PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia sebagai individu ternyata
tidak mampu hidup sendiri. Ia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa
bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan dan
harus bersosialisasi dengan manusia lain. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan
manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan
tujuan hidup.
Secara naluriah, manusia membutuhkan
hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir dipelihara dan dibesarkan
dalam suatu masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Keluarga terbentuk karena
adanya pergaulan antar anggota sehingga dapat dikatakan bahwa berkeluarga
merupakan kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan orang lain atau hidup
dalam kelompoknya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
konsep kelompok sosial.
2.
Bagaimana
pola hubungan antar-kelompok dalam masyarakat.
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Memahami
konsep kelompok sosial.
2.
Memahami
pola hubungan antar-kelompok.
PEMBAHASAN
Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan terlepas
dengan suatu proses yang dinamakan interaksi sosial. Sebagai makhluk sosial
manusia juga akan cenderung membentuk kelompok-kelompok tertentu demi mencapai
tujuan yang diinginkan. Interaksi tidak hanya terjadi antara individu yang satu
dengan individu yang lain, tetapi juga bisa terjadi antara satu individu dengan
kelompok individu, atau antara kelompok individu dengan kelompok individu lain.
Sejak manusia lahir dan dibesarkan,
ia sudah merupakan bagian dari kelompok sosial yaitu keluarga. Disamping
menjadi anggota keluarga, sebagai seorang bayi yang lahir disuatu desa atau
kota, ia akan menjadi warga salah satu umat agama; warga suatu suku bangsa atau
kelompok etnik dan lain sebagainya.[1]
A.
Konsep Kelompok.
Untuk memulai pembahasan mengenai
kelompok, hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam konsep kelompok ternyata
mempunyai berbagai makna. Dikalangan ahli sosiologi kita jumpai berbagai usaha
untuk mengklasifikasikan jenis kelompok; diantaranya ialah klasifikasi dari
Robert Biersterdt.
Bierstedt menggunakan tiga kriteria
untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya organisasi, hubungan
sosial diantara anggota kelompok, dan kesadaran jenis. Berdasarkan ketiga
kriteria tersebut bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok, yaitu: kelompok-kelompok
statistik (statistical group), kelompok kemasyarakatan (societal group),
kelompok sosial (social group), dan kelompok asosiasi (associational
group).[2]
Kelompok statistik merupakan kelompok yang tidak memenuhi ketiga kriteria tersebut
diatas, kelompok yang tidak merupakan organisasi, tidak ada hubungan sosial
antara anggota, dan tidak ada kesadaran jenis. Oleh bierstedt dikemukakan bahwa
kelompok statistik ini hanya ada dalam arti analitis dan merupakan hasil
ciptaan para ilmuwan sosial. Contoh yang dapat disajikan untuk kelompok
statistik ini adalah pada anak-anak yang dikelompokkan dalam kategori terendah
tersebut (yang kadangkala dinamakan kelompok balita) maupun dalam kelompok umur
berikutnya tidak dijumpai organisasi, kesadaran mengenai keanggotaan dalam
kelompok atau pun hubungan sosial.
Kelompok kemasyarakatan merupakan kelompok yang hanya memenuhi satu persyaratan, yaitu
kesadaran akan persamaan diantara mereka. Didalam kelompok jenis ini belum ada
kontak dan komunikasi diantara anggota, dan juga belum ada organisasi. Menurut
bierstedt kelompok ini dijumpai persamaan kepentingan pribadi tetapi bukan
kepentingan bersama. Misalnya apabila dikelompokkan menurut jenis kelamin maka
penduduk Indonesia terdiri atas sekian laki-laki dan sekian perempuan.
Pengelompokan ini menghasilkan kelompok kemasyarakatan, karena baik pada kaum
laki-laki maupun kaum perempuan yang dikelompokkan itu terdapat kesadaran akan
jenis kelamin mereka masing-masing tetapi tidak ada organisasi yang mengikat
seluruh perempuan atau laki-laki yang dikelompokkan itu, dan diantara seluruh
anggota masing-masing kelompok pun tidak dijumpai hubungan sosial.
Kelompok sosial merupakan kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis dan
berhubungan satu dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi.
Misalnya kelompok teman, kerabat, dan sebagainya.
Kelompok asosiasi merupakan kelompok yang memenuhi ketiga kriteria tersebut diatas.
Dalam kelompok ini para anggotanya mempunyai kesadaran jenis, dan menurut
bierstedt dalam kelompok ini juga dijumpai persamaan kepentingan pribadi maupun
kepentingan bersama. Disamping itu diantara para anggota kelompok asosiasi kita
jumpai adanya hubungan sosial (adanya kontak dan komunikasi). Selain itujuga
dijumpai adanya ikatan organisasi formal. Misalnya kita pernah masuk dalam
anggota kelompok asosiasi organisasi sekolah, gerakan pramuka, senat mahasiswa,
parpol, dan lain sebagainya.
Selanjutnya, Robert K. Merton salah
seorang sosiolog yang banyak menulis mengenai konsep kelompok. Dalam salah satu
tulisannya merton mendefinisikan konsep kelompok sebagai sekelompok orang yang
saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan.
Merton menyebutkan tiga kriteria
objektif bagi suatu kelompok. Pertama, kelompok ditandai oleh sering
terjadinya interaksi. Kedua, pihak yang berinteraksi mendefinisikan diri
mereka sebagai anggota. Ketiga, pihak yang berinteraksi didefinisikan
oleh orang lain sebagai anggota kelompok.
Konsep lain yang diajukan pula oleh
merton ialah konsep kategori sosial (social categories). Kategori sosial
adalah suatu himpunan peran yang mempunyai ciri sama seperti jenis kelamin atau
usia. Antara pendukung peran tersebut tidak terdapat interaksi.[3]
B.
Kelompok Sosial.
Kelompok sosial dapat kita pahami sebagai sekumpulan orang yang
memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi sehingga
tumbuh rasa kebersamaan dan rasa memiliki. Kelompok diciptakan oleh anggota
masyarakat itu sendiri. Kelompok juga dapat mempengaruhi perilaku anggotanya. Berikut
ini adalah pengertian kelompok sosial dari beberapa ahli.
a.
Menurut Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, istilah kelompok sosial diartikan sebagai kumpulan
manusia yang memiliki kesadaran akan keanggotaannya dan saling berinteraksi.
b.
Menurut George
Homans, kelompok social adalah kumpulan individu yang melakukan kegiatan,
interaksi dan memiliki perasaan untuk membentuk suatu keseluruhan yang
terorganisasi dan berhubungan secara timbal balik.
c.
Menurut Soerjono
Soekanto, kelompok sosial adalah himpunan atau
kesatuan manusia yang hidup bersama, karena adanya hubungan diantara mereka.
Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling menolong.[4]
Lebih
lanjut soerjono soekanto mengatakan suatu himpunan manusia bisa dikatakan
sebagai kelompok sosial manakala memenuhi persyaratan berikut ini:
a.
Setiap
anggota kelompok memiliki kesadaran bahwa dia bagian dari kelompok tersebut.
b.
Ada
hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya.
c.
Ada
suatu faktor yang dimiliki bersama
sehingga hubungan antar mereka bertambah erat, yang dapat merupakan nasib yang
sama, ideologi politik yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, dan
lain-lain.
d.
Berstruktur,
berkaidah dan mempunyai pola perilaku.
Adapun ciri-ciri kelompok sosial adalah dalam kelompok sosial pasti
memiliki struktur sosial, memiliki norma-norma yang mengatur hubungan diantara
para anggotanya, memiliki faktor pengikat, dan merupakan kesatuan yang nyata
dan dapat dibedakan dari kelompok atau kesatuan manusia yang lain.
C.
Proses Pembentukan Kelompok Sosial.
Mengutip dari http://mklh2kelompok
sosial.blogspot.com/ pada hari senin, jam 09:15 di kampus uin sunan
kalijaga Yogyakarta. Dalam membentuk kelompok sosial, manusia didorong oleh beberapa
faktor-faktor, diantaranya yaitu:
1.
Faktor-faktor
pendorong timbulnya kelompok sosial.
a.
Dorongan
untuk mempertahankan hidup.
b.
Dorongan
untuk meneruskan keturunan.
c.
Dorongan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja.
2.
Dasar
pembentukan kelompok sosial.
a.
Kesatuan
genealogis atau faktor keturunan.
b.
Kesatuan
religious.
c.
Kesatuan
teritorial (community).
d.
Kesatuan
kepentingan (associaty).
D.
Klasifikasi Kelompok Sosial.
1.
Klasifikasi
Kelompok Berdasarkan Solidaritas Antara Anggota.
Istilah ini dipopulerkan oleh seorang sosiolog yang bernama
durkheim.
a.
Solidaritas
Mekanik.
Solidaritas mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat
yang masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal
adanya pembagian kerja diantara para anggota kelompok.
Dalam masyarakat ini, kelompok manusia tinggal secara tersebar dan
hidup terpisah satu dengan yang lain. Masing-masing kelompok dapat memenuhi
keperluan mereka tanpa memerlukan bantuan atau kerja sama dengan kelompok
diluarnya.
Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan
ialah persamaan perilaku dan sikap. Seluruh warga masyarakat diikat oleh apa
yang dinamakan kesadaran kolektif, hati nurani kolektif, dan bersifat ekstern
serta memaksa.
b.
Solidaritas
Organik.
Solidaritas organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat
yang sudah kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga
disatukan oleh saling ketergantungan anggota.
Karena adanya kesalingtergantungan ini maka ketidakhadiran pemegang
peran tertentu akan mengakibatkan gangguan pada kelangsungan hidup masyarakat.
Misalnya, tidak berperannya tentara akan mengakibatkan masyarakat menjadi
rentan terhadap serangan dari masyarakat lain.
2.
Klasifikasi
Kelompok Berdasarkan Erat Longgarnya Ikatan Dalam Kelompok.
Klasifikasi
ini diperkenalkan oleh Ferdinand Tonnies.
a.
Gemeinschaft (paguyuban).
Gemeinschaft merupakan bentuk kehidupan bersama, dimana anggotanya
diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Dasar
hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang memang telah
dikodratkan. Hubungan seperti ini dapat dijumpai dalam keluarga, kelompok kekerabatan,
rukun tetangga, dan lain sebagainya.
b.
Gesellschaft (patembayan).
Gesellschaft merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok dan
biasanya untuk jangka waktu pendek. Ia bersifat sebagai suatu bentuk dalam
pikiran belaka. Contohnya adalah ikatan antara pedagang, organisasi dalam suatu
pabrik, dan lain-lain.
3.
Klasifikasi
Kelompok Berdasrkan Identifikasi Diri.
Klasifikasi ini diperkenalkan oleh W.G Sumner.
a.
In-Group.
In-Group adalah kelompok sosial dimana individu mengidentifikasikan
dirinya.
Menurut sumner dikalangan anggota kelompok dalam dijumpai
persahabatan, kerjasama, keteraturan, dan kedamaian. Sedangkan hubungan antara
kelompok dalam dengan kelompok luar cenderung ditandai kebencian, permusuhan,
perang dan perampokan.
b.
Out-Group.
Out-Group adalah kelompok sosial yang oleh individu diartikan
sebagai lawan in groupnya. Sikap out-group selalu ditandai dengan suatu
kelainan yang berwujud antagonism atau antipati.
Perasaan in-group atau out-group didasari dengan
suatu sikap yang dinamakan etsontris, yaitu adanya anggapan bahwa kebiasaan
dalam kelompoknya merupakan yang terbaik dibanding dengan kelompok lainnya.
4.
Klasifikasi
Kelompok Berdasrkan Hubungan diantara Para Anggotanya.
Klasifikasi
ini diperkenalkan oleh Charles Horton Cooley.
a.
Kelompok Primer.
Kelompok Primer adalah kelompok sosial yang memiliki hubungan
saling mengenal dan memiliki perasaan kebersamaan dan kerja sama yang erat.
Contohnya keluarga, kelompok sepermainan dan lain-lain.
b.
Kelompok Sekunder.
Kelompok Sekunder adalah kelompok yang terdiri orang banyak, yang
sifat hubungannya tidak berdasarkan pengenalan secara pribadi dan juga tidak
langgeng. Atau bisa disebut kelompok sosial yang terbentuk karena adanya
kepentingan yang sama sehingga didasarkan pada hitungan untung rugi. Contohnya
hubungan kontrak jual beli.
5.
Klasifikasi
Kelompok Berdasarkan Sistem Hubungan.
a.
Kelompok Formal.
Kelompok Formal adalah kelompok yang memiliki sistem hubungan yang
sengaja diciptakan, sehingga unsur-unsur dalam suatu organisasi merupakan
bagian-bagian fungsional yang berhubungan. Contohnya organisasi.
b.
Kelompok Informal.
Kelompok Informal adalah kelompok yang tidak mempunyai struktur dan
organisasi tertentu atau pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentu
karena pertemuan yang berulangkali yang didasari oleh kepentingan dan
pengalaman yang sama. Contohnya klik (click) yaitu suatu kelompok kecil tanpa
struktur formal yang sering timbul dalam kelompok-kelompok besar.
6.
Klasifikasi
Kelompok Berdasarkan Cara Bersikap, Menilai, maupun Bertindak.
Klasifikasi ini diperkenalkan oleh Robert K. Merton. dia memusatkan
perhatiannya pada kenyataan bahwa keanggotaan dalam suatu kelompok tidak
berarti bahwa seorang akan menjadikan kelompoknya menjadi acuan bagi cara
bersikap, menilai maupun bertindak. Kadang-kadang perilaku seseorang tidak
mengacu pada kelompok yang didalamnya menjadi anggota, melainkan pada kelompok
lain.
a. Membership Group.
Membership
Group merupakan suatu kelompok dimana setiap orang secara fisik menjadi anggota
kelompok tersebut.
b.
Reference Group.
Reference
Group adalah kelompok-kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan
anggota kelompok tersebut) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Misalnya
seorang siswa kelas 3 SMU dalam berperilaku dan bersikap sudah berorientasi
pada aturan dan nilai yang berlaku dikalangan perguruan tinggi meskipun secara
resmi ia belum berstatus mahasiswa.
7.
Klasifikasi
Kelompok Berdasarkan Tipe Budaya.
Suatu
klasifikasi yang digali dari masyarakat jawa ini diperkenalkan oleh Geertz.
a.
Abangan.
Kelompok
yang diwarnai berbagai upacara selamatan, praktik pengobatan tradisional serta
kepercayaan pada makhluk halus dan kekuatan ghaib itu terkait pada kehidupan di
pedesaan.
b.
Santri.
Kelompok
yang ditandai dengan ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam
berbagai organisasi sosial dan politik yang bernafaskan Islam dijumpai
dikalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selaku pemuka
agama.
c.
Priyayi.
Kelompok
yang ditandai dengan pengaruh mistik Budha-Hindu prakolonial maupun pengaruh
kebudayaan barat dan dijumpai pada kelompok elite yang merupakan bagian dari
birokrasi pemerintah.
E.
Kelompok Sosial Yang Tidak Teratur.
1.
Kerumunan.
Kerumunan
merupakan suatu kelompok sosial yang bersifat sementara. Ukuran utama adanya
kerumunan adalah kehadiran orang-orang secara fisik. Paling tidak batas
kerumunan adalah sejauh mata dapat melihat dan selama telinga dapat
mendengarkannya. Kerumunan tersebut segera mati setelah orang-orangnya bubar.
Contoh: kerumunan di pasar, orang-orang yang menghadiri khotbah, dll.
2.
Publik.
Berbeda
dengan kerumunan, public lebih merupakan kelompok yang tidak merupakan
kesatuan. Interaksi terjadi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi
seperti pembicaraan pribadi yang berantai, desas desus, surat kabar, radio,
televise, dll.[6]
F.
Hubungan Antar Kelompok Dalam Masyarakat.
Hubungan antar kelompok mempunyai
beberapa dimensi, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Dimensi
Sejarah.
Kajian
dari sudut dimensi sejarah diarahkan pada masalah tumbuh dan berkembangnya
hubungan antar kelompok. Misalnya kontak pertama antara kelompok ras kulit
putih dan kulit hitam terjalin, lalu bagaimanakah kontak tersebut kemudian
berkembang menjadi hubungan dominasi.
2.
Dimensi
Sikap.
Melalui
dimensi sikap, kita mengamati sikap anggota suatu kelompok terhadap anggota
lain, dan sebaliknya. Misalnya sikap anggota kelompok etnik tionghoa terhadap
kelompok pribumi Indonesia, dan sebaliknya.
3.
Dimensi
Institusi.
Sikap
yang dipunyai suatu kelompok terhadap kelompok lain seringkali ditunjang dan
bahkan diperkuat oleh institusi dalam masyarakat, seperti institusi sosial,
ekonomi dan politik.
4.
Dimensi
Gerakan Sosial.
Dimensi
gerakan sosial merupakan suatu dimensi lain dalam hubungan antar kelompok.
Kajian dari sudut pandang ini memperhatikan berbagai gerakan sosial yang sering
dilancarkan suatu kelompok untuk membebaskan diri dari dominasi kelompok lain.
Misalnya gerakan pembebasan perempuan (women’s liberation movement).
5.
Dimiensi
Perilaku,
Salah
satu bentuk perilaku yang sering ditampilkan dalam hubungan antar kelompok
adalah diskriminasi. Contoh, dikalangan kaum laki-laki, misalnya, di
kaum perempuan sering mengalami banyak kesukaran dalam memperoleh pendidikan,
pekerjaan, atau jabatan tertentu karena dinilai berfisik lemah atau berwatak
emosional.
Menurut
banton, diskriminasi mewujudkan jarak
sosial. Denga menggunakan skala sikap yang dinamakan skala jarak sosial
para ilmuwan sosial dapat mengukur jarak sosial satu kelompok dengan kelompok
lain. Skala tersebut memuat sejumlah pertanyaan mengenai kesediaan seseorang
untuk menikah, berteman, bertetangga, tidak tinggal sekawasan dengan orang dari
kelompok kebangsaan atau ras lain.
6.
Dimensi
Perilaku Kolektif.
Umumnya
warga masyarakat cenderung berperilaku dengan berpedoman pada institusi yang
ada dalam masyarakat. Perilaku di pasar dituntun oleh institusi dibidang
ekonomi; perilaku ditempat ibadah dituntun oleh institusi dibidang agama;
perilaku diruang kuliah mengacu pada institusi dibidang pendidikan.
Perilaku
koletif merupakan tidakan bersama oleh sejumlah besar orang; bukan tindakan
individu semata-mata.
Hubungan
antar kelompok sering berwujud perilaku kolektif. Banyak diantara perilaku
kolektif terbatas pada gerakan protes dan demosntrasi belaka. Namun tidak
jarang pula suatu gerakan antar-kelompok berkembang menjadi huru hara yang
dapat mengakibatkan pengrusakan harta benda atau bahkan mengakibatkan jatuhnya
korban jiwa.
Menurut
Kinloch, hubungan antar kelompok memiliki berbagai kriteria sebagai berikut:
1.
Fisiologis.
Atas
dasar ini dijumpai pengelompokan yang didasarkan pada persamaan jenis kelamin,
usia, dan ras.
2.
Kebudayaan.
Kriteria
ini mencakup kelompok yang diikat oleh persamaan kebudayaan, seperti kelompok
etnik (aceh, minangkabau, ambon, dll), dan agama.
3.
Ekonomi.
Atas
dasar criteria ini kinloch membedakan antara mereka yang tidak mempunyai
kekuasaan ekonomi dan mereka yang mempunyainya.
4.
Perilaku.
Atas
dasar ini dijumpai pengelompokan berdasarkan cacat fisik, cacat mental, dan
penyimpangan terhadap aturan masyarakat.
G.
Pola Hubungan Antar Kelompok.
1.
Akulturasi.
Pola
akulturasi akan terjadi manakala kedua kelompok ras yang bertemu mulai berbaur
dan berpadu. Misalnya kita melihat bahwa kebudayaan orang belanda di Indonesia
menyerap berbagai unsure kebudayaan Indonesia, seperti cara berbusana, cara
makan, dan gaya berbahasa.
2.
Dominasi.
Pola
ini akan terjadi bila suatu kelompok ras menguasai kelompok lain. Contoh:
kedatangan bangsa eropa ke benua asia untuk memperoleh SDA. Atau kita jumpai
dalam pengelompokan, misalnya suatu kelompok etnik mendominasi kelompok etnik
lain,laki-laki mendominasi perempuan, orang kaya mendominasi orang miskin, dan
lain sebagainya.
Konblum
menyatakan bahwa terdapat lima macam kemungkinan proses yang terjadi dalam
suatu hubungan antar-kelompok, yaitu, genocide (pembunuhan secara
sengaja dan sistematis terhadap anggota suatu kelompok tertentu), pengusiran,
perbudakan, asimilasi. Kita lihat, misalnya, bahwa dalam berbagai kasus
dominasi dilakukan bersamaan dengan pembunuhan terhadap penduduk.
3.
Paternalisme.
Suatu
bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas kelompok ras pribumi. Banton
mengemukakan bahwa pola ini muncul manakala kelompok pendatang yang secara
politik lebih kuat mendirikan koloni di daerah jajahan.
Dalam
pola hubungan ini Banton membedakan tiga macam masyarakat: masyrakat
metropolitan (didaerah asal pendatang), masyarakat kolonial yang terdiri atas
para pendatang serta sebagian dari masyarakat pribumi, dan masyarakat pribumi
yang dijajah.
4.
Integrasi.
Suatu
pola hubungan yg mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak
memberikan perhatian khusus atau makna penting pada perbedaan ras tersebut.
5.
Pluralisme.
Suatu pola hubungan yang mengakui adanya persamaan hak politik
dan hak perdata semua warga masyarakat. Akan tetapi pola hubungan itu lebih
terfokus pada kemajemukan kelompok ras daripada pola integrasi. Dalam pola ini
solidaritas dalam masing-masing kelompok ras lebih besar.
Barton berpendapat
bahwa suatu pola mempunyai kecenderunagn untuk lebih berkembang kesuatu arah
tertentu. Pola dominasi cenderung mengarah pada pluralisme, sedangkan pola
akulturasi dan paternalisme cenderung mengarah pada pola integrasi.
PENUTUP
Manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial, memiliki naluri untuk hidup dengan orang lain. Naluri manusia untuk
selalu hidup dengan orang lain disebut gregariousness sehingga manusia
juga disebut social animal (= hewan sosial).[7] Karena sejak dilahirkan manusia sudah mempunyai dua hasrat atau
keinginan pokok, yaitu :
1.
Keinginan
untuk menjadi satu dengan manusia lain disekelilingya (yaitu masyarakat).
2.
Keinginan
untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Selain itu manusia mempunyai naluri
untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang sinambung tersebut
menghasilkan pola pergaulan dan membentuk kelompok-kelompok dalam sosial.
Setiap anggota dalam sebuah kelompok
mempunyai pengalaman masing-masing dalam hubungannya dengan sesama anggota dan
kelompok-kelompok sosial yang lain. Bila mereka berkumpul, terjadilah tukar
menukar pengalaman diantara mereka. Pada saat-saat demikian, yang terjadi
bukanlah pertukaran pengalaman semata, tetapi para anggota tersebut mungkin
telah mengalami perubahan-perubahan, walaupun sama sekali tidak disadari.
Saling tukar menukar pengalaman (social
experiences) didalam kehidupan berkelompok mempunyai pengaruh yang besar
didalam pembentukan kepribadian orang-orang yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Sunarto,
kamanto. Pengantar Sosiologi ;(edisi revisi), Jakarta: lembaga penerbit
fakultas ekonomi universitas Indonesia, 2004
2.
Soekanto,soerjono.
Sosiologi; suatu pengantar,
Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, ed.baru-41, 2007.
3.
Herimanto;
winarno. Ilmu sosial dan budaya dasar. Jaktim: Pt. Bumi Aksara. Cet.4,
2011.
4.
http://mklh2kelompok
sosial.blogspot.com/
[1]
Herimanto; winarno. Ilmu sosial dan budaya dasar. Jaktim: Pt. Bumi
Aksara. Cet.4, hlm. 44.
[2] Sunarto, kamanto. Pengantar Sosiologi
;(edisi revisi), Jakarta: lembaga penerbit fakultas ekonomi universitas
Indonesia, 2004. Hlm.126.
[3] Ibid. hlm.127
[4] Soekanto,soerjono. Sosiologi; suatu
pengantar, Jakarta: Pt. raja
grafindo persada, ed.baru-41, 2007. Hlm. 104.
[5] Ibid. hlm. 101
[6] Ibid. hlm, 128-132.
[7] Ibid. hlm, 101