Jumat, 18 Mei 2012

Konsep Kelompok Sosial dan Pola Hubungannya


PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Manusia sebagai individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Ia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lain. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup.
Secara naluriah, manusia membutuhkan hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir dipelihara dan dibesarkan dalam suatu masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Keluarga terbentuk karena adanya pergaulan antar anggota sehingga dapat dikatakan bahwa berkeluarga merupakan kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan orang lain atau hidup dalam kelompoknya.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep kelompok sosial.
2.      Bagaimana pola hubungan antar-kelompok dalam masyarakat.
C.       Tujuan Pembahasan
1.      Memahami konsep kelompok sosial.
2.      Memahami pola hubungan antar-kelompok.








PEMBAHASAN
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas dengan suatu proses yang dinamakan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial manusia juga akan cenderung membentuk kelompok-kelompok tertentu demi mencapai tujuan yang diinginkan. Interaksi tidak hanya terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain, tetapi juga bisa terjadi antara satu individu dengan kelompok individu, atau antara kelompok individu dengan kelompok individu lain.
Sejak manusia lahir dan dibesarkan, ia sudah merupakan bagian dari kelompok sosial yaitu keluarga. Disamping menjadi anggota keluarga, sebagai seorang bayi yang lahir disuatu desa atau kota, ia akan menjadi warga salah satu umat agama; warga suatu suku bangsa atau kelompok etnik dan lain sebagainya.[1]
A.       Konsep Kelompok.
Untuk memulai pembahasan mengenai kelompok, hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam konsep kelompok ternyata mempunyai berbagai makna. Dikalangan ahli sosiologi kita jumpai berbagai usaha untuk mengklasifikasikan jenis kelompok; diantaranya ialah klasifikasi dari Robert Biersterdt.
Bierstedt menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya organisasi, hubungan sosial diantara anggota kelompok, dan kesadaran jenis. Berdasarkan ketiga kriteria tersebut bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok, yaitu: kelompok-kelompok statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial (social group), dan kelompok asosiasi (associational group).[2]
Kelompok statistik merupakan kelompok yang tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut diatas, kelompok yang tidak merupakan organisasi, tidak ada hubungan sosial antara anggota, dan tidak ada kesadaran jenis. Oleh bierstedt dikemukakan bahwa kelompok statistik ini hanya ada dalam arti analitis dan merupakan hasil ciptaan para ilmuwan sosial. Contoh yang dapat disajikan untuk kelompok statistik ini adalah pada anak-anak yang dikelompokkan dalam kategori terendah tersebut (yang kadangkala dinamakan kelompok balita) maupun dalam kelompok umur berikutnya tidak dijumpai organisasi, kesadaran mengenai keanggotaan dalam kelompok  atau pun hubungan sosial.
Kelompok kemasyarakatan merupakan kelompok yang hanya memenuhi satu persyaratan, yaitu kesadaran akan persamaan diantara mereka. Didalam kelompok jenis ini belum ada kontak dan komunikasi diantara anggota, dan juga belum ada organisasi. Menurut bierstedt kelompok ini dijumpai persamaan kepentingan pribadi tetapi bukan kepentingan bersama. Misalnya apabila dikelompokkan menurut jenis kelamin maka penduduk Indonesia terdiri atas sekian laki-laki dan sekian perempuan. Pengelompokan ini menghasilkan kelompok kemasyarakatan, karena baik pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikelompokkan itu terdapat kesadaran akan jenis kelamin mereka masing-masing tetapi tidak ada organisasi yang mengikat seluruh perempuan atau laki-laki yang dikelompokkan itu, dan diantara seluruh anggota masing-masing kelompok pun tidak dijumpai hubungan sosial.
Kelompok sosial merupakan kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi. Misalnya kelompok teman, kerabat, dan sebagainya.
Kelompok asosiasi merupakan kelompok yang memenuhi ketiga kriteria tersebut diatas. Dalam kelompok ini para anggotanya mempunyai kesadaran jenis, dan menurut bierstedt dalam kelompok ini juga dijumpai persamaan kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama. Disamping itu diantara para anggota kelompok asosiasi kita jumpai adanya hubungan sosial (adanya kontak dan komunikasi). Selain itujuga dijumpai adanya ikatan organisasi formal. Misalnya kita pernah masuk dalam anggota kelompok asosiasi organisasi sekolah, gerakan pramuka, senat mahasiswa, parpol, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, Robert K. Merton salah seorang sosiolog yang banyak menulis mengenai konsep kelompok. Dalam salah satu tulisannya merton mendefinisikan konsep kelompok sebagai sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan.
Merton menyebutkan tiga kriteria objektif bagi suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh sering terjadinya interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi mendefinisikan diri mereka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok.
Konsep lain yang diajukan pula oleh merton ialah konsep kategori sosial (social categories). Kategori sosial adalah suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin atau usia. Antara pendukung peran tersebut tidak terdapat interaksi.[3]
B.       Kelompok Sosial.
Kelompok sosial dapat kita pahami sebagai sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi sehingga tumbuh rasa kebersamaan dan rasa memiliki. Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku anggotanya. Berikut ini adalah pengertian kelompok sosial dari beberapa ahli.
a.    Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, istilah kelompok sosial diartikan sebagai kumpulan manusia yang memiliki kesadaran akan keanggotaannya dan saling berinteraksi.
b.    Menurut George Homans, kelompok social adalah kumpulan individu yang melakukan kegiatan, interaksi dan memiliki perasaan untuk membentuk suatu keseluruhan yang terorganisasi dan berhubungan secara timbal balik.
c.    Menurut Soerjono Soekanto, kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan diantara mereka. Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong.[4]
Lebih lanjut soerjono soekanto mengatakan suatu himpunan manusia bisa dikatakan sebagai kelompok sosial manakala memenuhi persyaratan berikut ini:
a.    Setiap anggota kelompok memiliki kesadaran bahwa dia bagian dari kelompok tersebut.
b.    Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.
c.    Ada suatu faktor  yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat, yang dapat merupakan nasib yang sama, ideologi politik yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, dan lain-lain.
d.   Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
e.    Bersistem dan berproses.[5]
Adapun ciri-ciri kelompok sosial adalah dalam kelompok sosial pasti memiliki struktur sosial, memiliki norma-norma yang mengatur hubungan diantara para anggotanya, memiliki faktor pengikat, dan merupakan kesatuan yang nyata dan dapat dibedakan dari kelompok atau kesatuan manusia yang lain.
C.       Proses Pembentukan Kelompok Sosial.
Mengutip dari http://mklh2kelompok sosial.blogspot.com/ pada hari senin, jam 09:15 di kampus uin sunan kalijaga Yogyakarta. Dalam membentuk kelompok sosial, manusia didorong oleh beberapa faktor-faktor, diantaranya yaitu:
1.    Faktor-faktor pendorong timbulnya kelompok sosial.
a.    Dorongan untuk mempertahankan hidup.
b.    Dorongan untuk meneruskan keturunan.
c.    Dorongan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja.
2.    Dasar pembentukan kelompok sosial.
a.    Kesatuan genealogis atau faktor keturunan.
b.    Kesatuan religious.
c.    Kesatuan teritorial (community).
d.   Kesatuan kepentingan (associaty).
D.       Klasifikasi Kelompok Sosial.
1.    Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Solidaritas Antara Anggota.
Istilah ini dipopulerkan oleh seorang sosiolog yang bernama durkheim.
a.    Solidaritas Mekanik.
Solidaritas mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya pembagian kerja diantara para anggota kelompok.
Dalam masyarakat ini, kelompok manusia tinggal secara tersebar dan hidup terpisah satu dengan yang lain. Masing-masing kelompok dapat memenuhi keperluan mereka tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok diluarnya.
Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan ialah persamaan perilaku dan sikap. Seluruh warga masyarakat diikat oleh apa yang dinamakan kesadaran kolektif, hati nurani kolektif, dan bersifat ekstern serta memaksa.
b.    Solidaritas Organik.
Solidaritas organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan anggota.
Karena adanya kesalingtergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat. Misalnya, tidak berperannya tentara akan mengakibatkan masyarakat menjadi rentan terhadap serangan dari masyarakat lain.
2.    Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Erat Longgarnya Ikatan Dalam Kelompok.
Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Ferdinand Tonnies.
a.    Gemeinschaft (paguyuban).
Gemeinschaft merupakan bentuk kehidupan bersama, dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang memang telah dikodratkan. Hubungan seperti ini dapat dijumpai dalam keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga, dan lain sebagainya.
b.   Gesellschaft (patembayan).
Gesellschaft merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka waktu pendek. Ia bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka. Contohnya adalah ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu pabrik, dan lain-lain.
3.    Klasifikasi Kelompok Berdasrkan Identifikasi Diri.
Klasifikasi ini diperkenalkan oleh W.G Sumner.
a.    In-Group.
In-Group adalah kelompok sosial dimana individu mengidentifikasikan dirinya.
Menurut sumner dikalangan anggota kelompok dalam dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan, dan kedamaian. Sedangkan hubungan antara kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan, perang dan perampokan.
b.   Out-Group.
Out-Group adalah kelompok sosial yang oleh individu diartikan sebagai lawan in groupnya. Sikap out-group selalu ditandai dengan suatu kelainan yang berwujud antagonism atau antipati.
Perasaan in-group atau out-group didasari dengan suatu sikap yang dinamakan etsontris, yaitu adanya anggapan bahwa kebiasaan dalam kelompoknya merupakan yang terbaik dibanding dengan kelompok lainnya.
4.    Klasifikasi Kelompok Berdasrkan Hubungan diantara Para Anggotanya.
Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Charles Horton Cooley.
a.    Kelompok Primer.
Kelompok Primer adalah kelompok sosial yang memiliki hubungan saling mengenal dan memiliki perasaan kebersamaan dan kerja sama yang erat. Contohnya keluarga, kelompok sepermainan dan lain-lain.
b.   Kelompok Sekunder.
Kelompok Sekunder adalah kelompok yang terdiri orang banyak, yang sifat hubungannya tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga tidak langgeng. Atau bisa disebut kelompok sosial yang terbentuk karena adanya kepentingan yang sama sehingga didasarkan pada hitungan untung rugi. Contohnya hubungan kontrak jual beli.
5.    Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Sistem Hubungan.
a.    Kelompok Formal.
Kelompok Formal adalah kelompok yang memiliki sistem hubungan yang sengaja diciptakan, sehingga unsur-unsur dalam suatu organisasi merupakan bagian-bagian fungsional yang berhubungan. Contohnya organisasi.
b.   Kelompok Informal.
Kelompok Informal adalah kelompok yang tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentu karena pertemuan yang berulangkali yang didasari oleh kepentingan dan pengalaman yang sama. Contohnya klik (click) yaitu suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul dalam kelompok-kelompok besar.
6.    Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Cara Bersikap, Menilai, maupun Bertindak.
Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Robert K. Merton. dia memusatkan perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok tidak berarti bahwa seorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara bersikap, menilai maupun bertindak. Kadang-kadang perilaku seseorang tidak mengacu pada kelompok yang didalamnya menjadi anggota, melainkan pada kelompok lain.
a.    Membership Group.
Membership Group merupakan suatu kelompok dimana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut.
b.   Reference Group.
Reference Group adalah kelompok-kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Misalnya seorang siswa kelas 3 SMU dalam berperilaku dan bersikap sudah berorientasi pada aturan dan nilai yang berlaku dikalangan perguruan tinggi meskipun secara resmi ia belum berstatus mahasiswa.
7.    Klasifikasi Kelompok Berdasarkan Tipe Budaya.
Suatu klasifikasi yang digali dari masyarakat jawa ini diperkenalkan oleh Geertz.
a.    Abangan.
Kelompok yang diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional serta kepercayaan pada makhluk halus dan kekuatan ghaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan.
b.   Santri.
Kelompok yang ditandai dengan ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai dikalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka agama.
c.    Priyayi.
Kelompok yang ditandai dengan pengaruh mistik Budha-Hindu prakolonial maupun pengaruh kebudayaan barat dan dijumpai pada kelompok elite yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintah.
E.       Kelompok Sosial Yang Tidak Teratur.
1.    Kerumunan.
Kerumunan merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat sementara. Ukuran utama adanya kerumunan adalah kehadiran orang-orang secara fisik. Paling tidak batas kerumunan adalah sejauh mata dapat melihat dan selama telinga dapat mendengarkannya. Kerumunan tersebut segera mati setelah orang-orangnya bubar. Contoh: kerumunan di pasar, orang-orang yang menghadiri khotbah, dll.
2.    Publik.
Berbeda dengan kerumunan, public lebih merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi seperti pembicaraan pribadi yang berantai, desas desus, surat kabar, radio, televise, dll.[6]
F.        Hubungan Antar Kelompok Dalam Masyarakat.
Hubungan antar kelompok mempunyai beberapa dimensi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Dimensi Sejarah.
Kajian dari sudut dimensi sejarah diarahkan pada masalah tumbuh dan berkembangnya hubungan antar kelompok. Misalnya kontak pertama antara kelompok ras kulit putih dan kulit hitam terjalin, lalu bagaimanakah kontak tersebut kemudian berkembang menjadi hubungan dominasi.
2.    Dimensi Sikap.
Melalui dimensi sikap, kita mengamati sikap anggota suatu kelompok terhadap anggota lain, dan sebaliknya. Misalnya sikap anggota kelompok etnik tionghoa terhadap kelompok pribumi Indonesia, dan sebaliknya.
3.    Dimensi Institusi.
Sikap yang dipunyai suatu kelompok terhadap kelompok lain seringkali ditunjang dan bahkan diperkuat oleh institusi dalam masyarakat, seperti institusi sosial, ekonomi dan politik.
4.    Dimensi Gerakan Sosial.
Dimensi gerakan sosial merupakan suatu dimensi lain dalam hubungan antar kelompok. Kajian dari sudut pandang ini memperhatikan berbagai gerakan sosial yang sering dilancarkan suatu kelompok untuk membebaskan diri dari dominasi kelompok lain. Misalnya gerakan pembebasan perempuan (women’s liberation movement).
5.    Dimiensi Perilaku,
Salah satu bentuk perilaku yang sering ditampilkan dalam hubungan antar kelompok adalah diskriminasi. Contoh, dikalangan kaum laki-laki, misalnya, di kaum perempuan sering mengalami banyak kesukaran dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, atau jabatan tertentu karena dinilai berfisik lemah atau berwatak emosional.
Menurut banton, diskriminasi mewujudkan  jarak sosial. Denga menggunakan skala sikap yang dinamakan skala jarak sosial para ilmuwan sosial dapat mengukur jarak sosial satu kelompok dengan kelompok lain. Skala tersebut memuat sejumlah pertanyaan mengenai kesediaan seseorang untuk menikah, berteman, bertetangga, tidak tinggal sekawasan dengan orang dari kelompok kebangsaan atau ras lain.
6.    Dimensi Perilaku Kolektif.
Umumnya warga masyarakat cenderung berperilaku dengan berpedoman pada institusi yang ada dalam masyarakat. Perilaku di pasar dituntun oleh institusi dibidang ekonomi; perilaku ditempat ibadah dituntun oleh institusi dibidang agama; perilaku diruang kuliah mengacu pada institusi dibidang pendidikan.
Perilaku koletif merupakan tidakan bersama oleh sejumlah besar orang; bukan tindakan individu semata-mata.
Hubungan antar kelompok sering berwujud perilaku kolektif. Banyak diantara perilaku kolektif terbatas pada gerakan protes dan demosntrasi belaka. Namun tidak jarang pula suatu gerakan antar-kelompok berkembang menjadi huru hara yang dapat mengakibatkan pengrusakan harta benda atau bahkan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Menurut Kinloch, hubungan antar kelompok memiliki berbagai kriteria sebagai berikut:
1.    Fisiologis.
Atas dasar ini dijumpai pengelompokan yang didasarkan pada persamaan jenis kelamin, usia, dan ras.
2.    Kebudayaan.
Kriteria ini mencakup kelompok yang diikat oleh persamaan kebudayaan, seperti kelompok etnik (aceh, minangkabau, ambon, dll), dan agama.
3.    Ekonomi.
Atas dasar criteria ini kinloch membedakan antara mereka yang tidak mempunyai kekuasaan ekonomi dan mereka yang mempunyainya.
4.    Perilaku.
Atas dasar ini dijumpai pengelompokan berdasarkan cacat fisik, cacat mental, dan penyimpangan terhadap aturan masyarakat.
G.      Pola Hubungan Antar Kelompok.
1.    Akulturasi.
Pola akulturasi akan terjadi manakala kedua kelompok ras yang bertemu mulai berbaur dan berpadu. Misalnya kita melihat bahwa kebudayaan orang belanda di Indonesia menyerap berbagai unsure kebudayaan Indonesia, seperti cara berbusana, cara makan, dan gaya berbahasa.
2.    Dominasi.
Pola ini akan terjadi bila suatu kelompok ras menguasai kelompok lain. Contoh: kedatangan bangsa eropa ke benua asia untuk memperoleh SDA. Atau kita jumpai dalam pengelompokan, misalnya suatu kelompok etnik mendominasi kelompok etnik lain,laki-laki mendominasi perempuan, orang kaya mendominasi orang miskin, dan lain sebagainya.
Konblum menyatakan bahwa terdapat lima macam kemungkinan proses yang terjadi dalam suatu hubungan antar-kelompok, yaitu, genocide (pembunuhan secara sengaja dan sistematis terhadap anggota suatu kelompok tertentu), pengusiran, perbudakan, asimilasi. Kita lihat, misalnya, bahwa dalam berbagai kasus dominasi dilakukan bersamaan dengan pembunuhan terhadap penduduk.
3.    Paternalisme.
Suatu bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas kelompok ras pribumi. Banton mengemukakan bahwa pola ini muncul manakala kelompok pendatang yang secara politik lebih kuat mendirikan koloni di daerah jajahan.
Dalam pola hubungan ini Banton membedakan tiga macam masyarakat: masyrakat metropolitan (didaerah asal pendatang), masyarakat kolonial yang terdiri atas para pendatang serta sebagian dari masyarakat pribumi, dan masyarakat pribumi yang dijajah.
4.    Integrasi.
Suatu pola hubungan yg mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan perhatian khusus atau makna penting pada perbedaan ras tersebut.
5.    Pluralisme.
Suatu pola hubungan yang mengakui adanya persamaan hak politik dan hak perdata semua warga masyarakat. Akan tetapi pola hubungan itu lebih terfokus pada kemajemukan kelompok ras daripada pola integrasi. Dalam pola ini solidaritas dalam masing-masing kelompok ras lebih besar.
Barton berpendapat bahwa suatu pola mempunyai kecenderunagn untuk lebih berkembang kesuatu arah tertentu. Pola dominasi cenderung mengarah pada pluralisme, sedangkan pola akulturasi dan paternalisme cenderung mengarah pada pola integrasi.
PENUTUP
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, memiliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut social animal (= hewan sosial).[7] Karena sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok, yaitu :
1.      Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingya (yaitu masyarakat).
2.      Keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Selain itu manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang sinambung tersebut menghasilkan pola pergaulan dan membentuk kelompok-kelompok dalam sosial.
Setiap anggota dalam sebuah kelompok mempunyai pengalaman masing-masing dalam hubungannya dengan sesama anggota dan kelompok-kelompok sosial yang lain. Bila mereka berkumpul, terjadilah tukar menukar pengalaman diantara mereka. Pada saat-saat demikian, yang terjadi bukanlah pertukaran pengalaman semata, tetapi para anggota tersebut mungkin telah mengalami perubahan-perubahan, walaupun sama sekali tidak disadari.
Saling tukar menukar pengalaman (social experiences) didalam kehidupan berkelompok mempunyai pengaruh yang besar didalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
1.    Sunarto, kamanto. Pengantar Sosiologi ;(edisi revisi), Jakarta: lembaga penerbit fakultas ekonomi universitas Indonesia, 2004
2.    Soekanto,soerjono. Sosiologi; suatu pengantar,  Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, ed.baru-41, 2007.
3.    Herimanto; winarno. Ilmu sosial dan budaya dasar. Jaktim: Pt. Bumi Aksara. Cet.4, 2011.
4.    http://mklh2kelompok sosial.blogspot.com/


[1] Herimanto; winarno. Ilmu sosial dan budaya dasar. Jaktim: Pt. Bumi Aksara. Cet.4, hlm. 44.
[2]  Sunarto, kamanto. Pengantar Sosiologi ;(edisi revisi), Jakarta: lembaga penerbit fakultas ekonomi universitas Indonesia, 2004. Hlm.126.
[3]  Ibid. hlm.127
[4]  Soekanto,soerjono. Sosiologi; suatu pengantar,  Jakarta: Pt. raja grafindo persada, ed.baru-41, 2007. Hlm. 104.
[5]  Ibid. hlm. 101
[6]  Ibid. hlm, 128-132.
[7]  Ibid. hlm, 101