teori
ini dicetuskan oleh Dr. Afdol, seorang pakar Hukum dari Universitas Airlangga,
Surabaya. Menurutnya, teori ini diperlukan untuk melanjutkan teori-teori
sebelumnya. Inti teori recoin adalah
penafsiran kontekstual terhadap tekstual ayat Al-Qur’an. Menurut Afdol, teori
ini didasarkan pada hasil penelitiannya tentang waris Islam, misalnya pembagian
waris antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mendapat dua kali bagian dari
perempuan. Dengan kata lain, bagian perempuan setengah dari bagian laki-laki.
Dengan
dasar pemikiran bahwa hukum yang diciptakan Allah bagi manusia pasti adil,
tidak mungkin Allah menurunkan aturan hukum yang memihak pada salah satu
golongan, demikian juga persoalan warisan laki-laki dan perempuan. Dengan
menggunakan interpretasi secara tekstual ayat tersebut secara rasional dapat
dinilai tidak adil. Berbeda halnya jika ayat tersebut di tafsirkan secara
kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu, ayat tersebut dapat diberi interpretasi
bahwa bagian warisan perempuan minimal setengah bagian laki-laki. Interpretasi
kontekstual terhadap ayat hukum islam dinamakan oleh Afdol dengan teori recoin.
Teori
ini pada dasarnya berbeda istilah meskipun substansinya sama dengan para pemikir,
seperti Hasbi Ash-Shiddiqi dengan fiqh
ala Indonesia, pribumisasi ala Gusdur, Reaktualisasi
Munawir Sadjali, atau Hermenetik Fazlur
Rahman.
PENUTUP
Hukum
di Indonesia mengalami beberapa periode berdasarkan latar belakang sejarahnya, pertama kedatangan islam di Indonesia, kedua zaman kerajaan-kerajaan islam, ketiga hukum islam pada zaman kolonial
belanda dan jepang, keempat
perkembangan hukum islam di zaman kemerdekaan.
Teori-teori
keberadaan islam di Indonesia,
1.
Teori
Kredo/Syahadat
2.
Teori
Receptio in Complexu
3.
Teori
Receptie
4.
Teori
Receptie Exit
5.
Teori
Receptie a Contario
6.
Teori
Recoin (Receptio Contexual Interpretario)
Setelah
melewati berbagi proses pertumbuhan, mulai dari awal kedatangan islam sampai
sekarang ini hukum islam menjadi faktor penting dalam menentukan setiap
pertimbangan politik untuk mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan negara,
sehingga kontribusi hukum islam dalam pembangunan hukum nasional merupakan
sebagian dari ajaran dan keyakinan islam yang eksis dalam kehidupan hukum
nasional serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.
Pembangunan
hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada
kepentingan nasional, dengan penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh
yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, perlu ditegaskan disini
bahwa penyusunan program legislasi nasional, termasuk upaya pergantian
peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan perundang-undangan
yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan upaya cerdas dalam proses
perwujudan hukum nasional yang dijiwai oleh nilai-nilai nasional dan keagamaan
bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Ghofur
Anshori, Abdul, Prof., Dr.,S.H., M.H., Hukum
Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media,
Yogyakarta.
2)
Supriadi,
Dedi, M.Ag., SEJARAH HUKUM ISLAM, Pustaka
Setia, Bandung, 2007.
3)
Al-Munawar,
Said Agil Husin, Prof., Dr., MA. HUKUM
ISLAM & Pluralitas Sosial, cet 1, PENAMADANI, Jakarta, 2004.
4)
Barakatullah,
Abdul Halim, S.Ag., SH., MH., CD, Prasetyo, Teguh, Dr., SH., M.Si., HUKUM ISLAM, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2006.
5)
Djamili,
R. Abdoel, PENGANTAR HUKUM INDONESIA,
RajaGrafindo, Jakarta, 2009.
6)
M
Yusuf, Drs., M.S.i, Eka Putra, Okrizal,
Lc., M.A., Amalia, Fatma, S.Ag., M.Si.,
Fiqh dan Ushul Fiqh, Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005.
http://himmah679.blogspot.com/2010/01/teori-teori-eksistensi-hukum-islam.html